JAKARTA. Kekerasan terhadap petani kembali terjadi di Indonesia. Kali ini kekerasan tersebut yang terkait dengan rencana alih fungsi lahan pertanian menjadi pabrik semen – terjadi pada tanggal 16 Juni 2014 di kawasan Gunung Kendeng Rembang, Jawa Tengah. Aparat kepolisian dan TNI melakukan tindakan brutal terhadap ratusan warga desa yang didominasi Ibu-ibu lainnya. Sebagian dari mereka bahkan dilempar oleh aparat karena menganggap mengganggu dan menutupi jalan masuk ke area peresmian pembangunan Pabrik Semen Indonesia yang memakan lahan seluas 55 hektare di kawasan Gunem Rembang. Jelas kekerasan ini bertentangan dengan ajaran agama, nilai budaya dan hak asasi manusia.
Insiden kekerasan tersebut sekaligus menunjukkan kelemahan pemerintah dalam mengimplementasikan program pembangunan baik dari subtansi pembangunannya maupun pendekatan kepada masyarakat. Dari sisi isi program (subtansi) , pembangunan pabrik semen seharusnya mempertimbangkan fungsi dan manfaat dari sumber daya agraria tersebut bagi petani dan rakyat sekitarnya. Alih fungsi lahan pertanian menjadi pertambangan akan menjadikan hilangnya sumber pangan rakyat dan petani sendiri akan kehilangan sumber penghidupannya. Sebagai akibatnya kedaulatan pangan di wilayah tersebut akan terganggu dan petani mungkin berpindah baik ke tempat lain maupun ke profesi lain atau sekedar menjadi penonton gemuruhnya pembangunan dan operasional pabrik semen. Dalam 10 tahun terakhir tidak kurang dari 14 ribu rumah tangga petani Kabupaten Rembang dan 11 ribu kepala keluarga diantaranya adalah rumah tangga petani gurem meninggalkan pertaniannya (Sensus Pertanian 2013). Sungguh memprihatinkan hal ini ternyata diabaikan.
Alih lahan selanjutnya akan berpengaruh pula terhadap lingkungannya, terkhusus pada air yang menjadi sumber air minum dan pengairan untuk pertanian di kawasan tersebut. Belum lagi dengan pencemaran udara yang bisa menyebabakan kesehatan. Olehkarena itu sudah seharusnya analisa dampak lingkungan dan regulasi pemerintah baik pusat maupun lokal, serta rencana tata ruang dan wilayah menjadi pertimbangan utama. Jangan sampai ketiga hal tersebut dipandang remeh – sehingga dengan mudah dirubah sesuai keinginan pasar, investor atau segelintir kelompok.
Sementara dari sisi pendekatan, betapa pemerintah masih mengutamakan model intimidasi dan represif untuk menghilangkan pendapat yang tidak setuju atas program pembangunan, daripada pendekatan melalui musyawarah, komunikasi dan mendengarkan suara-suara petani dan warga setempat. Pembangunan dengan menggusur masih diutamakan.
Untuk itu atas insiden kekerasan tersebut, Serikat Petani Indonesia (SPI) menyatakan :
Kontak selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668
jangan mundur untuk berjuang untuk mendapat hak2 rakyat. jg kendor teman2 dirembang lawan terus penindasan terhadap masyarakat kecil.. merdeka..