GOYANG-SI. Petani muda Serikat Petani Indonesia (SPI), Nesia Aggelita Dewi, hadir sebagai pembicara dalam kegiatan La Via Campesina Asia Continent Seed Meeting Women’s Gathering pada Rabu, 14 Mei 2025. Kegiatan yang bertempat di Goyang, Korea Selatan ini menghadirkan organisasi petani dari berbagai negara di Asia, seperti Indonesia, Thailand, Korea Selatan, India, Malaysia, Timor Leste, Cambodia, Australia, Srilanka, Bangladesh, hingga Nepal.
Nesia yang dalam forum ini mewakili regional Asia Tenggara dan Timur dalam agenda National Assembly, menyampaikan tentang harapan petani di masa krisis yang dapat diciptakan melalui benih petani agroekologi lingkungan berdasarkan perspektif dari Indonesia. Menurut Nesia, harapan bukan datang dari perusahaan maupun pemerintah, melainkan tumbuh dari tanah dan tangan para petani.
“Benih lokal agroekologi dan hubungan yang selaras dengan lingkungan menjadi dasar peradaban baru yang kita perjuangkan bersama,” ungkap Nesia. Menurutnya, benih petani ini seringkali diremehkan padahal hal ini merupakan warisan pengetahuan yang harus dilestarikan.
“Benih ini tidak hanya tahan akan perubahan iklim tetapi juga memperkuat kemandirian dan budaya lokal. Mereka adalah simbol perlawanan terhadap benih industri,” tambahnya.
Nesia mesjelaskan bahwa agroekologi merupakan pilihan politik dan spiritual. Itu bukan sekedar teknik bertani melainkan juga filosofi yang menempatkan rakyat sebagai pusat pengetahuan dan alam sebagai sekutu bukan hanya sebagai objek eksploitasi. Petani perempuan itu juga menjelaskan terkait sekolah agroekologi yang sejak lama sudah diterapkan oleh SPI. “Melalui sekolah agroekologi dan pelatihan antar petani di SPI inilah sistem pangan dari bawah yang adil, mandiri, dan berkelanjutan,” jelasnya.
Selain pendidikan agroekologi di SPI, Nesia sebagai perwakilan juga memaparkan tentang koperasi petani SPI yang menjadi bagian penting dalam perjuangan kedaulatan pangan. Pendidikan mengenai koperasi sebagai kelembagaan ekonomi petani serta pembentukan koperasi tani, koperasi produksi, dan koperasi simpan pinjam dilakukan untuk memperkuat posisi petani secara ekonomi.
SPI juga memiliki Bank Benih di Pusdiklat Nasional di Bogor yang menyimpan benih-benih lokal dari para petani di pedesaan. Selain itu, SPI secara aktif melakukan pelatihan dan pendampingan bagi petani dalam rangka perlindungan benih lokal dan pemenuhan hak asasi petani. Menurutnya, upaya-upaya ini menjadi salah satu solusi konkret dan bentuk advokasi untuk pengembangan serta pelestarian benih lokal.
Sebagai petani perempuan, Nesia turut menyoroti peran petani perempuan sebagai ibu kedaulatan pangan. “Petani perempuan yang merupakan ibu kedaulatan pangan bukan hanya bertani untuk keluarga tetapi menyuplai pangan sehat untuk masyarakat. Mereka juga berada di garis depan dalam menjaga tanah dan memperjuangkan hak- hak petani meski sering kali didiskriminasi dan mendapatkan kekerasan,” ungkapnya.
Terakhir, melalui forum tersebut, Nesia mengajak semua pihak untuk bersama-sama memasifkan perjuangan kedaulatan pangan sebagai sebuah gerakan yang terorganisir, dimulai dari rumah masing-masing. Ia menekankan bahwa setiap orang, termasuk organisasi petani, dapat berperan aktif, bahkan dari perkotaan, misalnya dengan menanam di halaman rumah dan memanfaatkan lahan kosong menggunakan metode agroekologi.
“Tanpa petani tidak ada pangan, tidak ada kehidupan, tidak ada masa depan. Globaliskan perjuangan, globaliskan harapan!” pungkasnya.
La Via Campesina Asia Continent Seed Meeting Women’s Gathering merupakan bagian dari kampanye global untuk benih sebagai warisan bersama umat manusia. Pertemuan yang dihadiri oleh perempuan dan pemuda dari kawasan Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Timur ini menjadi ruang untuk memperkuat koordinasi, pelatihan, serta pertukaran pengetahuan mengenai agroekologi dan pelestarian benih lokal.