JAKARTA. Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) melaporkan setidaknya terdapat 22 kasus konflik agraria yang terjadi sepanjang 2010 yang telah menewaskan lima orang petani dan 106 lainnya dikriminalisasikan.
Hal itu merupakan salah satu bagian laporan yang disampaikan oleh DPP Serikat Petani Indonesia dalam Forum Bersama antara petani dengan Polri, Komnas HAM, BPN dan DPR di Gedung YTKI, Selasa (14/12) sore.
Dalam forum yang digelar dalam rangka memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) itu, DPP Serikat Petani Indonesia antara lain menyampaikan Laporan Pelanggaran Hak Asasi Petani 2010.
Laporan tersebut dipaparkan oleh Agus Ruli Ardiansyah, Ketua Departemen Politik, Hukum dan Keamanan serta Muhammad Ikhwan, Ketua Departemen Internasional, DPP SPI.
Keduanya antara lain menyampaikan bahwa perampasan atas sumberdaya agraria yang banyak dialami petani dalam konflik agraria yang banyak terjadi selama ini mengacu pada empat indikator.
Diantaranya Pelemahan dan serangan langsung atas akses dan penghidupan, kasus tanah yang berlarut-larut dan bantuk-bentuk status tanah yang merampas secara langsung dan tidak langsung, termasuk Hak Guna Usaha (HGU).
Kemudian monopoli dan oligopoli tanah (keadaan pasar tanah) serta kebijakan dan undang-undang yang menggusur kehidupan rakyat dan petani di pedesaan.
Sepanjang 2010, DPP Serikat Petani Indonesia mencatat setidaknya ada 22 kasus konflik agraria yang dialami oleh para anggotanya dengan total lahan seluas 77.015 hektar.
Dimana dari kasus-kasus tersebut, sebanyak 106 orang petani telah dikriminalisasi, 21.367 petani tergusur dan ironisnya, lima petani tewas dalam konflik-konflik tersebut.
Lebih rinci, Agus Ruli Ardiansyah mengungkapkan bahwa dari 106 petani yang dikriminalisasi itu, 12 orang di Riau, enam orang di Sumatera Barat, 23 orang di Bengkulu, lima orang di Sumatera Utara, dua orang di Sumatera Selatan, 16 orang di Jambi, 24 orang di Sulawesi Tengah dan 18 orang di Kalimantan Barat.
Henry Saragih, Ketua Umum DPP Serikat Petani Indonesia, mengungkapkan ketidakberpihakan sistem hukum terhadap petani terlihat jelas dalam kasus-kasus konflik agraria, dimana petani sering dikriminalisasi karena mempertahankan hak-haknya.
“Penolakan petani untuk menyerahkan lahan yang menjadi haknya seringkali berujung pada proses hukum. Dan ketika menjalani proses hukum, petani sulit mendapatkan peradilan yang adil,” ujarnya.
Henry menjelaskan, ketika menjalani proses hukum, hak-hak petani di depan hukum sering dikebiri dan seringkali juga petani didakwa sampai berkali-kali walaupun asas hukum sudah jelas mengatur bahwa seseorang tidak boleh didakwa dua kali atas perkara yang sama.
Peradilan Agraria
Selain penyampaian Laporan Pelanggaran Hak Asasi Petani, Forum Bersama yang bertajuk ‘Penyelesaian Konflik Agraria dalam upaya Menegakkan Hak Asasi Petani’ itu pun digelar untuk menjalin kesepahaman bersama antara petani dengan institusi-institusi itu dalam memandang secara substansial penyelesaian konflik agraria.
Dari pihak petani sendiri, hadir para pengurus DPP dan puluhan pimpinan SPI dari berbagai wilayah di Indonesia.
Sedangkan pada kesempatan itu Polri diwakili oleh Kepala Biro Pengawasan Masyarakat Mabes Polri Brigjen.I Ketut Untung Yoga, Ketua Komnas HAM Ifdal Kasim, Direktur Perkara Badan Pertanahan Nasional Agus Wijayanto, Ketua Komisi II DPR RI Chairuman Harahap dan Ketua Komisi IV DPR RI Ahmad Muqowam.
Dalam penyampaian pandangannya, Ifdal Kasim, Ketua Komnas HAM, mengatakan pembentukan peradilan agraria sudah sangat mendesak dilakukan oleh pemerintah.
“Kami sudah hampir lima tahun mengupayakan ada peradilan agraria untuk menyelesaikan perkara-perkara konflik atau sengketa lahan,” ujarnya saat menjadi salah satu pembicara dalam Forum Bersama Petani yang digelar DPP Serikat Petani Indonesia di Gedung YTKI, hari ini.
Dalam forum yang diadakan memperingati hari HAM itu, Ifdal antara lain mengatakan bahwa Komnas HAM telah banyak melakukan berbagai penyelidikan dalam konflik-konflik agraria yang terjadi di Indonesia.
Penyelidikan itu dilakukan mengingat hampir setiap kasus konflik agraria terindikasi adanya pelanggaran HAM yang banyak dialami oleh para petani.
Hasil-hasil penyelidikan itu sudah diteruskan untuk ditindaklanjuti oleh instansi-instansi terkait seperti Kepolisian, BPN, Kejaksaaan dan instansi lainnya, mengingat komisi tidak berwenang memutuskan perkara-perkara tersebut.
Dari pengalaman-pengalaman itulah, katanya, Komnas HAM sejak lima tahun lalu sudah mengusulkan kepada pemerintah untuk membentuk peradilan agraria mengingat banyaknya kasus-kasus tersebut diputuskan tidak persis sesuai dengan aturan agraria.
Bahkan, menurut dia, tidak sedikit diantaranya yang malah merugikan petani yang relatif paling banyak mengalami kasus sengketa lahan baik dengan pihak swasta maupun dengan pemerintah.
“Tapi sampai sekarang pemerintah belum merespon usulan peradilan agraria ini, padahal konflik-konflik agraria masih cukup tinggi setiap tahun,” sambungnya.
Menurutnya, pembentukan peradilan agraria bukan kebijakan yang sulit dilakukan oleh pemerintah mengingat sudah banyak peradilan sejenis yang sudah ada saat ini seperti peradilan niaga, peradilan hubungan industrial dan sebagainya.
Sementara itu, Agus Wijayanto menjelaskan mekanisme penanganan sengketa, konflik dan perkara agraria yang selama ini diterapkan oleh BPN disertai berbagai data realisasinya di lapangan.
Agus antara lain menyampaikan bahwa salah satu penyebab banyaknya konflik agraria yang terjadi adalah karena belum maksimalnya implementasi sistem administrasi pertanahan.
Sedangkan Ahmad Muqowam dan Chairuman Harahap masing-masing memaparkan berbagai regulasi yang saat ini sedang digodok oleh lembaga legislatif untuk lebih melindungi petani.
“Saat ini DPR sedang menyiapkan revisi UU Perlindungan Petani dan dua rancangan undang-undang untuk lebih melindungi dan meningkatkan kesejahteraan petani,” ujar Ahmad.
Sementara I. Ketut Untung Yoga lebih banyak menjelaskan berbagai prosedur pengamanan dan proses hukum kasus konflik agraria yang selama ini diterapkan oleh kepolisian.
“Konflik agraria bisa lebih ditekan jika para petani dan elemen-elemen masyarakat sudah memahami aturan sebelum terjadinya konflik. Sering terjadi, aturan baru dipelajari setelah konflik terjadi,” katanya.