JAKARTA. Hak-hak petani dan buruh tani perempuan di sektor perkebunan kerap diabaikan. Hal inilah yang disampaikan Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara dalam Konferensi Nasional Perkebunan Rakyat Indonesia (KNPRI) yang dilaksanakan di Gedung YTKI, Jakarta (26-27 April 2017).
Zubaidah menyampaikan, sebagai buruh tani perkebunan, perempuan digaji lebih rendah daripada buruh tani laki-laki. Selain itu, buruh tani perempuan tidak mendapatkan standar perlindungan hidup, kesehatan layanan, dan fasilitas yang baik ketika mereka hamil dan menyusui.
“Buruh tani perempuan padahal berperan ganda, sebagai ibu rumah tangga sekaligus bekerja, padahal mereka juga selalu bekerja di bawah bayang-bayang ancaman obat kimia yang mengitarinya. Bagi ibu hamil dan menyusui sangat beresiko tatkala terkontaminasi dengan herbisida,” kata Zubaidah (26/04).
Zubaidah melanjutkan, hadirnya perkebunan skala besar telah membawa dampak terhadap (petani) perempuan.
“Yang pertama kali menjadi korban rusaknya alam akibat perusahaan perkebunan skala besar adalah petani perempuan. Perempuanlah yang mengakses sumber daya alam tersebut demi memenuhi kebutuhan keluarganya mulai dari mulai ketersediaan air, pangan, obat-obatan herbal, rempah, dan lainnya. Belum lagi dampaknya terhadap kesehatan reproduksi perempuan,” papar Zubaidah.
Hal senada dialami oleh petani perempuan yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan skala besar. Perempuanlah yang berada di garda terdepan dalam mempertahankan lahan, dan kerap dikriminalisasi dan mendapatkan pelecehan.
“Seperti yang terbaru yang terjadi di Desa Mekar Jaya, Langkat, Sumatera Utara, dimana 70 rumah petani dihancurkan oleh PT Langkat Nusantara Kepong (LNK),” ujarnya.
“Melalui KNPRI kami bertekad mewujudkan perkebunan yang berkeadilan bagi kehidupan, lingkungan hidup dan penghidupan manusia, terutama kaum perempuan,” tambahnya.
“Hidup perempuan yang melawan,” tutup Zubaidah.
Sementara itu, KNPRI sendiri diprakarsai oleh Serikat Petani Indonesia (SPI), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS, Aliansi Petani Indonesia (API), Sawit Watch, Farmer Initiative for Ecological Livelihood and Democratie (FIELD), Bina Desa dan (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice) IHCS.