Jakarta. Serikat Petani Indonesia (SPI) memutuskan untuk tetap melanjutkan upaya hukum yang masih bisa ditempuh guna membebaskan dua anggotanya yang divonis 13 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Kayu Agung, Senin (23/8). Putusan pengadilan dinilai cacat hukum karena jaksa penuntut umum tidak dapat membuktikan kepemilikan lahan PTPN VII.
Henry Saragih, Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) SPI, menegaskan perjuangan pembebasan lahan pertanian di basis Rengas dan Lubuk bandung, Sumatera Selatan, dari PTPN VII, tetap dilanjutkan. “Kita akan terus melanjutkan upaya hukum yang masih bisa ditempuh untuk membebaskan lahan dan membebaskan dua anggota kita yang sudah mengalami ketidakadilan,” ujarnya di Sekretariat DPP SPI, Mampang Prapatan, Jakarta, Senin (23/8) sore.
Beberapa jam sebelumnya, Pengadilan Negeri Kayu Agung memvonis Busrah Bin Mas’ud Dan Jamaluddin, dua petani dari Rengas dan Lubuk bandung, yang didakwa telah merampas lahan dari PTPN VII. Keduanya ditangkap secara paksa oleh pihak kepolisian pada Februari 2010 dan akhirnya divonis penjara oleh PN Kayu Agung selama 13 bulan.
Henry menilai putusan tersebut cacat hukum karena selama proses pengadilan pihak jaksa penuntut umum tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan lahan yang dikantongi PTPN VII. Kenyataan ini menurutnya telah mencederai rasa keadilan masyarakat, khususnya ribuan warga petani di daerah tersebut yang telah mengelola lahan pertaniannya secara turun temurun.
Rizal Siregar, Staf Departemen Polhukam DPP SPI yang terlibat mengadvokasi kasus ini juga menegaskan bahwa keputusan hakim tersebut cacat hukum. “Jaksa tidak bisa membuktikan kepemilikan lahan oleh PTPN VII dan kesaksian yang disampaikan oleh saksi adalah keterangan palsu, tidak sesuai antara kesaksian dengan BAP di kepolisian. Kami akan melakukan eksaminasi terhadap keputusan ini,” jelasnya.
Rohman, Ketua SPI Sumatera Selatan, mengungkapkan PTPN VII telah merampas ribuan hektar tanah rakyat di daerah itu secara sepihak selama 28 tahun. PTPN VII, katanya, selama ini telah melakukan pendekatan represif untuk menekan para petani, yakni dengan menggunakan aparat keamanan seperti polisi serta memanfaatkan kelompok masyarakat yang sengaja dibentuk dan dibayar untuk mengintimidasi atau meneror warga.
Bahkan, lanjutnya, dalam dua tahun terakhir pihaknya meyakini telah terjadi beberapa peritiwa tindak kekerasan dan kriminalisasi terhadap para petani di dua desa tersebut oleh PTPN VII melalui aparat kepolisian. Seperti yang terjadi pada 4 Desember 2009, dimana ketika itu sebanyak 29 orang warga desa Rengas ditembaki oleh Brimobda Sumsel sehingga banyak dari para petani menderita luka tembak yang parah.
Realitas tersebut sangat disesalkan SPI mengingat dalam Konferensi Nasional Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang digelar pada Mei 2010, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono telah menegaskan untuk membangun ketahanan pangan yang salah satunya dengan memperkuat daerah-daerah pertanian.
Achmad Ya’kub, Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional SPI yang juga Anggota Pokjasus DKP, mengatakan kebijakan nasional itu tidak akan mungkin dapat tercapai bila petani masih terus mengalami kriminalisasi. “Bukan kali ini saja petani dipenjara, bahkan banyak para petani yang harus kehilangan nyawanya demi mempertahankan tanahnya,” ujar Ya’kub.
Dipaparkannya, sepanjang enam bulan pertama 2010, sedikitnya ada 106 kasus kriminalisasi petani di Indonesia. Sedangkan jumlah sengketa tanah antara perusahaan perkebunan dan petani atau masyarakat adat terus meningkat dari tahun ke tahun, dimana pada 2007 ada 514 kasus, 576 kasus pada 2008 dan 604 kasus pada 2009.
Pada semester pertama tahun ini saja tercatat sudah ada 608 kasus sengketa tanah antara petani dan perusahaan perkebunan atau pertanian milik pemerintah dan swasta. Mereka adalah sejumlah grup perusahaan besar seperti PTPN, PT Bakrie Plantation, PT Lonsum, Wilmar Group, Sinar Mas Group, Raja Garuda Mas dan Salim Group.