JAKARTA. 9 organisasi yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Melawan Neo Kolonialisme dan Imperialisme (Gerak Lawan) meluncurkan buku Penolakan UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal .
Buku setebal 179 halaman yang berjudul Meruntuhkan Tembok Imperialisme, Bunga Rampai Penolakan Undang-Undang Penanaman Modal (UUPM) itu diluncurkan di Kawasan Blok S, Jakarta Selatan.
Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) dalam sambutannya mengatakan, buku ini menguraikan sikap politik organisasi-organisasi masyarakat terhadap UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal.
Dimana UU tersebut dikeluarkan oleh pemerintah untuk menggantikan UU Penanaman Modal Asing dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri produk rezim Orde Baru.
“Selain itu, buku itu juga disusun sebagai rekam perdebatan ilmiah yang dapat menjadi rujukan bagi masyarakat, akademisi, pengusaha, partai politik, DPR dan khususnya Pemerintah dalam penyusunan kebijakan nasional,” sambung Henry.
Buku yang diterbitkan secara swadaya ini secara umum memaparkan argumentasi dan rangkaian perjuangan sembilan organisasi yang tergabung dalam Gerak Lawan ketika mengajukan judicial review atas UU No.25/2007 ke Mahkamah Konstitusi, tidak lama setelah UU itu dikeluarkan.
Mereka antara lain adalah Serikat Petani Indonesia (SPI), Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Solidaritas Perempuan (SP), Aliansi Petani Indonesia (API), Bina Desa dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Kemudian Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK). Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan (KRUKP) serta Institute Global Justice (IGJ).
Henry mengatakan, judicial review atas UU No.25/2007 adalah kemenangan yang sangat mendasar bagi kaum tani dan rakyat Indonesia.
Mengingat SPI bersama dengan gerakan rakyat lainnya itu telah berhasil membatalkan pasal yang memberi Hak Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun dan kembali kepada aturan di bawah UU Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960.
“Tentu saja ini tidak disenangi oleh pemodal, baik dari dalam dan luar negeri karena itu telah menggagalkan rencana kaum pemodal untuk menguasai hak-hak rakyat dalam jangka waktu yang sangat lama,” ujar Henry.
Meskipun telah memenangkan salah satu tuntutan, namun menurutnya UU No.25/2007 itu seharusnya dibatalkan secara keseluruhan karena UU tersebut telah melemahkan kedaulatan negara dalam mengelola bumi dan air serta seluruh isi kekayaan di dalamnya.
Dalam buku itu, kesembilan organisasi meyakini UU No.25/2007 telah melemahkan posisi negara dan hanya memperkuat posisi kekuatan private atau korporasi dalam mengatur ekonomi nasional.
Privatisasi SDA
Henry Saragih, yang juga menjabat sebagai Koordinator Umum La Via Campesina (Organisasi Petani Dunia) juga menjelaskan, saat ini Indonesia telah mengalami perubahan dari sistem ekonomi kapitalistik developmentalis menjadi sistem ekonomi yang kapitalistik neoliberal.
“Rezim SBY selama ini telah mengeluarkan undang-undang sebanyak mungkin yang sangat condong menguntungkan kaum pemodal,” ujarnya.
Sejak SBY memerintah pada 2004 hingga 2009, jelasnya, pemerintah telah mengeluarkan 23 undang-undang dibidang agraria, pertanian dan pangan.
Kemudian saat ini telah ditetapkan program legislagi nasional tahun 2010-2014 dimana terdapat 37 rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pembangunan pedesaan, agraria, pertanian dan pangan.
Namun demikian dia meyakini bahwa semua UU yang telah dan akan dikeluarkan itu adalah untuk menjalankan liberalisasi dan privatisasi terhadap sumber daya alam (SDA) nasional sehingga akan memperkuat posisi perusahaan-perusahaan korporasi khususnya yang berasal dari luar negeri.
“Sebaliknya, hampir semua UU itu dirancang menjadi jerat untuk mengkriminalkan pihak-pihak yang berusaha menggugat keberadaan kekuatan-kekuatan modal tersebut,” imbuhnya.
Hal itu katanya bisa dilihat pada kasus-kasus yang terjadi selama ini yang mengkriminalkan setiap upaya petani menggugat perusahaan-perusahaan perkebunan yang telah merampas tanah petani dan masyarakat adat.
Sementara atas nama undang-undang kehutanan, pemerintah dengan gampang mengilegalkan setiap upaya petani untuk mengusahakan atau memanfaatkan hutan sebagai mata pencahariannya.
“Sedangkan perusahaan yang berusaha mengeksploitasi hutan yang ada beserta isinya dengan semena-mena, dilegitimasi oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah,” sambungnya.