JAKARTA. Minggu, 10 Mei 2015 lalu, petani kopi Serikat Petani Indonesia (SPI) berhasil memukau para penikmat kopi dalam acara Chompagro ke-4 bertema Artisanal Bengkulu. Dalam acara yang digelar di bilangan Kemang, Jakarta Selatan ini para petani bertemu langsung dengan pembeli sekaligus penikmat kopi yang ternyata sangat menikmati citarasa kopi khas Bengkulu ini.
Berikut wawancara redaksi website spi.or.id dengan Sasmitra, petani kopi berusia 24 tahun yang juga Ketua Badan Pelaksana Cabang (BPC) SPI Kabupaten Kepahiang, Bengkulu, yang mempresentasikan kopi khas Bengkulu dalam acara Chompagro kemarin.
Tanya: Sudah berapa lama menanam kopi?
Jawab: Orang tua yang mulai nanam kopi, sejak saya lahir, kira-kira dari tahun 1990 mulai menanam kopi bersama petani lainnya.
Tanya : Ada berapa orang petani SPI yang menanam kopi?
Jawab : Semuanya menanam kopi dan juga sayuran-sayuran.
Tanya : Ada berapa anggota koperasi SPI?
Jawab : Anggota koperasi saat ini sudah 200-an petani dan insya Allah akan terus bertambah
Tanya : Sejak kapan berdiri kopersi SPI?
Jawab : Koperasi wacananya dari 2014, sahnya Januari 2015 ini, setelah disahkan ke Dinas Koperasi buat akte notaris.
Tanya : Mengapa bergabung dengan SPI dan selanjutnya membuat koperasi?
Jawab : Awalnya bergabung dengan SPI karena konflik lahan. Dulu kami berkonflik dengan pihak kehutanan BKSDA, Taman Wisata Alam Bukit Gapa. Tahun 2012 mulai dikenalkan dengan SPI, dan akhirnya kami bergabung. Untuk saat ini petani udah aman, sudah bisa berproduksi dengan produktif, walau kasusnya masih berjalan. Jadi sekarang kita di SPI tidak hanya mengurus konflik lahannya, tapi juga bagaimanan petani berdaulat atas pangan, sumber daya alam, dan mandiri di ekonomi.
Oleh karena itu kita para pengurus berinisiatif untuk membuat koperasi petani, karena harga jual kopi di tingkat petani yang kadang naik dan turun. Setelah berdiskusi, akhirnya muncul kesimpulan agar kita petani membuat lembaga perdagangannya sendiri salah satunya ya lewat koperasi yang paling bagus karena modal dari kita sendiri, kita yang mengelola sendiri, dari kita untuk kita.
Tanya : Berarti masalahnya di penjualan ? Tengkulak ?
Jawab : Iya itu juga permasalahan, arena rantai perdagangan kopi cukup panjang. Apalagi di daerah kami ada tengkulak di tingkat desa, kecamatan, kabupaten. Bayangkan kalau potongannya Rp 1.000 di masing-masing tengkulak. Belum lagi tengkulak di tingkat provinsi sampai ke tingkat eksportir.
Tanya : Apa saja yang dijual koperasi SPI di sana ?
Jawab : Untuk saat ini koperasi menjual kopi robusta, menerimanya dari para petani anggota.
Tanya : Katanya sekarang ini biji kopi robusta yang dipetik cuma yang merah ?
Jawab : Ya, ini juga salah satu kontribusi organisasi SPI kepada petani anggotanya yakni memberikan dukungan untuk pengolahan kopi, pelatihan-pelatihan budidaya, pasca panen, dan pemasaran. Soal robusta petik merah ini kami dapat juga setelah mengikuti pelatihan-pelatihan. Dulu kami memetik kopi asalan saja, hijau, kuning pun kami petik. Alhasil kualitasnya juga tidak maksimal. Saat ini saja harga robusta petik asal sekitar Rp 18.000 – 19.000 untuk yang kering, kalau robusta petik merah pasti harganya lebih tinggi.
Tanya : Apa yang dilakukan koperasi untuk membuka askes pemasaran kopi petani anggotanya?
Jawab : Acara Chompagro di Jakarta ini adalah salah satu contohnya, jadi petani bisa memasarkan kopinya langsung ke pembeli. Mudah-mudahan kita bisa buat acara sejenis ini di Bengkulu bekerjasama dengan Pemda setempat. Semuanya ini akan difasilitasi oleh koperasi, karena ternyata pembeli lebih cenderung mau membeli kopi dari suatu lembaga yang jelas seperti koperasi.
Tanya : Bagaimana kesan dari acara Chompagro kemarin? Bisa langsung jumpa dengan konsumen pencinta kopi dan lainnya.
Jawab : Kesannya luar biasa, karena kami sangat jarang bisa jumpa langsung dengan konsumen. Ternyata produk dan hasil bumi yang kita petani tanam, harga di tingkat konsumennya begitu jauh. Ternyata ada yang membuat harga dari petani ke tingkat konsumen bisa begitu mahal. Kita petani pun kaget dengan harga jual di tingkat petani dengan harga jual di tingkat konsumen. Contohnya arabika Kepahiang harganya Rp 40.000 per kilogram untuk yang biji hijau (green bean), sedangkan di tangan konsumen harganya bisa dua kali lipa, bahkan lebih. Anehnya rasa kopi kita ternyata juga bisa beda, bisa dibuat aneh-aneh rasanya, dengan peralatan yang lebih terkini.
Tanya : Disana, apakah para petani minum kopi yang diproduksinya sendiri ?
Jawab : Iya, kalau mau ngopi kami petani petik sendiri. Tapi petiknya masih asalan.
Tanya : Pengetahuan apa saja yang didapatkan selama pelatihan-pelatihan dari SPI dan Puslitkoka ?
Jawab : Alhamdulillah cukup banyak, pertama dari ilmu pengolahan, sekarang kita petani sudah mengerti jarak tanam ideal untuk menanam kopi, dan standar penaungan yang ideal. Kita petani juga jadi mengerti kalau menanam kopi ternyata butuh pupuk supaya buah kopinya bagus. Kita juga jadi mengerti penanganan penyakit kopi. Selanjutnya soal pengolahan pasca panen, harus petik merah, dirambang, tidak dijemur di tanah, selama ini itu tidak kita lakukan, kita menjemur kopi di tanah sampai berbulan-bulan sampai biji kopinya berjamur, akhirnya kualitasnya pun jelek. Setelah pelatihan-pelatihan kemaren, kita petani semakin mengerti perlakuan ke kopi agar kualiatasnya bagus. Pelatihan-pelatihan tersebut sangat berguna.
Tanya : Apa harapan ke depannya, setelah akhirnya bisa berjumpa langsung dengan konsumen, setelah mengerti pemasaran dan pengolahan pasca panen seperti sekarang ini ?
Jawab : Harapan kita petani secara keseluruhan adalah tercapainya kesejahteraan bersama-sama. Sejahteranya bareng-bareng, tidak sendiri-sendiri. Kopinya laku, laku bareng-bareng lewat koperasi.
Mohon di beri kontak personnya petani kopi kepahiang bengkulu. Saya mau beli tp eceran pak