JAKARTA. Persepsi bahwa rekayasa genetika mampu meningkatkan produkti pangan adalah salah besar. Hal ini setidaknya menjadi kesimpulan dalam “Mimbar Kajian Tentang Rekayasa Genetika” yang dilaksanakan Departemen Kajian Strategis Nasional, Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) di kantor pusat DPP SPI di bilangan Mampang Prapatan, Jakarta, pagi tadi (16/11).
Dwi Andreas Sentosa, Ketua Program S-2 Bioteknologi Tanah dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor (IPB) menyampaikan bahwa tidak ada solusi instan untuk meningkatkan produksi pangan nasional. Tren akhir-akhir ini menyebutkan bahwa tanaman transgenik potensial untuk meningkatkan produksi pangan. Hal tersebut tidaklah benar karena puluhan gen yang bertanggung jawab terhadap produksi tidak mungkin dimodifikasi seluruhnya.
“Maka upaya peningkatan produksi hingga saat ini tetap harus mengandalkan metode pemuliaan tanaman konvensional. Program reformasi agraria menjadi solusinya, petani harus diberikan lahan untuk bertani,” ungkap Andreas yang menjadi salah seorang narasumber dalam diskusi tersebut.
Andreas juga menyampaikan bahwa PGR (pangan rekayasa genetika) sulit dianalisis resiko jangka panjangnya dan hingga saat ini tidak ada seorang pun peneliti di dunia yang sanggup menyatakan PGR aman seratus persen.
Pertanian Berkelanjutan Alternatif Peningkatan Produksi Pangan
Susan Lusiana, Direktur Pusdiklat Nasional SPI menyampaikan bahwa tujuan rekayasa genetika hanyalah agar sebuah varietas tanaman tahan atas serangan hama dan sama sekali tidak berbanding lurus dengan produksi pangan. Peningkatan produksi ditentukan oleh banyak hal, mulai dari gen dan hormon dan faktor luar seperti makanan, cahaya matahari, kelembaban, suhu, dan lainnya. Intervensi yang bisa dilakukan manusia dalam budidaya adalah berupa budidaya tanaman sehat melalui pertanian berkelanjutan
Dilihat dari sisi petani, tanaman rekayasa genetika cenderung lebih mahal bibitnya, menciptakan ketergantungan terhadap pestisida, hilangnya varietas lokal, hingga produksi yang menurun (laporan FAO pada 2004 menyampaikan bahwa PGR memiliki peningkatan produksi yang tidak signifikan dan cenderung menurun).
“Jadi tanaman hasil rekayasa genetika sama sekali tidak meningkatkan produksi pangan dan tidak juga mensejahterakan petani. Oleh karena itu SPI memiliki alternatif peningkatan produksi pangan yang dikenal dengan sistem pertanian berkelanjutan,” ungkapnya.
Susan memaparkan bahwa pertanian berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup petani, memaksimalkan penggunaan input lokal, mengurangi ketergantungan petani terhadap input eksternal, menjaga keberlangsungan alam dan kesiembangan ekosistem, menghasilkan pangan yang sehat, menjadikan produk organik sebagai produk yang mampu dijangkau masyarakat kalangan menengah bawah, mengutamakan produksi untuk konsumsi lokal, mendekatkan produsen dengan konsumen dan melestarikan nilai dan budaya lokal.
Berdasarkan data di Pusdiklat Nasional SPI, pengaplikasian sistem pertanian berkelanjutan telah berhasil menaikkan produksi padi, kangkung, bayam, caisim, hingga buncis. Alumni sekolah lapang Pusdiklat Nasional SPI asal Cirebon berhasil meningkatkan produksi padi dengan menggunakan metode SRI (System Rice Intensification) dan menggunakan varietas mekongga dari 6,25 ton/Ha menjadi 10 ton/Ha pada April 2011.
“Pada tanaman kangkung hanya dengan menggunakan urine kelinci telah mampu meningkatkan produksi dan produktivitas sebesar 35%, dan pada bayam mampu meningkatkan produksi dan produktivitas sebesar 50%. Pada caisim menunjukan urine kelinci mampu mengusir hama kutu loncat pada caisim, terbukti sekitar 80 % tanaman caisim yang tidak disiram oleh air kencing kelinci diserang oleh hama tersebut, sementara pada perlakuan hanya diserang sekitar 20% saja dan produksi perlakuan hampir mencapai 2 kali lipat sampel kontrol. Begitu juga buncis, tanaman yang diberi pupuk buah memiliki umur panen yang lebih panjang yakni bisa mencapai 13 kali panen,” papar Susan.
Dia juga menyampaikan bahwa salah satu tujuan rekayasa genetika adalah agar tahan terhadap perubahan iklim yang saat ini sedang terjadi di seluruh penjuru dunia.
Sementara itu, Husna Zahir dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengungkapkan bahwa isu yang berkembang yang mengatakan perlu adanya percepatan transgenik untuk kesediaan pangan, berarti sudah dipatahkan. Pangan sebagai kebutuhan dasar, keamanan pangan merupakan hal yang hakiki multak harus terpenuhi.
“Keberlanjutan kebijakan pangan harus diprioritaskan pada pengembangan hasil pertanian dan sumber pangan lokal, dan kebijakan impor untuk menekan harga hanya akan mengakibatkan ketergantungan pada negara lain,” ungkapnya.
Husna juga menambahkan bahwa informasi mengenai keamanan produk rekayasa genetika masih sangat terbatas bagi konsumen.
“Ada hak informasi yang harus dipenuhi agar konsumen bisa bebas memilih,” tambahnya.