PADANG. Pemerintah Sumatera Barat mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) No. 21 tahun 2012 tentang Pedoman dan Tatacara Pemanfatan Tanah Ulayat Untuk Penanaman Modal. Menurut Ketua Badan Pengurus Wilayah (BPW) Serikat Petani Indonesia (SPI( Sumatera Barat (Sumbar) Sukardi Bendang, pergub ini adalah turunan dari Undang-Undang (UU) No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan dibuat dengan semangat mengundang investasi baik asing maupun nasional untuk berinvestasi di Sumatera Barat sebagai bentuk keterbukaan terhadap liberalisasi ekonomi.
Sukardi memaparkan, peraturan yang ada dalam Pergub ini bersifat umum sebagaimana tatacara berivestasi yang sudah dilakukan di Sumatera Barat, kecuali pasal yang mengatur pemulihan tanah ulayat kepada pemilik semula ketika berakhirnya jangka waktu pemanfaatan tanah ulayat oleh penanaman modal. Walau bertentangan dengan PP No. 40 tahun 1996 yang menjadi konsideran Pergub ini, dimana PP No. 40 tahun 1996 mengatur HGU dapat di berikan kepada tanah negara dan tanah yang sudah dilepaskan hak atasnya kemudian setelah HGU berakhir tanah menjadi milik negara.
“Pergub ini belum merupakan perlindungan yang sesungguhnya dari ancaman negara terhadap tanah ulayat, terkesan hanya sekedar basa-basi kepada masyarakat adat. Pergub ini juga tidak menjawab ketika terjadi konflik klaim kawasan hutan sebagai tanah negara terhadap tanah ulayat,” ungkap Sukardi di Padang, kemarin (14/10).
Sukardi melanjutkan, Pergub nomor 21 tahun 2012 ini belum menjawab persoalan sengketa tanah ulayat selama ini. Titik persoalannya bukan pada tidak dilibatkannya pemerintah nagari, lembaga adat, penguasa ulayat dan pemulihan tanah ulayat. Penyebab kemiskinan rakyat selain sulitnya mengakses modal dan kurangnya keterampilan, juga disebabkan oleh kurangnya penguasaan tanah. Kekurangan tanah dalam tataran ideal memang tidak mungkin terjadi dalam masyarakat Minangkabau karena menganut sistim kekeluargaan dengan kepemilikan tanah ulayat. Namun pola penguasaan tanah di Sumatera Barat berubah seiring waktu, pada beberapa kasus tanah sudah tidak lagi berfungsi sosial tapi menjadi komoditas yang diperebutkan korporasi,penguasa ulayat,anak cucu kamanakan(petani). Penyerahan tanah hak ulayat selama ini sering dilakukan oleh penguasa adat, tanpa melibatkan multipihak dalam komunitas lokal dan kekerabatan dalam pembuatan keputusan.
“Penyerahan tanah ulayat kepada korporasi hingga tidak tersisa lagi tanah pertanian yang memadai lagi bagi anak cucu kamanakan (petani) telah menimbulkan masalah ekonomi dan kesenjangan sosial disentra-sentra perkebunan dan tambang. Selain terjadinya konflik agraria juga terjadi alih fungsi lahan produktif yang berakibat pada impor pangan. Ketimpangan struktur penguasaan sumber-sumber ekonomi berupa tanah pemicu utama sengketa agaria di Sumatera Barat dan Indonesia pada umumnya,” paparnya.
Sukardi menambahkan, pemerintah harus segera menyelesaikan berbagai persoalan agraria, bertindak melindungi kepentingan rakyat banyak pada titik tertentu untuk mencegah terjadinya kesenjangan sosial agar tidak berlanjut. Oleh karena itu dia menggarisbawahi, hal mendesak untuk dilakukan adalah stop izin investasi di Sumatera Barat dan Indonesia umumnya, lakukan terlebih dahulu penataan tanah sesuai peruntukkan yang lebih adil.
“Kemudian distribusikan tanah untuk anak cucu kamanakan (petani) terutama untuk pengembangan pangan berbasis rakyat, jangan dibiarkan anak cucu kamanakan saling berebut tanah dengan korporasi yang jelas-jelas berorientasi keuntungan semata. Investasi tanpa membekali anak cucu kamanakan dengan alat-alat produksi yang memadai hanya akan menggiring mereka menjadi kuli di negerinya sendiri, dan ancaman terhadap Kedaulatan Pangan bangsa,” tambahnya.