JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia (RI) menyelenggarakan sidang putusan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang hortikultura, kemarin (19/03). Hakim MK dengan tegas menolak seluruh gugatan yang diajukan oleh pemohon, yakni Asosiasi Produsen Perbenihan Hortikultura (APPH) dan beberapa individu. Sidang putusan juga dihadiri oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) dan organisasi sipil lainnya yang melakukan intervensi selaku pihak terkait guna menolak permohonan uji materi tersebut.
Pemohon menggugat pasal 100 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Hortikultura [Pasal 131 ayat (2) UU 13/2010] karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dalam bagian Penanaman Modal Pasal 100 ayat (3) UU 13/2010 berbunyi “Besarnya penanaman modal asing dibatasi paling banyak 30% (tiga puluh persen)”. Pemohon berpendapat, perbedaan perlakuan antara Warga Negara Indonesia dengan asing sebagai pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia. Namun mahkamah berpendapat, “adanya pembedaan perlakuan warga negara sendiri dengan orang asing dalam batas-batas tertentu, adalah sesuatu yang lazim. Contohnya dalam hal pajak. Pajak yang dipungut dari warga negara, dalam hal tertentu, tidak sama dengan pajak yang dipungut dari warga negara asing. Pembedaan demikian, kalaupun dikatakan sebagai pembatasan terhadap hak asasi manusia merupakan pembatasan yang dibenarkan bukan saja dari perspektif UUD 1945 tetapi juga dari perspektif hukum internasional sepanjang pembatasan itu dilakukan dengan Undang-Undang.”
Selanjutnya untuk menguatkan putusan Nomor 20/PUU-XII/2014, mahkamah berpendapat bahwa negara harus menguasai cabang-cabang produksi yang penting untuk hajat hidup orang banyak.
“Bahwa selain itu sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya mata pencariannya adalah bertani, maka bibit hortikultura menurut Mahkamah termasuk dalam kategori cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan mengusai hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai oleh negara [vide Pasal 33 ayat (2) UUD 1945]. Bahwa karena negara seharusnya menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak maka penanaman modal asing yang dibatasi paling banyak 30% (tiga puluh persen) tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 100 ayat (3) UU 13/2010 dan keharusan bagi penanaman modal asing yang sudah mendapat izin menyesuaikan dengan Pasal 100 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU 13/2010 tersebut [vide Pasal 131 ayat (2) UU 13/2010] tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945”.
Menanggapi hal ini, Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI Agus Ruli Ardiansyah yang menghadiri putusan ini menegaskan, negara memang harus hadir kerena bicara hortikultura, maka hajat hidup orang banyak yang dipertaruhkan.
“Kami dari SPI tidak setuju dengan kepemilikan modal asing sebanyak 30%, karena menurut SPI petani Indonesia memiliki kemampuan untuk memproduksi benihnya sendiri tanpa intervensi asing, kita mampu berdaulat benih dan pangan. Benih harus sepenuhnya dikuasai oleh kekuatan ekonomi nasional baik petani maupun perusahaan Negara. Namun meski demikian, kami tetap menyambut baik keputusan MK ini,” kata Agus Ruli di Jakarta pagi ini (20/03).
Agus Ruli menambahkan, pemerintah harus mensosialisasikan dan mengawal putusan ini serta harus memberikan dukungan fasilitas terhadap petani pemulia tanaman khusunya hortikultura sehingga hal ini sesuai dengan semangat nawacita dan trisakti, mewujudkan kedaulatan bangsa dengan tidak bergantung pada modal asing.
Kontak Selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum DPP SPI – 0811 655 668
Agus Ruli Ardiansyah – Sekretaris Umum DPP SPI – 0812 7616 9187
Bagaimana mungkin petani siap untuk memasarkan dan meproduksi benihnya? mereka dibantu asing selama ini yang memberdayakan dan memperkenalkan ilmunya. Perusahaan local juga dimiliki para ex asing. Janganlah membodohi diri. Benih hanya facet kecil saja. Kemiskinan tetap terjadi. Fokus pada pendidikan petani saja.