
Satu tahun telah berlalu sejak peristiwa memilukan yang menimpa masyarakat adat Nagari Kapa, Pasaman Barat. Pada 4 Oktober 2024, ratusan aparat dan pihak perusahaan PT. PHP I Wilamar Group melakukan penggusuran paksa terhadap tanaman, pondok, musala, dan posko milik petani anggota Serikat Petani Indonesia (SPI). Penggusuran itu dikawal oleh aparat kepolisian Polres Pasaman Barat dan Polda Sumatera Barat, meskipun konflik agraria di Kapa saat itu sedang dalam proses penyelesaian melalui mekanisme LPRA (Lokasi Prioritas Reforma Agraria).
Sudah satu tahun berlalu, namun masyarakat petani Kapa masih belum melihat adanya perkembangan dalam upaya penyelesaian masalah yang mereka hadapi. Berbagai usaha telah dilakukan, namun pihak yang berwenang tampak masih menutup mata terhadap persoalan ini. Akibatnya, para petani terus berada dalam ketidakpastian, bahkan kini sebanyak sebelas orang petani harus menjalani proses hukum dan menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri Simpang Empat, Kabupaten Pasaman Barat.
Upaya pendampingan hukum telah dilakukan oleh LBH Padang, DPW SPI Sumatera Barat, DPC Pasaman Barat, hingga jaringan solidaritas perempuan nasional, namun dukungan dari pemerintah daerah belum terlihat. Atnur Meli, salah satu petani perempuan anggota SPI sekaligus korban dalam kasus ini, menyebut bahwa hingga kini belum ada perubahan berarti meski berbagai usaha telah dilakukan oleh masyarakat petani. “Sudah satu tahun berlalu, belum ada perkembangan dan perubahan untuk masyarakat petani Kapa, walaupun sudah berbagai upaya dilakukan,” ungkapnya.
Menurut Pusat Bantuan Hukum Petani (PBHP) SPI, dinamika hukum dalam kasus ini mengandung banyak ketimpangan yang menunjukkan bahwa perlindungan hukum untuk petani sangat lemah. PBHP mencatat bahwa polisi cenderung memihak perusahaan, laporan kekerasan yang diajukan petani sering tidak diterima, sementara laporan dari perusahaan diproses lebih cepat. “Ketika perusahaan melapor, polisi cepat menindaklanjuti. Tapi laporan petani korban kekerasan justru diabaikan,” ungkap Hafis Saragih selaku Ketua PBHP SPI.
Di balik angka dakwaan dan lembaran laporan, ada fakta teknis yang menambah bobot konflik: PT. PHP I mengklaim Hak Guna Usaha (HGU) No. 54 di wilayah konflik, namun dokumen BPN menunjukkan bahwa HGU tersebut tercatat di Nagari Sasak, bukan Nagari Kapa, yang artinya ada tumpang tindih klaim objek lahan. Adapun total areal konflik di Nagari KAPA adalah 924 hektare, di mana sekitar 600 hektare sudah ditanami petani dengan jagung, pisang, dan tanaman pangan lainnya. Dengan total kerugian mencapai lebih dari 2 miliar rupiah.


Peristiwa penggusuran di LPRA SPI Kapa berlangsung dalam beberapa tahap. Pada 3 Oktober 2024, sekitar 200 aparat kepolisian tiba di lokasi. Keesokan harinya, 4 Oktober pagi, akses menuju ladang ditutup dan petani yang mencoba masuk dicegat hingga terjadi bentrokan fisik antara petani dan aparat maupun pihak perusahaan. Dalam peristiwa itu, PT PHP I menggunakan excavator dan bibit sawit untuk menggusur tanaman pangan milik petani. Sekitar pukul 10.30 WIB, sebanyak 15 petani ditangkap saat berupaya mempertahankan tanaman dan bangunan, beberapa di antaranya mengalami kekerasan fisik seperti ditampar. Dari jumlah tersebut, sekitar 10 orang dibawa ke Polda Sumatera Barat, termasuk Atnur Meli serta beberapa petani perempuan dan laki-laki lainnya.

Sementara itu, di lapangan, beban paling berat tetap ditanggung oleh petani perempuan. Mereka kehilangan keamanan, mengalami intimidasi, dan harus hidup dalam ketidakpastian hukum. “Kami petani Kapa masih terombang-ambing tanpa kepastian hukum, seolah hidup dalam genggaman orang berduit dan para penguasa durjana,” kata Atnur Meli. Ia juga menyampaikan bahwa selama ini petani di Kapa seolah dipandang sebelah mata oleh pemerintah daerah, dan hanya dukungan dari masyarakat sipil yang bisa memberi harapan kecil.
Kasus Kapa menjadi cermin ketidakmampuan negara dalam melindungi warganya dari praktik korporasi yang agresif. Meskipun Konfigurasi Konflik Kapa telah ditetapkan sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA), proses penyelesaiannya berjalan lambat dan penuh hambatan. SPI mendesak agar Kapa menjadi prioritas dalam agenda reforma agraria nasional, serta DPR RI melalui Pansus Konflik Agraria ikut mendorong percepatan penyelesaian.
“Terima kasih telah memberikan ruang untuk membuka kembali luka lama yang akan membuat kami lebih bersemangat untuk melanjutkan perjuangan ini, karena ternyata masih ada yang peduli akan nasib petani Kapa,” pungkas Atnur Mely.