Petani dan Akademisi Menjawab Krisis Multidimensi Global: Seminar Dies Natalis IPB ke-45

Indonesia yang tengah menghadapi krisis multidimensi, pangan, energi, iklim dan finansialKeresahan akan krisis multidimensi ini sepertinya yang mewarnai Seminar “Konvergensi Nasional untuk Kemandirian Pangan dan Energi Menuju Kedaulatan Bangsa” yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam rangkaian Dies Natalisnya yang ke-45. Sejumlah pakar dan praktisi diundang untuk membagi pemikiran mereka, memberikan inspirasi untuk mendukung terwujudnya kedaulatan pangan dan energi bangsa.

Dr. Herry Suhardiyanto selaku Rektor IPB dalam pidato sambutannya menyampaikan bahwa fenomena krisis pangan membuka mata banyak pihak bahwa kebijakan-kebijakan yang ditempuh pemerintah justru semakin menekan pertanian Indonesia itu sendiri. Struktur pelaku pertanian di Indonesia sangat tidak seimbang, penguasaan pertanian oleh perusahaan-perusahaan multinasional telah menciptakan transfer surplus dari petani kepada perusahaan-perusahaan besar, petani kecil hanya menjadi objek penderita semata.

Sementara Dr. Dawam Rahardjo menyoroti krisis finansial saat ini yang menurutnya ialah akibat system neoliberalisme yang telah menyebabkan terjadinya konsentrasi modal. Dan hanya lewat ekonomi rakyat yang mengakar dan menyebar di tingkat lokal lah hal tersebut bisa diatasi, dan menurutnya hal itu sudah diperlihatkan pada 2 peristiwa kemerosotan ekonomi di Indonesia pada awal abad 20. Kebijakan ekonomi Indonesia perlu kembali pada konstitusi yaitu Ps.27 ayat 2, Ps. 33 dan Ps. 34 UUD 1945 sebelum diamandemen yang merupakan Politik Kesejahteraan (Welfare Policy) Rakyat yang sangat baik. Politik Kesejahteraan itu memang dirancang untuk membalik susunan ekonomi kapitalistik kolonial, yang menurut Dawam masih terjadi hingga hari ini, menjadi ekonomi rakyat.

Hal ini diamini oleh Dr. Didin Damanhudi yang menegaskan bahwa untuk beranjak dari capital driven economy saat ini menuju creative economy lewat gerakan koperasi, karena capital driven economy selalu eksploitatif, predatory, diskriminasi dan koruptif. Eksploitatif baik oleh pemilik modal terhadap buruh ataupun eksploitasi sektor finansial terhadap sektor riil seperti yang terjadi saat ini; predatory dan diskriminatif karena selalu memangsa yang lain terutama yang lebih lemah; dan koruptif karena tidak pernah puas dengan apa yang sudah diraih.

Henry Saragih, Ketua Umum SPI yang juga diundang menjadi pembicara dalam seminar ini menegaskan kembali pentingnya membangun pertanian agroekologis dan pengolahan hasil pertanian yang dikelola oleh rakyat. Pengolahan hasil pertanian bukan saja meningkatkan nilai tambah produk pertanian namun juga akan menggerakkan perekonomian pedesaan. Henry juga menyebutkan pentingnya mengembalikan peran sosial lembaga negara seperti BULOG agar lembaga-lembaga negara ini tidak lagi menjadi lembaga pencari untung semata.

Apa yang dikemukakan Henry sejalan dengan yang telah coba dilakukan oleh Idham Samawi, Bupati Bantul yang juga hadir dalam seminar. Idham menyadari betul pentingnya akses rakyat terhadap sumber-sumber produksi untuk dapat mencapai kedaulatan bangsa. Untuk itu pemerintah daerah Bantul membantu membayar pajak bumi dan bangunan lahan pertanian rakyat melalui APBD untuk mencegah konversi lahan pertanian rakyat menjadi lahan non pertanian. Praktek-praktek yang membangun ekonomi rakyat harus terus dimasifkan karena hanya dengan itulah kedaulatan bangsa bisa tercapai.

ARTIKEL TERKAIT
Aksi Lima Ribuan Petani SPI Jambi, Rayakan Hari Tani Nasiona...
AKsi petani SPI Hari Tani Nasional di Semarang 2016 #HariTaniNasional2016: Ragam Perayaannya oleh Petani SPI di ...
Harga Beras Melambung Tinggi & Impor Beras, Pemerintah Gagal...
Aksi SPI Lebak, Tuntut Perusahaan Kembalikan HGU
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU