JAKARTA. Sidang Panel ke II gugatan SPI bersama organisasi massa lainnya yang tergabung Komite Perlindungan Perdagangan Peternakan dan Kesehatan Hewan (KP3 KESWAN) No.137/PUU-VII/2009, digelar di Mahkamah Konstitusi Jakarta Selasa 12 November 2009. Sidang dipimpin oleh majelis hakim DR. Muhammad Alim, S.H, M.Hum (sebagai Ketua Majelis), Prof. Achmad Sodiki, S.H, Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H (anggota Majelis).
Sidang diselenggarakan untuk mendengar perbaikan gugatan pemohon pada sidang panel I tanggal 27 Oktober 2009 lalu. Adapun perbaikan yang dipaparkan oleh para penggugat mengenai objek material yang melanggar konstitusi, antara lain. Pertama, Pencantuman frase ”Unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona” pada Pasal 59 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, menunjukan tidak adanya perlindungan maksimum terhadap rakyat/pemohon dari resiko masuk dan menyebarnya penyakit hewan menular dan yang dapat membahayakan sehingga mengancam kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan serta melemahkan perekonomian rakyat khususnya peternak.
Kedua, Ketentuan Pasal 44 ayat (3) UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan ”Pemerintah tidak memberikan kompensasi kepada setiap orang atas tindakan depopulasi terhadap hewannya yang positif terjangkit penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Ketentuan ini menunjukkan Pemerintah tidak bertanggungjawab atas kerugian akibat ketidakmampuannya mengendalikan penyakit hewan menular berbahaya dan mengabaikan hak rakyat/pemohon/peternak atas ganti rugi yang merupakan hak atas tindakan depopulasi.
Ketiga, Pencantuman frase ”Atau kaidah internasional” pada Pasal 59 Ayat (4) UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, menunjukkan tidak adanya kepastian norma hukum sebagai rujukan dalam pengambilan keputusan serta mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat.
Dan terakhir, Pencantuman kata ”Dapat” pada Pasal 68 ayat (4) UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, berakibat pada pelanggaran hak kewenangan profesi dokter hewan serta menurunkan derajat kewenangan profesional menjadi kewenangan politik.
Muhammad Rizal Siregar, Staf Departemen Politik dan Hukum SPI, yang mengikuti jalannya persidangan mengatakan, “Pasal-pasal dalam Undang-Undang tesebut melanggar konstitusi pemohon dalam UUD 1945. Pasal-pasal ini mengabaikan prinsip-prinsip kedaulatan ekonomi, perlindungan, rasa aman, dan keberlangsungan hidup rakyat Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945, khususnya alinea ke empat pembukaan, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 28A dan Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, Pasal 33, ayat 4. Didalamnya tercantum perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Kemudian setelah penggugat selesai membacakan tuntutannya, sidang ditutup tepat pukul 15.00 WIB, DR. Muhammad Alim, S.H, M.Hum, selaku majelis hakim menutup sidang menyampaikan “Untuk sidang selanjutnya akan undang pemohon, sekaligus pemohon bisa mengajukan saksi dan ahli agar bisa dihadirkan dan didengar oleh mejelis untuk menguatkan keyakinan majelis hakim dalam gugatan pemohon”, ungkap Dia.
Salah satu penyebab daging menjadi mahal karena hanya tergantung dari Australia dan Selandia Baru dan negara lainnya yg bebas PMK, sehingga India dan Brasil yg daerahnya tidak terjangkit PMK tidak bisa mengekspor daging ke Indonesia meskipun haraganya relatif murah. Celakanya Singapura mengekspor daging ke negara kita padahal bisa saja mereka membelinya dari negara India atau Brasil sebab kita secara hukum tidak boleh impor dari sana.