*Oleh: Tri Hariyono
Di dalam Alqur’an ada sebuah keterangan yang sangat menarik tentang nafsu atau syahwat manusia terhadap tanah. Dalam Surah Ali-Imran ayat 14, Allah memberitahu kita semua bahwa setiap manusia dihiasi atau ditempeli secara built-in kecintaan mendalam kepada lawan jenis, anak-pinak, berdacin-dacin emas dan perak, kendaraan yang bagus, hewan ternak serta tanah atau sawah-ladang. Semua ini merupakan berbagai kesenangan dunia, namun sebaik-baik tempat kembali adalah di sisi Allah SWT.
Kecintaan manusia kepada tanah merupakan persoalan klasik, setua umur manusia itu sendiri. Ada cendekiawan muslim yang membuat tafsiran bahwa konflik mula-mula yang terjadi pada anak-anak Adam yang pertama, yakni konflik antara Qabil dan Habil berasal dari pertikaian mereka atas tanah. Habil yang ikhlas dan tidak serakah tidak pernah berusaha menguasai tanah sebanyak-banyaknya, bahkan ia lebih pasrah dengan kehidupan sehingga tidak berkeberatan menjadi semacam nomaden. Artinya, tidak bersikukuh menguasai tanah secara serakah dan seringkali berpindah-pindah menggarap tanah.
Sebaliknya, Qabil punya kecenderungan sangat kuat untuk menuruti nafsunya yang menginginkan pemilikan tanah seluas-luasnya. Pada satu titik kedua anak adam itu bersengketa, karena Qabil yang sudah memiliki tanah sedemikian luas, masih menginginkan tanah yang sedikit yang dimiliki Habil, saudaranya. Maka terjadilah pembunuhan pertama yang dilakukan manusia, yakni pembunuhan atas habil oleh Qabil. Di samping itu, memang ada versi lain mengenai sebab pembunuhan, yaitu gara-gara Qabil tidak menerima pasangan hidupnya yang telah ditentukan dan ia merebut pasangat hidup Habil dengan jalan membunuh Habil. Bila versi ini juga benar, maka versi ini pun cocok dengan ayat 14 Surah Ali-Imran di atas. Dan yang menjadi pemicu kemarahan Qabil adalah karena korbannya tidak diterima oleh Allah, sedang korban Habil yang lebih tulus dan ikhlas diterima di sisi Allah SWT.
Dengan mencuplik sedikit cerita Qabil versus Habil ini, penulis hanya ingin mengingatkan bahwa agaknya persoalan pertanahan yang kita hadapi dewasa ini bukan persoalan baru sama sekali. Memperebutkan tanah bahkan sudah terjadi pada generasi awal umat manusia. Secara demikian dimaklumi bahwa pertikaian atas tanah/wilayah tertentu antara dua atau lebih negara seringkali dapat terjadi sebab peperangan. Sejarah telah menyaksikan pertumpahan darah dari berbagai bangsa yang terlalu sering terjadi gara-gara tanah yang disengketakan.
Tanah Persoalan Penghidupan
Tanah merupakan hak milik rakyat yang paling asasi dan sakral. Secara teologis semua orang berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Artinya bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari tanah. Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung, dan di situ pula pribadi ditanam. Tanah tidak hanya berfungsi sebagai alat produksi dimasa hidup, tetapi tempat bersemayam di kala mati.
Dalam budaya masyarakat lokal kita, tanah memiliki hubungan yang bersifat religius-magis. Artinya tanah memiliki ikatan religius yang berproses dalam pertautan sejarah yang dianut selama ini. Salah satu contoh adalah suku Kaili salah satu suku di Sulawesi Tengah yang meyakini bahwa tanah itu ibarat manusia.
Bagi masyarakat Nipan di Kabupaten Sampang, Madura, tanah dipahami sebagai posaka (peninggalan) bujuk (leluhur) yang harus dijaga dan dipertahankan. Secara ekonomi, tanah dioleh untuk bercocok tanam. Secara religi tanah merupakan tempat pekuburan sanak famili dan tempat dibangunnya tempat ibadah dimana amal masyarakat ditanam. Selain itu, dalam pandangan masyarakat Aborigin-Australia memandang bahwa tanah bukanlah milik mereka, tapi mereka menjadi milik tanah. Tanah adalah tempat suci sekaligus ikon mereka. Lain lagi bagi orang Bolivia yang memandang bumi adalah suci, dan ia adalah ibu bagi mereka. Sedangkan warga Kalingga-Fhilipina memiliki sebuah kredo bahwa manusia dan tanah itu satu. Tanahlah yang telah memberi manusia kehidupan.
Antara manusia dan tanah, pada dasarnya terdapat suatu hubungan yang erat dan penting. Kebudayaan Jawa mencatat ungkapan: sadumuk bathuk senyari bumi, ditohi pecahing dodo lan wutahing lurido—yang berarti bahwa dalam soal tanah, pertumpahan darah sangat dimungkinkan. Hal ini menunjukkan suatu masalah yang sangat mendasar. Pertama, bahwa tanah berkait langsung dengan kehidupan dan kualitas hidup manusia. Di atas tanahlah manusia mengembangkan kebudayaan, berproduksi untuk memenuhi kebutuhan materialnya. Kedua, keterpisahan manusia dengan tanah, akan menjadi pangkal dari kesengsaraan atau penderitaan manusia—di zaman raja-raja sangat terlihat bagaimana akibat dari tidak dikuasainya tanah; sebagian mereka menjadi budak manusia lain.
Kepemilikan atau pengusaan manusia atas tanah, pertama-tama terkait langsung dengan strategi untuk mempertahankan hidup dan kehidupan manusia. Dengan demikian, seseorang akan membutuhkan suatu batas minimal, sehingga dirinya dapat memenuhi kehidupan materialnya. Jika batas tersebut tidak dipenuhi, maka sangat besar kemungkinkan orang tersebut akan gagal memenuhi kebutuhan materialnya sebagaimana standar umum.
Jalan Baru Politik Agraria
Manusia ada bukan untuk makan. Akan tetapi tidak bisa diingkari bahwa tanpa usaha untuk memenuhi kebutuhan material tersebut, manusia akan menjemput kematian. Berproduksi atau bekerja untuk memenuhi kebutuhan material, merupakan tugas hidup manusia. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa proses produksi akan dipengaruhi oleh sistem kepemilikan sarana produksi. Sarana produksi yang dikuasai secara individual, akan memungkinkan terjadi eksploitasi manusia. Untuk itu dibutuhkan sistem dimana pemilikan sarana produksi (yang menguasai hajat hidup orang banyak) yang tidak ekploitatif terhadap manusia. Pembaruan agraria adalah jawaban untuk menegakkan keadilan dan memberantas kemiskinan sehingga tercipta suatu kehidupan yang lebih baik dan bermakna. Upaya pembaruan agraria tidak bisa bersifat eksklusif, melainkan perlu memasuki dimensi yang lebih luas, termasuk mendorong pembaruan dalam corak produksi dan terbangunnya suatu tatanan baru—dengan nilai-nilai yang baru. Dengan demikian, maka berarti dibutuhkan politik agraria baru, yang tidak lagi berdasarkan pada corak produksi kapitalisme, melainkan corak produksi yang berpihak pada mereka yang tuna kisma (petani miskin, petani gurem, buruh tani—dan mereka yang berada dilapis bawah struktur sosial)—(“dan mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah”-QS.4:75).
Untuk itu, tidak ada jalan lain bagi petani di Indonesia untuk terus memperjuangkan pembaruan agraria menuju kedaulatan pangan. Pembaruan (reforma) agraria menurut Gunawan Wiradi (2005), adalah penataan kembali (atau penataan ulang) susunan kepemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber agraria (terutama tanah), untuk kepentingan rakyat kecil (petani, buruh tani, dan lain-lainnya), secara menyeluruh dan konprehensif (lengkap).
Lebih jauh Gunawan Wiradi menjelaskan, yang dimaksud dengan “menyeluruh dan konprehensif” adalah: (1) sasarannya bukan hanya tanah pertanian, tetapi juga tanah-tanah kehutanan, perkebunan, pertambangan, pengairan, kelautan dan lain-lain. Pendek kata, semua sumber agraria, termasuk hak air, proteksi dari perubahan iklim, dan keanekaragaman hayati. (2) Program reforma tanah (dan sumber agraria lainnya) harus disertai dengan program-program penunjangnya, seperti penyuluhan dan pendidikan tentang teknologi produksi, program perkreditan, pemasaran dan sebagainya.
Tujuan pelaksanaan pembaruan agraria adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rakyat, khususnya para petani kecil secara adil dan merata. Sehingga terbuka kesempatan untuk mengembangkan diri mencapai kemakmuran, sebagai bagian dari pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila.
Perjuangan SPI
Serikat Petani Indonesia (SPI) dalam perjuangannya mewujudkan perjuangan pembaruan agraria menuju kedaulatan pangan ini diwujudkan dalam beberapa tahapan.
(1) Perjuangan menuju “tanah untuk petani”, dalam praktek-praktek perjuangannya anggota SPI di daerah-daerah berkomitmen akan terus menjalankan pembaruan agraria yang diinginkan oleh rakyat tani. Sejauh ini, praktek-praktek tersebut dijalankan dengan reklaiming dan okupasi lahan untuk memenuhi prinsip tanah untuk penggarap (land to the tiller).
(2) Membangun ormas tani yang kuat, SPI menyadari bahwa untuk menyuarakan kepentingan petani, tidak ada jalan lain yang lebih rasional daripada organisasi tani yang kuat. Organisasi tani yang kuat adalah salah satu cara agregasi kepentingan petani yang nantinya akan dituangkan dalam kebijakan pemerintah. Dalam percaturan organisasi tani, SPI saat ini selain memposisikan sebagai pelopor gerakan rakyat di tingkat nasional—SPI juga mengambil peran yang signifikan dalam gerakan tani internasional. Saat ini SPI selain menjadi anggota dari La Via Campesina sebagai bagian dari gerakan petani internasional tetapi juga menjadi koordinator internasionalnya.
(3) Alih teknologi untuk kepentingan petani, perkembangan teknologi di bidang pertanian setiap masanya selalu mengalami perubahan yang signifikan. Sebut saja bagaimana sulitnya petani di era revolusi hijau. Dan sekarang inisiasi modal internasional melalui teknologi trangenik/GMOs. Situasi ini membuat petani terus menciptakan dan mengembangkan berbagai teknologi yang berkelanjutan berbasis keluarga tani. Tren pertanian agroekologi bukan saja dianggap sebagai teknologi pertanian saja, bagi SPI ini juga merupakan langkah perlawanan pada corak produksi pertanian yang selama ini tidak merdeka.
(4) Permodalan mandiri, pemahaman usaha tani yang tergantung kepada input luar dan teknologi yang berbasis modal menyebabkan persoalan yang serius bagi petani. Koperasi-koperasi di level desa, provinsi dan lainnya dipandang hanya sebagai perpanjangan tangan kepentingan di luar petani. Untuk itu mendesak agar insentif yang diberikan kepada kaum tani harus tepat dan cepat sasaran. Pengalaman praktek kita dalam Lembaga Ekonomi Petani, sangat mempunyai peran strategis dalam memecahkan soal-soal praktis.
(5) Membangun pasar domestik, pengertian pasar dalam kedaulatan pangan yang diinginkan petani, adalah pasar yang tidak menjadi suatu entitas yang otonomi dan mendominasi (self-regulating), seperti yang diadopsi dalam praktek neoliberalisme. Kedaulatan pangan tidak menegasikan perdagangan, namun perdagangan hanya menjadi bagian atau alat dari kedaulatan untuk sepenuhnya menjadi mekanisme yang menguntungkan rakyat banyak. Dalam prakteknya, SPI secara praktis memotong rantai-rantai perdagangan pangan pada umumnya.
Dalam kasus beras di Daerah Istimewa Yogyakarta yang rantai perdagangan berasnya bisa mencapai empat pihak hingga lebih, SPI mengusulkan alternatif direct-selling/direct-buying yang bisa langsung mengantarkan produk hasil pertanian ke tangan konsumen. Selain memotong pemburuan rente, sistem ini bisa lebih menguntungkan petani dan konsumen—serta mewujudkan kemampuan petani untuk menguasai dan mengontrol pasar domestiknya sendiri.
Kita percaya bahwa jika program pembaruan agraria dapat terlaksana dengan baik dan tepat sasaran, kondisi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat tani akan dapat membaik. Tetapi pembaruan agraria memang memerlukan kemauan politik, bukan sekedar janji-janji politik. Kita berharap kepada pemerintah Jokowi dan JK yang sekarang berkuasa memberikan perhatian yang serius memenuhi janjinya untuk menjalankan program pembaruan agraria. Demikian.
*Penulis adalah Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Yogyakarta
Mantap kawan, pertahankan, lanjutkan dan perjuangkan hak-hak rakyat. Tanpa mereka kita tidak bisa menikmati ribuan hasil kekayaan tani mereka.