JAKARTA. Rencana kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) kembali digulirkan pemerintah tahun ini, setelah 4 tahun lalu pemerintah menaikkan harga BBM. Jika kita hitung-hitung akumulasi kenaikan BBM selama periode kepemimpinan SBY telah mencapai 200 persen. Suatu kenaikan yang sangat fantastis.
Pada tahun ini rencana kenaikan harga BBM disebabkan karena naiknya harga minyak mentah duniai, dari USD 69.5 menjadi USD 105 per barel, sehingga pemerintah mengasumsikan beban subsidi BBM dalam APBN semakin besar dan hingga mencapai 126,59 triliyun.
Alasan lain dari Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral menyatakan bahwa hal ini merupakan langkah menuju Indonesia bebas subsidi BBM pada tahun 2014, dengan alasan bahwa dengan harga mahal, maka orang akan “terpaksa” untuk menghemat BBM (www.bphmigas.go.id).
Menurut Ketua Departemen Politik Hukum dan Keamanan Serikat Petani Indonesia (SPI), Agus Rully Ardiansyah, rencana pembebasan subsidi BBM ini sejalan dengan kepentingan modal internasional dalam mendorong agenda liberaliasi sektor energi di Indonesia.
Menurut Rully, kebijakan ini ditujukan kepada para pemilik modal dan korporasi internasional untuk mendominasi sektor energi nasional dari hulu ke hilir. Dalam rangka itu, sudah sejak jauh-jauh hari pula, melalui penerbitan UU No. 22/2001 tentang minyak dan gas bumi, pemerintah berupaya agar harga BBM secara legal diserahkan kemekanisme pasar.
“Kebijakan menaikkan harga BBM bukan sekedar merespon situasi ekonomi global belaka.Namun tidak lepas dari penerapan sistem ekonomi neoliberal di mana di seluruh sendi kehidupan masyarakat akan diliberalisasi dan diprivatisasi untuk memenuhi kebutuhan mekanisme pasar. Walau akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa kebijakan diatas adalah bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945, namun dalam prakteknya pemerintah tidak melaksanakan keputusan MK ini,” tegas Rully.
Alasan pengguna BBM adalah orang kaya terbalik dalam logika data dari Susenas BPS menunjukkan bahwa 65 persen bensin ternyata dikonsumsi oleh masyarakat kelompok miskin dan menegah bawah (pengeluaran per kapita< 4 dollar AS). Termasuk di dalamnya (29 persen) dikonsumsi oleh kelompok miskin (pengeluaran per kapita< 2 dolar AS). Sementara kelompok rumah tangga menengah atas dan kaya, atau rumah tangga dengan pengeluaran US$ 40 keatas hanya mengkonsumsi 8 persen dari seluruh bensin.
“Tidak bisa dibayangkan betapa makin berat beban masyarakat kelompok miskin dan menengah kebawah, jika awal April ini BBM kembali dinaikkan. Sementara dampak Krisis ekonomi 2008-2010 sudah membuat rakyat semakin terpuruk dalam kemiskinan, kelaparan dan juga menyebabkan adanya peningkatan konflik agraria,” ujar Rully.
Oleh karena itu menurut Rully sangatlah gegabah bila Menko Perekonomian Hatta Rajasa bahkan berani mengatakan bahwa kenaikan BBM ini tidak akan merugikan masyarakat, dan bahkan subsidi yang diberikan untuk BBM ini bisa dialihkan untuk kepentingan masyarakat tidak mampu.
Lebih lanjut Rully mengatakan, bagi petani, kenaikan harga BBM artinya juga kenaikan biaya produksi. Bagi petani kecil penyewa lahan, setidaknya biaya produksi selain benih dan pupuk juga meliputi harga sewa tanah, sewa traktor dan pompa air.
Pengalaman di tahun 2008, sewa tanah di Cirebon Jawa Barat naik 100%, yaitu dari Rp. 5 juta/ha/tahun menjadiRp. 10 juta/ha/tahun. Demikian juga pengolahan hasil panen seperti usaha penggilingan padi dan ongkos angkut atau transportasi.
“Misalnya Sebuah traktor tangan berkekuatan 8.5 PK membutuhkan solar sebanyak ±18 liter/ha sekitar Rp. 81.000 untuk pengolahan lahan sampai siap tanam yang memerlukan waktu ± 18 jam. Saat ini rata-rata sewa traktor antara Rp 400.000 hingga Rp 500.000 per hektar. Belum lagi bagi petani penyewa bias dipastikan sewa tanah akan naik. Artinya semua kenaikan ini akan dibebankan kepada petani, seperti yang sudah terjadi sebelumnya ditahun 2008 lalu,” jelas Rully.
Dampak rencana kenaikan BBM saat ini sudah dirasakan di beberapa daerah. Di Ponorogo bahkan petani yang ingin membeli solar dalam jumlah yang cukup besar tersebut untuk traktor dan perontok padinya harus mendapatkan surat ijin dari kepala desa. Hal ini karena dikhawatirkan bahwa petani akan menimbun bahan bakar menjelang kenaikan ini, mengingat solar dan BBM lainnya mulai sulit didapat seperti yang diungkapkan Ruslan, Ketua DPW SPI JawaTimur.
Sementara itu, skema kompensasi BBM seperti BLT hanya menjadi “pemanis” sementara dan tidak akan sanggup membantu masyarakat miskin dan menengah kebawah. Lagi pula BLT bukanlah proses pembangunan yang berkelanjutan bagi rakyat.
Seperti pengalaman kenaikan bertahap BBM tahun 2005 dilanjutkan dengan kenaikan tahun 2008, hal ini hanya menjadi “pemanis” sementara di awal kenaikan BBM namun kedepannya akan menjerat rakyat dalam kemiskinan.
Namun demikian apapun bentuk bantuan atau subsidi kepada rakyat adalah Hak Rakyat dan Kewajiban Pemerintah yang harus dilaksanakan dan tanpa penyelewengan.
Maka dari itu, kami Serikat Petani Indonesia (SPI):
1. MENOLAK rencana kenaikan harga BBM yang merupakan kebijakan liberalisasi, privatisasi, komersialisasi dan korporatisasi sektor energi di Indonesia, dan yang pasti kebijakan tersebut tidak berpihak kepada rakyat.
2. MENYERUKAN kepada seluruh rakyat Indonesia khususnya anggota serta pengurus SPI untuk melakukan aksi penolakan di berbagai daerah.
Kontak lebih lanjut:
Agus Rully Ardiansyah (Ketua Departemen Polhukam SPI) HP: 087821272339
Achmad Ya’kub (Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional SPI) HP: 0817712347