JAKARTA. Pada 9-14 Oktober 2012 diadakan pertemuan tahunan IMF dan World Bank di Tokyo, Jepang. Meskipun Jim Yong-kim terpilih sebagai presiden Bank Dunia yang baru, namun kebijakan Bretton Wood Institutions ini tidak akan berubah. Agenda neoliberal masih menjadi agenda utama, meskipun krisis finansial 2008 menunjukkan bahwa sistem kapitalisme-neoliberal menyorong dunia dalam krisis yang terus berulang.
Menurut Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI), Achmad Ya’kub, Bank Dunia mendorong korporatisasi pertanian dan spekulasi pangan sehingga petani kecil jadi korban dan jadi buruh di negeri sendiri.
“Bank Dunia salah satu yang mendorong investasi besar-besaran di sektor pertanian utamanya di negara-negara Afrika dan Asia. Akibatnya terjadi perampasan tanah (land grabbing) yang melibatkan sekitar 203 juta hektar lahan sejak tahun 2001-2010,” ungkap Ya’kub dalam konferensi pers bersama Menyikapi Pertemuan IMF dan World Bank, di Jakarta, kemarin (12/10).
Ya’kub menjelaskan, Di Indonesia pada tahun 2004, Bank Dunia membiayai pembuatan UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dalam kerangka structural adjusment program (SAP). UU ini mendorong privatisasi terhadap sumber-sumber air yang bertentangan dengan konstitusi Indonesia dan menyebabkan banyak wilayah sumber air yang seharusnya untuk kepentingan pertanian dan publik namun justru dikuasai oleh perusahaan-perusahaan air minum multinasional.
“Salah satu contohnya konflik di Padarincang Banten yang melanda 9.000 rumah tangga tani, sehingga sawah produktif seluas 6.200 Ha terancam kekeringan,” tegasnya.
Di tempat yang sama, Yuyun Harmono dari Koalisi Anti Utang (KAU) memaparkan, alih-alih mendorong regulasi yang lebih ketat terhadap praktek spekulasi pangan, Bank Dunia justru menggandeng JP Morgan mengeluarkan instrumen pendanaan baru dikhususkan bagi negara berkembang. Instrumen untuk lindung nilai (hedging) komoditas pertanian tersebut bernilai total 400 Juta USD, masing-masing berasal dari Bank Dunia (200 juta USD) dan JP Morgan (200 juta USD). Hal ini adalah solusi yang salah, Bank Dunia lewat salah satu lembaga sayapnya yaitu International Finance Corporation (IFC) justru bekerja sama dengan spekulan pangan seperti JP Morgan untuk mentransfer pola spekulasi yang sama ke negara berkembang.
“Bank Dunia bersama G20 juga menjadi pendukung terjadinya fenomena perampasan tanah (land grabbing) seperti yang terjadi di banyak negara di dunia. Bank Dunia adalah salah satu pemain besar dalam investasi pertanian. Investasi Bank Dunia untuk sektor pertanian naik tiga kali lipat dari 2,5 milyar USD pada tahun 2002 menjadi 6-8 Milyar USD pada tahun 2012,” paparnya.
Sementara itu menurut Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Wahidah Rustam, kepentingan perusahaan multinasional dan transnasional, Bank Dunia dan lembaga keuangan internasional lainnya terhadap sektor pangan, juga tercermin pada berbagai kebijakan nasional, salah satunya Revisi UU No.7 Tahun 1996 Tentang Pangan.
Menurutnya peluang impor pangan, penguasaan sumber pangan oleh pihak swasta, permainan spekulan harga pangan, telah mengancam kearifan lokal perempuan, membatasi akses dan kontrol perempuan dalam pengelolaan sumber daya pangan, menghilangkan sumber ekonomi perempuan dan menghilangkan peran perempuan dalam produksi, konsumsi dan distribusi pangan.
Oleh karena itu, baik Ya’kub, Yuyun dan Wahidah sepakat bahwa rekomendasi kebijakan Bank Dunia ini harus segera dihentikan dan dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan Bank Dunia di sektor pertanian sebagai upaya untuk koreksi internal.
Lebih penting lagi, pemerintah negara berkembang khususnya Indonesia harus berhenti mendengarkan Bank Dunia dan mendorong kebijakan pangan di tingkat lokal dan nasional menuju kedaulatan pangan.