JAKARTA. Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Indonesia Human Right Commission for Social Justice (IHCS), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Institute for Global Justice (IGJ), akademisi, dan LSM lainnya melakukan pertemuan dengan Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Wakapolri) Nanan Soekarna di Mabes Polri, Jakarta, kemarin siang (11/02).
Pertemuan ini dilakukan untuk membahas penanganan penyelesaian konflik-konflik agraria beserta sumber daya alam (SDA) lainnya yang semakin marak terjadi di nusantara, yang terakhir adalah kriminalisasi petani di Desa Betung, Kabupaten Ogan ilir, Sumatera Selatan pada saat pelaksanaan Maulid.
Dalam pertemuan tersebut, Ketua Umum SPI Henry Saragih menyampaikan secara budaya di Indonesia, petani kecil sangat dekat dengan polisi.
“Kalau kita tanyakan kepada Bapak-Bapak ataupun Ibu-Ibu petani di desa sana, ingin jadi apa anaknya kalau sudah dewasa, mayoritas mengatakan ingin menjadi Polisi. Ini khan bukti kalau masyarakat kita sangat dekat dengan pihak kepolisian,” ungkap Henry.
Oleh karena itu menurut Henry, pihak kepolisian berkewajiban untuk menjaga kepercayaan dan melindungi masyarakat kecil, menegakkan hukum dan memberikan rasa aman agar masyarakat bisa dengan nyaman mencari penghidupannya yang layak.
“Nah, dalam konflik-konflik agraria, petani kecil lebih sering jadi korban dari oknum kepolisian ataupun tentara yang lebih memilih untuk membela kepentingan perusahaan daripada kepentingan rakyat kecil. Secara praktis, kami juga meminta agar pihak Polri membuat sebuah mekanisme agar aparat kepolisian yang berada di daerah cepat dalam merespon pelaporan pelanggaran kasus tanah yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Contohnya di lapangan adalah ketika petani melaporkan bahwa sebuah perusahaan sudah habis HGU (Hak Guna Usaha) pihak kepolisian di daerah sangat lamban meresponnnya, namun jika petani yang diduga melakukan pelanggaran, Polres begitu cepat bertindak. Ini khan tidak adil,” papar Henry.
Hal senada disampaikan oleh Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Abet Nego Tarigan. Dia menyampaikan Polri sering tidak paham terhadap konteks persoalan konflik agraria dan terlalu sibuk terhadap permasalahan kekerasan dan kriminalisasi, akibatnya masalah struktural agraria yang menjadi pokok persoalan menjadi tertutupi.
“Oleh karena itu kedatangan kami kemari juga meminta agar Wakapolri memberi rekomendasi ke Kapolda Sumatera Selatan untuk melepaskan teman kami Anwar Sadat yang ditangkap saat melakukan aksi membela petani di Palembang beberapa hari yang lalu,” katanya.
Sementara itu perwakilan Kontras Haris Azhar menyampaikan, penyelesaian konflik agraria dan SDA bukanlah hanya di tangan polisi belaka. Menurutnya mekanisme politik di tingkat daerah juga sangat memicu munculnya konflik-konflik.
“Kalau pemilu semakin dekat, perusahaan-perusahaan besar biasanya semakin mengeruk SDA karena mereka biasanya “dimintai” dana oleh para bakal calon pemimpin di daerah, akibatnya pecahlah konflik antara perusahaan-perusahaan tersebut dengan petani nelayan ataupun masyarakat adat,” tuturnya.
Perwakilan akademisi, Soeryo Adiwibowo menyampaikan pihak akademisi telah membuat surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia untuk penyelesaian konflik agraria. Dia menjelaskan, dalam surat tersebut para akademisi berpendapat, konflik agraria selama ini karena beberapa faktor, antara lain karena reformasi hukum dan kebijakan komprehensif belum dilaksanakan.
“Setidaknya ada empat hal mengindikasikan situasi ini. Pertama, ada beberapa ketentuan dalam UU bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan antara peraturan perundang-undangan tentang sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup. Ketiga, ketidaksinkronan antara peraturan perundangan-undangan SDA dan lingkungan dengan peraturan yang mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi. Keempat, banyak peraturan daerah bersifat eksploitatif dan bermotif kepentingan jangka pendek. Jadi permasalahan ini cukup kompleks ,” jelas Soeryo yang juga berprofesi sebagai dosen di Institut Pertanian Bogor ini.
Menanggapi hal tersebut, Wakapolri Nanan Soekarna menegaskan pihaknya akan segera menginventarisir setiap konflik di lapangan, baik itu konflik tentang sumber daya alam dan agraria, ataupun konflik-konflik lainnya, dan akan segera menyelesaikannya.
“Kami berkomitmen bahwa Polri itu sejajar atau lebih rendah dari masyarakat, hal ini demi melayani masyarakat. Tanggung jawab kami juga kepada masyarakat, bukan kepada komandan. Mengenai Kapolda atau Kapolres yang “nakal” di daerah-daerah, akan kami berikan teguran, dan jika sudah sangat parah akan kami copot,” tegasnya.
Wakapolri menambahkan, pihaknya menyambut baik kunjungan kali ini dan akan segera menindaklanjuti semua temuan dan laporan mengenai kasus konflik agraria dan sumber daya alam untuk mencegah munculnya konflik-konflik baru di daerah.
Selain Wakapolri Nanan Soekarna, pertemuan ini juga dihadiri oleh Kabarhakam Eogroseno, ASOPS Badrodin Haiti dan Kadivkum Polri Anton Setiadi.