Tanah dan Hubungan Agraris Masyarakat Pedesaan Indonesia

Berbicara masalah tanah dan teritori di Indonesia bukanlah sesuatu yang mudah. Sistem pertanahan di Indonesia sendiri cukup rumit dengan dua sistem administrasi pertanahan di bawah Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kehutanan. Lebih lanjut Indonesia juga mengakui hukum adat di samping kebijakan nasional atas tanah seperti yang tertuang di dalam Undang-undang Pokok Agraria No. 5/1960.

Tumpang tindih administrasi pertanahan di Indonesia ini yang seringkali memicu terjadinya konflik agraria di Indonesia, bukan semata konflik pertanahan. Jika beberapa dekade lalu, masalah agraria seakan menjadi masalah yang seakan tidak terlihat secara nyata dan tidak dibicarakan secara terbuka saat ini sudah menjadi sebuah isu nasional. Hal ini dipicu dengan meningkatnya konflik agraria dengan kekerasan di berbagai wilayah di Indonesia, dengan puncaknya di penghujung tahun 2011 lalu.

Umumnya konflik ini diartikan sebagai pertentangan hak dan kepentingan antara penduduk lokal dengan kekuatan dari luar, baik domestik maupun internasional. Kebingungan administrasi pertanahan ini seringkali merugikan masyarakat khususnya yang tinggal di pedesaan dan di sekitar kawasan hutan. Minimnya pengakuan hak rakyat atas tanah, dan kerancuan konsep penggunaan lahan untuk kepentingan umum demi pembangunan semakin memojokkan masyarakat. Disebut kerancuan karena “pembangunan”  yang kerap didengungkan dalam berbagai proyek yang dikembangkan justru tidak dirasakan oleh masyarakat sekitar.

Hal ini kerap membuat masyarakat kehilangan sumber penghidupannya, terpinggirkan dan dipaksa menjadi buruh yang bahkan tidak bisa terserap seluruhnya. Pengaturan kepemilikan tanah secara formal di Indonesia pertama kali diperkenalkan sekitar tahun 1810,  dengan sistem sewa tanah di Pulau Jawa bagi para petani. Pada awalnya hal ini digunakan untuk menciptakan sistem perpajakan baru bagi pemerintah Belanda. Aturan-aturan yang ditetapkan pada masa ini tidak mengakui hak milik individual maupun komunal, hanya sistem sewa.

Pasca kemerdekaan, Undang-undang Pokok Agraria N0.5/1960 disusun untuk menata kembali struktur kepemilikan tanah di bumi pertiwi. Penguasaan tanah atau land tenure adalah konsep penting dalam mengkonstruksikan hak atas tanah. Meskipun acap disetarakan dengan hak atas tanah, penguasaan tanah mempunyai dimensi yang lebih luas. Penguasaan tanah merujuk pada hubungan antara individu dan/atau kelompok terkait dengan tanah dan kekayaan alam yang terikat dengan tanah itu.

Namun sangat disayangkan bahwa selama beberapa dekade, UUPA No.5/1960 tidak diimplementasikan, dalam perkembangannya justru bermunculan sejumlah UU secara umum maupun sektoral yang bertentangan dengan semangat awal UUPA, seperti UU No. 7/2004 tentang sumber daya air dan UU 18/2004 tentang perkebunan telah menjadi alat legal bagi investor untuk menguasai tanah dan sumber alam di dalam maupun di permukaannya.

Menyusul kesepakatan pemerintah dan parlemen (29 Januari 2007) untuk mempertahankan UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), bulan Mei 2007 pemerintah mengeluarkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang PPAN.  Seiring berjalannya waktu, RPP PPAN tersebut pun  tidak kunjung disahkan.  Dengan plin-plannya pelaksanaan PPAN, konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian terus semakin menggila. Data BPS menunjukkan luas lahan pertanian padi di Indonesia pada tahun 2010 tinggal 12,870 juta hektar, menyusut 0,1% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 12,883 juta hektar. Luas lahan pertanian secara keseluruhan termasuk non-padi pada 2010 diperkirakan berjumlah 19,814 juta hektar, menyusut 13 persen dibanding tahun 2009 yang mencapai 19,853 juta Ha.

Dalam keadaan seperti itu PPAN malah menjelma menjadi sekadar program sertifikasi lahan-lahan pertanian[1]. Lagi-lagi pembaruan agraria direduksi menjadi persoalan administrasi pertanahan belaka. Seperti melalui Program Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Lahan (Larasita).[2] Sertifikat tanah yang hanya akan memudahkan pemodal dalam menguasai tanah rakyat kecil—petani–melalui pasar tanah. Ini terjadi karena kebijakan sektoral lainnya belum dibenahi.

Di tengah situasi ini, kami menyambut baik rencana undang-undang hak atas tanah yang diusung Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, namun demikian kami ingin memberikan sejumlah masukan terhadap RUU Hak-hak atas Tanah yang telah disusun ini.

Salah satu poin yang penting mendapat perhatian secara khusus ialah bagian mengenai tanah negara (Bab IV, pasal 5). Mohammad Hatta merumuskan pengertian tentang dikuasai oleh negara, bukan berarti negara sendiri yang menjadi pengusaha, usahawan atau ordernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada pembuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula penghisapan orang yang lemah oleh orang yang bermodal. Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan berpedoman keselamatan rakyat. Semakin besarnya perusahaan dan semakin banyaknya jumlah orang yang menggantungkan dasar hidupnya karena semakin besar mestinya penyertaan pemerintah.

Penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD 1945 menurut Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 terhadap Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan kedaulatan publik. Konsep Penguasaan Negara menjadi pertimbangan

hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi perkara Undang-Undang Minyak dan Gas, Undang-Undang Ketenagalistrikan, dan Undang-Undang Sumber Daya Alam.

Adapun konsep Hak Menguasai Negara (HMN) menurut Mahkamah Konstitusi bukanlah dalam makna negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (behersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichtthoundendaad). Selanjutnya, konsep HMN juga harus disambungkan dengan tujuan penguasaan negara, yaitu sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Dalam tatanan peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia pihak-pihak yang dapat bertindak untuk dan atas nama negara adalah instansi-instansi pemerintahan dalam hal kegiatan yang berhubungan dengan pemerintahan dan politik. Sedangkan dalam hal kegiatan usaha, instansi pemerintah yang bukan merupakan badan usaha tidak dapat melakukan tindakan yang bersifat bisnis untuk dan atas nama negara sesuai peraturan dan perundangan yang berlaku.

Pasal lain seperti hapusnya hak milik (bab VI, paragraph 6, ps. 28) perlu memperjelas mengenai batas waktu penelantaran yang menyebabkan tanah kembali jatuh kepada negara. Hal ini mengingat banyaknya kasus konflik agraria akibat ketidak jelasan konsep penelantaran, seperti yang dialami petani atau masyarakat di sekitar kawasan hutan yang memanfaatkan tanah-tanah perkebunan yang ditelantarkan.

Pada bab VI, bagian kedua, paragraph 5 ps. 35 tentang jangka waktu hak guna usaha yang didalam RUU Hak-hak atas Tanah ini disebutkan jangka waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun, dan untuk tanaman berumur panjang diberikan jangka waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dengan perpanjangan setelahnya paling lama 25 (dua puluh lima) tahun. Bagian ini penting dipertahankan dengan mengingat UUPA No.5/1960 untuk menghindari penguasaan tanah oleh perusahaan  atau investor terlalu lama dan tidak memberikan peluang hak dan akses atas tanah kepada masyarakat sekitar kawasan. Namun perlu sinkronisasi dengan UU lainnya yang mengatur HGU juga, seperti UU Penanaman Modal No.25/2007 yang memberikan HGU selama 60 tahun dengan perpanjangan 35 tahun.

*Penulis adalah Ketua dan staf Departemen Kajian Strategis Nasional, Badan Pengurus Pusat (BPP) Serikat Petani Indonesia


[1] Masukan terhadap RUU Hak Atas Tanah, disampaikan pada pertemuan dengan Komisi I DPD RI, 29 Mei 2012 di Hotel Pullman, Central Park, Jakarta.

[2] Seperti yang diberitakan oleh SPI Sumatra Utara bahwa Pelaksanaan Program Pembaruan Agraria  Nasional (PPAN)  di Sumatra Utara tak jauh beda  Prona jaman Orde Baru yaitu program sertipikat tanah seperti di wilayah Kecamatan Silangkitang  Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Deli Serdang, Binjai, Tapanuli, Mandailing Natal dan Pematang Siantar

[3]Program ini  merupakan tanggung jawab Badan Pertanahan Nasional (BPN) diluncurkan pada 16 Desember 2008 di Prambanan Jawa Tengah yang dihadiri oleh Presiden.

ARTIKEL TERKAIT
16 Tahun SPI
SPI Sumatera Barat Selenggarakan Pendidikan Pertanian Agroek...
Ikrar Pemuda-Pemudi Serikat Petani Indonesia
Permentan 82 Harus Direvisi
1 KOMENTAR
  1. boy berkata:

    mantab! mana?

BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU