LANGKAT. Belum genap satu bulan petani anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) Basis Sei Litur, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara menduduki kembali lahan mereka yang selama ini dikuasai oleh PTPN II Kebun Sawit Sebrang. Teror dan intimidasi kembali mewarnai hari-hari mereka, baik pada saat melakukan aktivitas pertanian di lahan maupun dalam kehidupan sosial mereka.
Pada Selasa (20/04), Pihak PTPN II membawa massa sebanyak tiga truk yang terdiri dari buruh harian lepas PTPN II Kebun Sawit Sebrang ke lahan perjuangan milik petani anggota SPI Basis Sei Litur. Dengan mendapat pengawalan sekitar 20 orang polisi dari Polsek Sawit Sebrang, rombongan dari PTPN II Kebun Sawit Sebrang ini hendak mendirikan plang yang menyatakan bahwa lahan tersebut merupakan lahan HGU milik PTPN II Kebun Sawit Sebrang. Selanjutnya pihak PTPN II memberikan surat kepada anggota SPI Basis Sei Litur yang berisikan bahwa petani anggota SPI Basis Sei Litur harus segera keluar dari lahan dan menghentikan segala bentuk aktivitas pertanian di lahan yang mereka sebut lahan milik PTPN II Kebun Adolina, dan jika dalam waktu 1×24 jam tidak mengindahkan peringatan ini maka pihak PTPN II Kebun Sawit Sebrang akan melakukan okupasi terhadap lahan tersebut. Akibatnya terjadi adu mulut yang cukup hebat antara petani anggota SPI Basis Sei Litur dengan pihak perusahaan.
Saenan, Ketua SPI Basis Sei Litur mengungkapkan bahwa tanah itu memang milik mereka. “Kami punya bukti-buktinya kok, kami juga menyayangkan tindakan PTPN II yang sengaja mengadu domba masyarakat, antara kami (petani SPI Basis Sei Litur-red) dengan buruh lepasnya” tegas Saenan.
Aksi intimidasi ini juga kembali dilanjutkan pihak PTPN II Kebun Sawit Sebrang pada keesokan harinya (21/04). Dengan tetap menggunakan tiga truk massa, PTPN II kembali berusaha untuk merebut tanah perjuangan petani SPI Basis Sei Litur.
Wagimin, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) SPI Sumatera Utara menyayangkan pihak perkebunan dalam kasus ini PTPN II, yang tetap bersikap arogan dalam menanggapi permasalahan yang melibatkan masyarakat petani kecil. Dia juga menyayangkan pihak kepolisian sebagai aparatur negara tidak mengambil peran aktif dalam menjaga situasi kondusif di lokasi sengketa maupun lingkungan tempat tinggal masyarakat. Selanjutnya Wagimin juga mendesak BPN (Badan Pertanahan Nasional) wilayah Sumatera Utara untuk memberi kejelasan perihal status yang selama ini dikuasai oleh PTPN tanpa HGU. ” Kami juga mendesak BPN Kanwil Sumut agar tidak menerbitkan Sertifikat HGU berdasarkan SK kepala BPN RI no. 119/HGU/BPN RI/2009, karena terdapat silang sengketa diatas areal lahan yang dimaksud tersebut” tambah Wagimin.
Sejak 1953, lahan tersebut dikuasai dan diolah oleh masyarakat sebagai sumber mata pencarian mereka dengan menanam tanaman pangan yaitu padi. Pada 1963, lahan tersebut diambil paksa oleh perusahaan perkebunan bernama Boenes Area yang dipimpin oleh Tuan Besar Chris Wehh, namun karena kegigihan masyarakat untuk mempertahankan lahan mereka akhirnya lahan tersebut dapat dikuasai kembali oleh masyarakat. Ketenangan masyarakat dalam mengolah lahan tersebut tidak berlangsung lama, tahun 1975 – 1976, Kepala Desa Sei Litur Tasik yang saat itu dipegang oleh Alm. Kasbun meminta paksa surat tanah yang dimiliki oleh masyarakat dengan alasan akan diperbaharui dan bagi yang tidak mau menyerahkan dianggap sebagai anggota PKI (Partai Komunis Indonesia). Tanpa sepengetahuan masyarakat, pada tahun 1977 – 1978 lahan masyarakat telah beralih kepada PTP II. Dengan kekuatan militer, PTP II mengklaim tanah tersebut merupakan tanah milik perusahaan.
Berbagai hal dilakukan masyarakat untuk dapat kembali menguasai lahan mereka yang saat ini dikuasai oleh PTPN II Kebun Sawit Sebrang. Hal ini dilakukan karena lahan tersebut merupakan sumber kehidupan masyarakat Sei Litur.