BOGOR. Dua perawakilan Serikat Petani Indonesia (SPI), Mahmud Zulfikar Rachman dan Pandi, membagikan kisah sukses koperasi petani SPI dalam diskusi tematik pada Selasa, 22 April 2025. Diskusi tema1 ini merupakan salah satu rangkaian dari kegiatan Asia Learning Exchange on Agroecology Economies yang bertempat di Bogor, Indonesia.
Pada sesi diskusi tematik tersebut, Zulfikar mengambil peran sebagai pemantik dikusi menegaskan bahwa SPI sebagai organisasi massa petani menjadikan koperasi sebagai strategi untuk melawan sistem ekonomi kapitalis. “Sistem ekonomi yang plaing sesuai untuk melawan kapitalisme adalah koperasi, sistem koperasi lebih demokratis – one person one vote,” ujarnya.
Zulfikar menjelaskan bahwa dasar hukum di Indonesia sebenarnya sudah mengakui pentingnya pengolaan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat. Namun, sejarah menunjukkan bahwa perjalanan agraria Indonesia tidak selalu sejalan dengan hal tersebut. Tidak sampai di situ, Zulfikar juga memaparkan mengenai Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 yang mana berisi tentang redistribusi lahan bekas Perkebunan kolonial. Namun, pasca kudeta militer tahun 1965 dan naiknya pemerintahan orde baru, arah kebijakan berubah. Lahan – lahan yang seharusnya untuk rakyat justru dikuasai oleh perusahaan, baik transnasional, nasional, maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Sejak 2012, SPI mendeklarasikan komitmen untuk membeentuk seribu koperasi di berbagai desa di Indonesia. “Modal koperasi berasal dari anggota, baik simpanan pokok maupun simpanan wajib. Keputusan bisnis juga didasarkan pada kebutuhan anggota. Bahkan, jika membutuhkan modal dari luar, milainya tidak boleh lebih besar dari modal kolektif para nggota,” ungkap Zulfikar menjelaskan mengenai sistem koperasi petani SPI.
Berbicara mengenai produk, Zulfikar menekankan bahwa perlu adanya keunikan sehingga produk tersebut bisa diterima pasar. Ia juga menambahkan bahwa produk yang dihasilkan koperasi SPI memiliki keunikan tersenfiti karena berbasis agroekologi, artinya bebas dari bahan kimia dan sepenuhnya organik.
Sejalan dengan hal itu, Pandi memberikan pemaparan terkait upaya koperasi SPI dalam memperluas distribusi produknya. “Kami telah menjual hasil pertanian dari skala kecil hingga ke pasar yang lebih besar seperti mal dan supermarket, bahkan melalui tengkulak,” katanya. Namun menurut Pandi, tantangan utamanya saat ini bukan hanya soal distribusi, tetapi bagaimana menyatukan pemahaman ideologis antaranggota dan memperkuat pasar-pasar berbasis wilayah (territorial market).
Diskusi tematik ini mempertemukan SPI dengan organisasi petani lain di Asia, seperti Roots for Equity, MASIPAG, IFOAM/FiBL Swiss, Focus on the Global South, dan GRAIN. Azra Talat dair Roots for Equity menyoroti pentingnya membangun kepercayaan petani di tengah ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Azra bertanya mengenai bagaimana SPI bisa dekat dengan petani. Zulfikar menjawab, “Kuncinya adalah simpati dulu, kami mendengarkan mereka, lalu berbagi. Kami bukan advokat, kami mendidik agar mereka bisa mengorganisasi diri mereka sendiri.”
Zainal Arifin Fuad, selaku Kepala Departemen Luar Negeri SPI, menegaskan bahwa perjuangan SPI merupakan proses dari bawah ke atas (bottom-up process) yang dilakukan secara bertahap—dari tingkat desa, provinsi, hingga nasional. Ia menekankan bahwa perjuangan SPI berlandaskan pada konstitusi, bukan bertentangan dengan negara. “Kami bukan anti pemerintah. Dasar perjuangan kami justru sama dengan konstitusi. Karena itu, kami percaya diri untuk terus meningkatkan kesadaran anggota,” ujarnya.
“Dalam pengalaman kami, ada sebagian orang yang hanya ingin mendapatkan lahan, lalu pergi,” tambah Zainal. Karena itu, sejak Kongres pertamanya pada tahun 1998, SPI mengusung slogan menguatkan organisasi rakyat, menguatkan organisasi petani, untuk melaksanakan reforma agraria. Baginya, intinya bukanlah hasil individual, tetapi organisasi secara kolektif. Terakhir, Zulfikar menegaskan bahwa koperasi tak hanya soal bisnis, tapi juga soal ideologi dan kesadaran kolektif menuju ekonomi mandiri.
Semangat teman2 semua