Resolusi Kaum Tani Pecah Kebuntuan Pembangunan Pedesaan

Diskusi komisi di dalam Kongres IV SPI di Alun-Alun Barat, Serang, Banten

SERANG. Pertemuan lima tahunan kaum tani seluruh Indonesia yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia (SPI) memasuki hari ketiga. Pada Selasa (4/3), ratusan kaum tani dari Aceh hingga Maluku Utara merumuskan resolusi-resolusi yang bertujuan untuk memecah kebuntuan pembangunan pedesaan.

Kebuntuan itu didasari fakta-fakta berikut yang disodorkan peserta kongres: bahwa saat ini lebih dari sekitar 60%  penduduk Indonesia masih bertempat tinggal di kawasan perdesaan. Pekerja di pedesaan sebagian besar ditampung dalam sektor pertanian—total mencapai 46,26 persen dari total pekerja nasional. Sementara itu, jumlah mayoritas ini tak diikuti dengan naiknya taraf hidup petani dan rakyat yang tinggal di pedesaan. Pada tahun 2003, jumlah penduduk miskin adalah 37,3 juta jiwa (17,4 persen), di mana persentase penduduk miskin di perdesaan 20,2 persen, lebih tinggi dari perkotaan yang mencapai 13,6 persen. Perkembangan beberapa tahun kemudian juga tak menunjukkan perbaikan. Angka kemiskinan nasional disebut menurun dari 14,15 persen atau 32,53 juta jiwa pada 2009 menjadi 13,32% atau 31,02 juta jiwa pada 2010—namun pada periode yang sama kemiskinan di pedesaan justru naik: dari 63,35 persen menjadi 64,23 persen!

Ketua Umum SPI, Henry Saragih menyatakan dengan tegas analisis dari kaum tani, “Bahwa persoalan kemiskinan serta ketimpangan kesejahteraan di desa jelas diakibatkan rendahnya alat produksi yang dikuasai oleh penduduk perdesaan.” Data yang tersedia menyebutkan bahwa Rumah Tangga Petani (RTP) gurem, kaum tani yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar, ternyata mencapai 56,2 persen dari pengguna lahan!

Zubaidah, pemimpin SPI dari Sumatera Utara menyambung, “Untuk itu desa sebagai subjek pembangunan harus memiliki konsolidasi program kerja, penguatan kelembagaan desa dan kelembagaan masyarakat desa,” ujar dia.  “Kesatuan perencanaan keuangan, one village-one plan-one budget, dan penguatan akuntabilitas pengelolaan desa sudah tak bisa ditawar lagi,” ujar aktivis hak perempuan petani ini.

Dalam sidang Kongres IV SPI, M. Yunus Nasution yang menjabat Ketua Sidang menyatakan, “Pembangunan pedesaan harus melalui mekanisme partisipasi masyarakat secara aktif,” kata dia.

Untuk menjamin suara masyarakat desa yang aktif, hak-hak petani dan rakyat pedesaan harus dijamin. Peserta kongres menyebutkan perlindungan hak-hak produsen pangan meliputi: (1). Kesetaraan hak perempuan dan laki-laki petani; (2). Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak; (3). Hak atas Tanah dan Teritori; (4). Hak atas Benih, Pengetahuan dan Praktek Pertanian Tradisional; (5). Hak atas Permodalan dan Sarana Produksi Pertanian; (6). Hak atas Informasi dan Teknologi Pertanian; (7). Kebebasan untuk Menentukan Harga dan Pasar untuk Produksi Pertanian; (8). Hak atas Perlindungan Nilai-nilai Pertanian; (9). Hak atas Keanekaragaman Hayati; (10). Hak atas Pelestarian Lingkungan; (11). Kebebasan Berkumpul, Berpendapat dan Berekspresi; dan (12) Hak untuk Mendapatkan Akses terhadap Keadilan.

“Di Banten, di tempat kongres kaum tani ini berlangsung, kasus-kasus pelanggaran hak asasi yang disebutkan di atas masih mendominasi, seperti dengan Perhutani, TNI-AU serta beberapa perusahaan swasta perkebunan,” ujar Henry Saragih. “Perlindungan hak asasi tak disertai insentif untuk bangga menjadi petani, atau sektor pertanian menjadi atraktif. Contoh yang paling jelas di Banten adalah pembangunan infrastruktur, terutama jalan dan irigasi. Sulit bagi petani untuk mengakses produk pertanian lokal dan sehat mereka ke pasar,” pungkas Henry.

Tak lupa, investasi ke daerah pedesaan harus ditingkatkan. Studi dari berbagai lembaga internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Dana Internasional untuk Pertanian (IFAD) dan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) menyebutkan bahwa dana publik yang mengalir untuk daerah pedesaan semakin sedikit—justru di saat rakyat miskin terkonsentrasi di daerah tersebut. “Investasi ini haruslah meredistribusi sumber daya (tanah, air, benih) ke petani, serta mempromosikan pertanian agroekologi yang berkelanjutan,” kata Henry lagi. “Lumbung pangan, seperti leuit pada kearifan lokal Banten, adalah salah satu yang harus didukung untuk investasi dan pengembangan di pedesaan,” tukas dia.

Selain menjelaskan dengan gamblang resolusi tentang pembangunan pedesaan, Kongres IV SPI juga akan menghasilkan resolusi-resolusi yang mendukung tema tersebut, di antaranya tentang pertanian agroekologi untuk menghadapi perubahan iklim, tentang kedaulatan pangan, tentang respon pelanggaran hak asasi petani, serta tentang peran perempuan petani untuk kedaulatan pangan. Kongres akan berlanjut hingga Rabu (5/3) untuk turun langsung ke basis petani di Kabupaten Lebak, Banten.

 

=====================

Kongres IV SPI diadakan di Balai Besar Latihan Kerja Industri, Serang, Banten mulai 1-5 Maret 2014.

Kontak lebih lanjut untuk media:

M. Ikhwan (+6281932099596, m.ikhwan@spi.or.id),

Hadiedi Prasaja (+6285361003040, prasaja@spi.or.id)

ARTIKEL TERKAIT
Pastikan Suara Petani untuk Jokowi-JK Pastikan Suara Petani untuk Jokowi-JK
HUT SPI: Puncak perayaan HUT SPI ke-10 di Maumere HUT SPI: Puncak perayaan HUT SPI ke-10 di Maumere
SPI Kendal Selenggarakan Grebeg Alas Susuk Wangan
perkembangan nilai tukar petani ntp 2015 Target Pengentasan Kemiskinan Pemerintah 2015 Meleset, Akar ...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU