JAKARTA. Indonesia merupakan negara agraris, namun menjadi pengimpor pangan terbesar di dunia, dengan rata-rata nilai impor pangan yang mencapai Rp 110 trilyun per tahun. Kebijakan impor pangan ini telah mengantarkan Indonesia ke jurang krisis pangan.
Pangan merupakan komoditi yang “khusus” disebut khusus karena merupakan salah satu kebutuhan mendasar manusia. Sehingga perlu adanya pengaturan secara khusus dalam distribusi pangan yang seharusnya berbeda dari pengaturan distribusi barang lainnya.
Pengaturan pangan harus dibawah kendali negara, karena negara berkewajiban menjamin dan memenuhi salah satu hak dasar rakyat ini. Sayangnya kondisi tersebut jauh panggang dari api. Kebijakan pangan negeri ini telah diserahkan sepenuhnya kepada pasar. Sehingga fluktuasi harga pangan sulit dikendalikan oleh pemerintah. Akibatnya harga pangan melambung tinggi dan tidak bisa dijangkau oleh masyarakat miskin. Hal ini disampaikan Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Rabu (8/92011) di Jakarta.
Setali tiga uang dengan nasib aktor utama penyedia pangan, yaitu petani, kebijakan pertanian tidak menyediakan ruang terhadap kesejahteraan petani sehingga menambah suram masa depan petani.
Dengan rata-rata alih fungsi lahan pertanian sebesar 230 ribu hektar per tahun (Kementan, 2007) dan dukungan infrastruktur dan input pertanian yang belum memadai, beban yang dipikul para petani untuk memproduksi pangan yang cukup bagi seluruh rakyat Indonesia sangatlah berat. Belum lagi terjadi perubahan iklim yang ekstrem membuat banyak kegagalan panen di mana–mana,” tambah Henry.
Selain itu, menurut Henry, lemahnya peran negara dalam sistem distribusi membawa konsekuensi pada fluktuasi harga beberapa komoditi strategis yang mengikuti mekanisme pasar dan kemudian seringkali diikuti kelangkaan komoditi pada waktu-waktu tertentu, seperti saat menjelang hari raya.
“Hal ini menyulitkan sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama masyarakat berpendapatan rendah yang rata-rata 73% pendapatannya sudah habis untuk pemenuhan kebutuhan pangan,” kata Henry.
Sementara itu Bulog yang diharapkan menjadi garda depan dalam menjalankan distribusi dan cadangan pangan tidak bisa diharapkan. Sejak awal pendiriannya, Bulog merupakan salah satu instrumen pelaksana kebijakan pangan nasional. Perannya terus mengalami pasang surut dan fungsi Bulog terus dipersempit sampai akhirnya memberi peluang yang besar bagi swasta untuk mengimpor beras.
Dihapuskannya tanggung jawab penuh lembaga negara tersebut dalam ekspor impor beras pasca Letter of Intent (LoI) dengan IMF pada 11 September 1998 yang menyebutkan antara lain”…also, for the first time in thirty years, we will allow private traders to import rice” (untuk pertama kalinya dalam 30 tahun, kita akan mengijinkan pedagang swasta untuk mengimpor beras) membuat subsistem distribusi semakin lemah, terutama semenjak semakin terintegrasinya perdagangan pangan nasional dengan pasar internasional, lonjakan tajam harga pangan dunia mengancam Indonesia.
Menurut Henry pemerintah sudah waktunya menerapkan kebijakan berjangka panjang yang mampu secara efektif menekan laju kenaikan harga beras dan bahan pangan pokok lainnya, mengingat tingginya fluktuasi harga pangan yang kerap terjadi.
Untuk itu Henry mengusulkan segera dibentuk Kementrian Pangan untuk mengkordinir seluruh keputusan soal produksi dan distribusi pangan di Indonesia serta memberikan perhatian khusus kepada orang-orang miskin serta yang tidak mampu dalam mengakses pangan. Sehingga terpastikan pangan sampai kepada orang-orang yang tidak memiliki askses terhadap pangan tersebut.
Kemudian Menempatkan Bulog menjadi lembaga yang sangat sentral dalam menampung, mendistirbusikan dan menyimpan produksi pangan dalam negeri dan dalam mengimpor makanan yang terpaksa harus dilakukan.
Segera mendesak mengaktifkan kembali lagi koperasi-koperasi di pedesaaan yang berfungsi untuk mengelola pemasaran produksi-produksi pertanian petani khususnya dalam hal ini pangan dan memberikan peran yang sangat besar kepada organisasi tani dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan distribusi dan pemasaran produk-produk pertanian tersebut.
Dalam upaya meningkatkan produksi, pemerintah jangan menunda-nunda lagi program Pembaruan Agraria yang telah dicanangkan, segera distribusikan tanah-tanah baik yang dikuasai oleh negara maupun pihak swasta yang berlebihan kepada orang-orang tak bertanah d ipedesaan khsususnya untuk memproduksi bahan makanan dan menghentikan alih fungsi lahan pertanian.
Meningkatkan subsidi meningkatkan subsidi dan insentif bagi petani tanaman pangan untuk terus berproduksi.
Meningkatkan proteksi bagi produk pangan nasional yang beberapa tahun belakangan mendapat gempuran keras dari pangan impor.
Dengan dilaksanakanya kebijakan dan perangkat ini maka kita yakin negara ini akan mampu menegakkan kedaulatan pangan di Indonesia. ####
Kontak:
Henry Saragih (Ketua Umum Serikat Petani Indonesia)
HP: 0811-655-668