JAKARTA. Guna menyelesaikan konflik lahan, belasan petani anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) asal Kabupaten Banjar Baru, Kalimantan Selatan (Kalsel) mengunjungi sekretariat Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) di Jakarta (16/04).
Dalam diskusi dengan Ketua Umum SPI Henry Saragih, para petani asal Desa Banjar Baru ini membawa tiga kasus konflik lahan. Pertama adalah konflik petani dengan pengembang kurang lebih 90 hektar di Desa Sukamaju Kabupaten Banjar Baru Kalsel; kedua konflik dengan Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 13 desa kira-kira 3.000 hektar; dan yang ketiga adalah masyarakat adat meminta sertifikat komunal karena khawatir tanah ulayat akan dijadikan pertambangan atau perkebunan.
“Kami sering mendapat ancaman, bahkan Ketua RT pernah diancam dengan golok dan dipukuli oleh preman. Sedangkan mengenai konflik dengan HTI, kami melihat sangat rumit karena hasil dari penelusuran beberapa subkontraktor milik kerabat dekat dari pejabat daerah,” kata salah seorang petani.
Menanggapi hal ini, Henry Saragih menjelaskan, pengakuan tanah ada dua jenis, pertama dari pemerintah, kedua dari masyarakat adat.
“Mengenai sertifikat komunal, saat kita audiensi dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang mengusulkan untuk lahan kolektif diberikan sertifikat kolektif bukan individu. Pilihannya tergantung pada kondisi, jika memungkinkan sertifikat komunal dikeluarkan maka perjuangkan, jika tidak maka tanah tersebut tanah negara yang dikelola oleh petani untuk lahan pertanian,” jelas Henry.
Setelah berdiskusi, para petani Kalsel bersama DPP SPI bergegas menuju Kementerian Agraria dan Tata Ruang guna menyerahkan draft pengaduan dan laporan konflik.