GUNUNGKIDUL. Dewan Pengurus Cabang (DPC) Serikat Petani Indonesia (SPI) Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, melakukan sosialisasi pertanian agroekologis kepada para petani anggotanya di Ngaliyan, Kecamatan Nglipar, Minggu (30/10).
Ketua Badan Pelaksana Cabang (BPC) SPI Gunungkidul Fitri Cahyanto menyampaikan, sosialisasinya dimulai dengan mengenalkan penggunaan pupuk alami berupa nutrisi hayati dari bahan alami sebagai pengganti pupuk kompos berbahan kimia.
“SPI Gunungkidul berusaha untuk mensosialisasikan kelebihan pertanian agroekologis yang ramah lingkungan dan membuat petani berdaulat,” kata Fitri.
Aris, salah satu petani Nglipar menuturkan, ia dan beberapa rekannya sudah mulai bertani secara agroekologis, secara alami, dengan mengesampingkan penggunaan input-input kimia. Ia sudah mampu membuat nutrisi pengganti pupuk urea yang terbuat dari bahan ikan berlendir tinggi, punggung hitam,halus(terdapat pada lele dan mujahir) dicampur dengan gula aren dan air. Nutrisi ini mengandung asam amino yang bisa dijadikan pengganti pupuk TSP, KCL, dan sebagainya.
Fitri melanjutkan, sosialisasi yang diadakan SPI Gunungkidul sudah berjalan dua tahun ini, tahun lalu, meliputi Kecamatan Ponjong, Karangmojo, Semanu, Semin dan Ngawen, sedangkan untuk tahun ini, baru Kecamatan Nglipar dan Wonosari.
“Kami berharap seluruh petani anggota SPI Gunungkidul tidak tergantung dengan pupuk kimia, kembali ke pertanian agroekologis yang alami, warisan dari leluhur. Dengan metode ini petani dan masyarakat banyak bisa mengkonsumsi hasil pertanian yang tidak terdapat unsur kimia di dalamnya, sehingga lebih sehat,” imbuhnya.
Sementara itu, menurut Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Yogyakarta, Tri Haryono, membangun budaya tani yang ramah lingkungan seperti model pertanian agroekologis yang SPI kembangkan adalah jawaban atas segala permasalahan selama ini, sebagaimana yang anggota SPI Gunungkidul keluhkan.
Untuk itu menurut Tri, dalam model penerapan pertanian agroekologis diperhatikan juga beberapa hal, Metri Wiji (Benih) berarti benih adalah awal kehidupan, barangsiapa menguasai benih menguasai kehidupan dan akan menguasai dunia. Selanjutnya adalah metri bumi (Lemi = lebuning bumi), lemi adalah bahan organik sebagai nutrisi tanaman dari aktivitas mikroorganisme pembenah tanah dan ekosistem. Berikutnya adalah metri tirto (mengelola air), maksudnya memanen air, menyimpan air, menjaga secara kuantitas, kualitas air.
“Dan yang terakhir adalah metri laku, ngolah roso angon mongso. Petani ahli bertani, membudidayakan tanaman sehat, melestarikan peranan mitra tani, pengamatan agroekosistem secara teratur. Dengan menerapakan empat hal tersebut, diharapkan para petani terutama anggota SPI di Gunungkidul menjadi mandiri, berdaulat, dan sejahtera,” tambahnya.