Gelombang investasi yang kini berlangsung untuk mendapatkan sumber energi baru melalui penanaman dan industri pengolahan dari jagung, kedelai, tebu, canola, dll tidak akan menyelesaikan krisis energi dan akan berdampak pada muculnya krisis sosial dan lingkungan. Bahkan akan memberikan dampak yang lebih serius lagi pada pertanian rakyat untuk memproduksi pangan dan keinginan rakyat untuk mendapatkan kedaulatan pangan.
Dalam 20 tahun terakhir kebijakan neoliberal yang diterapkan secara global telah gagal menjawab kebutuhan dasar dari umat manusia di dunia. FAO pada tahun 1996 melaksanakan KTT Pangan dan PBB mengagendakan Millenium Development Goals untuk mengurangi kelaparan di dunia. Sayangnya makin banyak orang yang justru kelaparan.
Pengembangan agro-fuel banyak dipandangan merupakan langkah untuk menyelamatkan dunia dari perubahan iklim. Sayanganya, pada kenyataan justru hal sebaliknya yang terjadi. Perluasan penanaman perkebunan untuk memproduksi agrofuel telah mengakibatkan peningkatan produksi gas « green house » akibat dari de-forestasi (penggundulan hutan), penggusuran tanah-tanah adat, dan pengeringan tanah rawa-rawa. Dengan perkecualian pada beberapa kasus kecil, bahkan agrofuel tidaklah menghasilkan lebih sedikit gas rumah kaca yang menciptakan perubahan iklim. Semata agrofuel hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi bahan bakar dari sekarang hingga tahun 2020. Jelasnya tidak akan cukup tanah pertanian di seluruh dunia untuk memproduksi agrofuel dalam pemenuhan kebutuhan energi untuk industri dan transportasi. Pandangan bahwa pemenuhan kebutuhan energi pada jumlah yang besar melalui agrofuel hanyalah ilusi belaka. Karenannya hanya ada satu jawaban yang sebenarnya tersisa untuk menjawab ancaman perubahan iklim, yaitu kurangi penggunaan energi di dunia dan restrukturisasi model perdagangan internasional menuju kearah perdagangan atau ekonomi di tingkat lokal.
Sementara itu, pengembangan agrofuel juga berdampak yang sangat buruk secara sosial dan ekologis. Pengembangan agrofuel dengan cara monokultur dan industrial akan mengakibatkan kerusakan pada tanah, persediaan air, dan keaneragaman hayati. Tidak hanya itu, bahkan berdampak pula pada keluarga petani karena mereka akan terusir dari ladang pertaniannya. Sebuah perkiraan menunjukan bahwa 5 juta orang petani Indonesia akan terusir dari lahan pertaniannya di Indonesia, 5 juta petani di Brazil, 4 juta petani di Columbia, dan 1 juta petani di Paraguay. Terang sekali bahwa pertanian industrial menciptakan lebih sedikit lapangan kerja di banding dengan pertanian keluarga.
Perluasan penanaman agrofuel juga berdampak pada konsentrasi modal dalam tingkat yang masif pada perusahaan-perusahaan besar dan akan memberikan ruang bagi perusahaan-perusahaan transnational untuk melakukan spekulasi pada harga pangan, tanah pertanian dan lain sebagainya.
Dan pada akhirnya, produksi pangan akan tergantikan oleh produksi agrofuel. Perluasan agrofuel jelas akan mengakibatkan pengusiran dalam jumlah besar kaum tani dan masyarakat adat dari tanah pertaniannya. Alih-alih penggunaan tanah dan air untuk memproduksi pangan, kekayaan alam tersebut akan dirubah untuk menghasilkan energi dalam bentuk agro-diesel dan ethanol. Sampai dengan hari ini kaum tani, masyarakat adat, pria dan wanita adalah produsen pangan mayoritas di dunia. Bila kita tidak melindungi mereka sekarang ini, maka agrofuel akan mengusir mereka dari tanah pertanian dan pangan akan menjadi langka dan harganya melonjak mahal.
Siapa yang makan agrofuel?
Kini sebuah bentuk aliansi baru yang terdiri dari pemerintah, perusahaan otomotif, minyak dan agrofuel tengah dibentuk dengan tujuan utama untuk mendapatkan keuntungan! Mereka memanipulasi ketakutan global mengenai perubahan iklim dan krisis energi, agar produksi agrofuel dapat mereka jalankan model produksi agro industri. Mereka tetap melakukannya meskipun model tersebut merupakan penyebab utama dari perubahan iklim dan meningkattkan kebutuhan energi secara intensif di dunia.
Perusahaan transnational akan terus berusaha untuk meningkatkan kemampuan teknologi dan menguasai pasar pada sektor pangan dan pertanian, dan akan beriakibat pada penghilangan pertanian keluarga. Padahal pertanian keluarga adalah model pertanian yang menggunakan benih-benih tradisional, hidup secara berdampingan dengan keanekaragaman hayati, menggunakan energi dari tanaga manusia dan hewan, karenanya dalam memproduksi pangan tingkat konsumsi energinya jauh lebih kecil, dan pemakaian energi fosilnya pun sangat kecil.
Sebenarnya perusahaan agribisnis mengetahui bahwa menghasilkan agrofuel pada tingkat produksi besar sangat tidak ekonomis. Karenanya agar kompetitif produksi agrofuel dilakukan melalui dengan mendorong pemerintah untuk memberikan subsidi yang sangat besar, baik langsung ataupun tidak. Dan spekulasi pada sektor keuangan telah mengakibatkan kenaikan harga pangan di dunia.
Gambaran di atas sangat mengkhawatirkan, karena melibatkan jutaan hektar tanah pertanian dan milyaran Dólar uang. Misalnya, pemerintah India berencana untuk membuka 14 juta Hektar lahan untuk ditanami Jatropa atau pohon jarak, Inter-American Bank of Development mengungkap bahwa Brazil menyiapkan 120 juta hektar lahan untuk agrofuel, dan sebuah kelompok lobi bisnis memperkirakan ada 397 juta hektar lahan di 15 negara di benua Afrika. Bukankah ini akan menjadi pengusiran kaum tani yang sebelumnya tidak pernah terjadi di sejarah pertanian dunia!
Ketika perusahaan transnational dan lembaga-lembaga investasi menuai keuntungan besar, bagian terbesar dari penduduk dunia justru tidak memiliki uang untuk membeli pangan. Krisis pangan yang kini terjadi 30%-nya adalah akibat dari pengembangan agrofuel.
Ketika perusahaan transnational kesulitan mendapatkan tanah pertanian untuk agrofuel, mereka akan melakukan penggundulan hutan/ deforestasi pada area-area yang justru sangat diperluakan untuk pertanian lestari dan perlindungan alam.
Terdapat ribuan petani terperangkap pada situasi tanpa alternatif, ikut mengembangkan agrofuel dengan tujuan untuk mendapatkan peningkatan pendapatan. Bagi La Via Campesina, ini bukanlah sebuah bukti bahwa petani diuntungkan oleh agrofuel; tetapi sebuah indikasi yang sangat gamblang bahwa telah dilanggar hak-haknya untuk memproduksi pangan. Mereka terpaksa melakukannya karena tiada pilihan lain. Kebijakan di tingkat internasional dan nasional yang diciptakan oleh lembaga keuangan internasional dan perusahaan transnational bahkan hanya memperdalam tingkat ketergantungan negara berkembang, menciptakan krisis pangan, kemiskinan dan kelaparan yang lebih luas di dunia. Karena itu petani kecil yang diperangkap pada situasi tanpa pilihan, bukanlah pihak yang bersalah; mereka adalah korban dari sistem yang ada yang menimpa mereka!
Buruh tani dan petani kecil menghadapi situasi yang sangat sulit dan mereka kondisi yang membuat mereka tidak bisa menolak atas model pertanian yang menimpa. Karena kebanyakan dari mereka bekerja dalam model pertanian kontrak (contract farming) dengan perusahaan agribisnis yang mengolah, menyuling dan mendistribusikan produk. Karena itulah perusahaan agribisnis tersebut yang menentukan apakah untuk memproduksi pangan atau agrofuel. Lebih dari itu semua, petani kecil tidaklah diuntungkan secara besar pada kenaikan harga saat ini. Harga di tingkat petani tidaklah pada tingkat kenaikan yang sama denga harga di tingkat konsumen.
Pandangan atas krisis energi: Produksi oleh Petani Kecil & Orientasi untuk Konsumsi Lokal
Pertanian kecil yang berkelanjutan adalah sangat penting dalam memberi pangan dunia. Model pertanian keluarga yang berkelanjutan dan kedaulatan pangan menggunakan hingga 80% energi lebih sedikit dibandingkan dengan pertanian industrial.
Kedaulatan pangan menggunakan kekayaan di tingkat lokal untuk meproduksi pangan, meminimalkan penggunaan bahan baku impor, dan tidak melakukan transportasi pangan antar tempat yang jauh. Karena pangan di produksi dan di konsumsi secara lokal.
Sepanjang sejarah pertanian, petani dan masyarakat desa terbiasa mendapatkan energi untuk kebutuhan sehari-hari dari lahan pertaniannya. Mereka menggunakan minyak dari kelapa atau bunga matahari, kayu bakar, energi angin dan air melalui mikro hidro untuk mendapatkan energi. Model produksi yang demikian ini adalah berkelanjutan dan dalam siklus yang terintegrasi dengan pertanian pangan.
Sangatlah perlu untuk merancang dan membuat sikap bertanggungjawab pada konsumsi pangan dengan melakukan penyesuaian atas kondisi pangan yang ada saat ini. Harus diakui bahwa model industrial dari produksi dan konsumsi pangan telah mengakibatkan kerusakan pada model produksi pertanian kecil, yang sebenarnya jauh lebih bertanggungjawab dalam menghasilkan pangan dan energi.
Model neoliberal, lembaga keuangan internasional dan perusahaan keuangan transnasional adalah penyebab langsung dari krisis pangan dan krisis iklim
Karenanya La Via Campesina akan terus berjuang melawan kekuatan perusahaan-perusahaan besar dan sistem politik yang mendukung kepentingan mereka. Krisis energi janganlah dilihat sebagai persoalan terpisah, tetapi harus dilihat sebagai bagian dari krisis model pembangunan yang lebih besar yaitu model yang selalu mendahulukan keuntungan dari pada rakyat.
Karenayalah, kami mendukung model pertanian keluarga yang berkelanjutan, kaya akan diversitas, berorientasi pada pasar lokal, dan menciptakan kehidupan masyarakat desa yang sehat dimana pemakaian energi menjadi terkurangi, dan menciptakan tingkat ketergantungan yang lebih kecil. Pertanian keluarga yang berkelanjutan jelasnya sangat cocok dengan tujuan yang sangat fundemental dalam bidang pertanian yaitu memberi pangan rakyat (feed the people).
Via Campesina menolak :
La Via Campesina menuntut: