Sarwadi: “Petani itu harus menguasai tanah, baru mereka bisa makmur”

Sarwadi Sukiman, Pria kelahiran Purworejo, 1 Juli 1971. Sarwadi yang saat ini memiliki tanggung jawab sebagai Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) Serikat Petani Indonesia (SPI) Jambi berasal dari keluarga petani yang cukup sederhana. Masa kecil Sarwadi cukup sulit, ibunya hanyalah seorang petani ketela sedangkan ayahnya seorang pekerja upahan yang hanya dibayar apabila ada borongan kerja. Dengan penghasilan yang tidak seberapa itu, orangtuanya harus menghidupi dan memberi makan delapan orang anak.

Akhirnya orang tua Sarwadi memutuskan untuk pindah ke Sumatera dengan bermodalkan uang hasil menjual lahan mereka seluas 0,6 hektar di kampungnya. Pada 1987, Keluarga Sarwadi akhirnya menetap di daerah Jambi dan membeli lahan seluas 1 hektar. Lahan tersebut kemudian ditanami ubi jalar, ubi kayu, cabe, serta sayur mayur dan hasil dari lahan inilah yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sekeluarga. “Waktu pindah ke Jambi, saya ikut kejar paket C karena SMA hanya sampai kelas 1, siangnya saya bertani dan malamnya saya kerja di dinas kebersihan, untuk bantu-bantu orang tua” ungkap pria yang tidak begitu tinggi ini.

Sarwadi sadar bahwa dia harus bekerja keras agar dapat terus bertahan. Pria berkumis tipis ini pun bertekad bahwa kemiskinan yang dialaminya harus bisa membuatnya bangkit. Dia pun berjanji pada dirinya sendiri bahwa para keturunannya kelak harus lebih sukses daripadanya.

Dengan kerja kerasnya, saat ini Sarwadi telah memiliki lahan pribadi seluas empat hektar yang ditanaminya karet dan 0,25 hektar yang ditanaminya umbi-umbian dan padi. Hanya dengan bertani, Sarwadi mampu menyekolahkan anak-anaknya di pondok pesantren yang cukup ternama di daerahnya. “Saya ini sebenarnya sangat ingin seluruh kalau seluruh tanah saya ditanami padi, tapi kondisi geografis di Jambi ini cenderung berpasir, jadinya tidak mendukung” kata ayah dari dua orang putra dan seorang putri ini.

Petani itu harus pintar

Sarwadi menyadari bahwa walaupun berprofesi sebagai seorang petani, dia juga harus kaya akan ilmu pengetahuan dan salah satu cara untuk menambah pengetahuannya adalah dengan berorganisasi. Sarwadi mulai berorganisasi sejak 1998, saat itu pamannya mendirikan sebuah kelompok tani (poktan) di daerahnya. Poktan ini kemudian bergabung ke Persatuan Tani Jambi yang notabene merupakan anggota Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI). Sarwadi pun mulai giat berorganisasi, dia sering mengajukan diri untuk ikut dalam pendidikan-pendidikan yang diadakan oleh FSPI. Mulai dari kursus mengenai ancaman Neoliberalisme di Wonosobo sampai pendidikan advokasi petani di Medan, keseluruhannya diikuti Sarwadi dengan sungguh-sungguh.

“Saya ini dulu berpaham liberal, saya pernah juga kerja di MLM, tapi setelah saya aktif di organisasi ini, saya mulai rajin dan tertarik untuk membaca semua buku dan materi yang ada, akhirnya saya paham garis-garis perjuangan organisasi SPI ini yang betul-betul peduli pada petani kecil” jelas Sarwadi.

Sarwadi juga menjelaskan bahwa kepemilikan tanah bagi petani adalah sebuah harga mati. Oleh karena itu, Sarwadi sedikit miris dengan kondisi yang terjadi di daerahnya. Suami dari Bariah ini mengatakan bahwa Jambi merupakan surga investor yang menanamkan modalnya di bidang perkebunan dan pertanian karena luasnya lahan di daerah tersebut. Namun Pemerintah masih saja kurang berpihak kepada rakyat (baca: petani). Pemerintah juga kurang memperhatikan kepemilikan lahan oleh petani. Sarwadi menyebutkan bahwa Jambi merupakan pilot project dari REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) – Mengurangi Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan – akibatnya 45 ribu hektar lahan milik petani dan masyarakat adat terancam.“Saat ini kami sudah berhasil melakukan reklaiming lahan seluas 15 ribu hektar dari yang 45 ribu hektar itu, petani itu butuh tanah, kalau modal nantilah, petani harus kuasai tanah, kalau soal produksi itu nomor dua” sebut Sarwadi.

Sarwadi menceritakan bahwa pada saat mengikuti demo global menolak WTO (World Trade Organization) di Hongkong (2005), dia menjadi sadar bahwa perjuangan membela kaum petani kecil ini juga memiliki jaringan yang luas di seluruh dunia. Sarwadi sangat senang bahwa dia juga memiliki rekan-rekan dari seantero dunia yang senasib dan seperjuangan. “Saya cukup bangga karena petani kecil seperti saya ini ternyata mampu menyumbangkan tenaga dan pengalaman saya bagi kemaslahatan petani di dunia” ungkap Sarwadi.

ARTIKEL TERKAIT
Pemerintah harus bantu petani yang terimbas krisis global akibat jatuhnya harga produk pertanian Pemerintah harus bantu petani yang terimbas krisis global ak...
Belajar Merawat Alam Dengan Pertanian Berkelanjutan
Seruan solidaritas gempa Sumatera Barat Seruan solidaritas gempa Sumatera Barat
Musyawarah Tani SPI Sumatera Utara di Kampung Reforma Agrari...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU