BRUSSELS. “Dengan hanya satu persen tenaga kerja di sektor pertanian, kedaulatan pangan Belgia sedang terancam” demikian disampaikan Xavier Delwarte, ketua organisasi petani Belgia FUGEA yang merupakan anggota La Via Campesina.
Semakin sedikitnya jumlah petani di Belgia inilah menjadi salah satu alasan yang mendasari terbentuknya sekolah pertanian ‘The Bean Tops’ atau dalam bahasa Indonesia artinya mungkin sekolah ‘Tunas Kacang’. Nama ini dipilih karena dalam pepatah Belgia, tanpa kacang-kacangan maka negeri ini akan mati.
Sekolah pertanian ini merupakan inisiatif dari sekelompok agronomis muda yang menyadari pentingnya meningkatkan jumlah petani di Belgiai untuk memproduksi pangan yang cukup dan sehat bagi rakyat, disamping memberikan alternatif lapangan kerja bagi anak-anak muda. Mereka pun mencari dukungan kepada pemerintah kota Brussels untuk dapat memberikan lahan bagi rencana mereka ini, terutama karena biaya sewa tanah di Brussels sangat mahal.
Pemerintah kota Brussels akhirnya bersedia memberikan lahan seluas kurang lebih satu hektar di tengah hutan kota dengan syarat mereka tidak merusak atau memperluas lahan dari yang diberikan kepada mereka dan dana sebesar 500.000 euro untuk operasional sekolah. The Bean Tops pun mulai berjalan awal tahun ini, dengan tiga orang agronomis yang membantu mengajari anak-anak muda yang tertarik menjadi petani. Mereka memasang pengumuman di sekolah, kampus dan di jalan mengenai sekolah pertanian ini, dengan syarat peserta berusia maksimal 26 tahun dan bersedia menjadi petani secara serius. Saat ini sekolah tersebut memiliki lima orang murid yang bekerja di ladang lima hari seminggu selama empat jam setiap harinya.
Seluruh proses pertanian dilakukan secara organik, dengan dibantu dua ekor keledai untuk membajak tanah. Di tengah lahan, dibangun sebuah rumah kaca untuk tanaman-tanaman yang tidak tahan dingin seperti tomat, seledri, selada. Umumnya tanaman yang ditanam ialah sayur-sayuran, walaupun ada juga beberapa jenis Berry.
Untuk mengairi lahan pertanian, mereka menampung air hujan, yang dialiri dengan sistem tetes menggunakan selang-selang yang dilubangi kecil dan dipasang di sela-sela tanaman. Curah hujan di Brussels cukup tinggi sehingga mereka tidak kesulitan untuk mendapat air.
Selain sayuran, para petani muda ini juga memelihara lebah di tengah hutan untuk diambil madunya. Hasil pertanian ini dijual di toko milik petani lain yang tinggal tidak jauh dari lahan mereka, selain itu mereka juga bekerja sama dengan organisasi konsumen yang mengadakan penjualan sayuran tiap 2 minggu sekali.
Di tengah kondisi ekonomi di Eropa yang memburuk beberapa tahun terakhir, lapangan pekerjaan bagi anak-anak muda menjadi semakin sulit, sementara biaya hidup semakin tinggi, pertanian pun menjadi alternatif pilihan kerja yang menarik bagi anak-anak muda.
”Pertanian merupakan sektor yang memiliki daya tahan tinggi terhadap gejolak ekonomi”, ungkap Tom, salah satu pengurus sekolah pertanian ini.
Mae Azhar, Ketua Cabang Serikat Petani Indonesia (SPI) Cirebon yang langsung menyaksikan sekolah pertanian ini pada 2-5 Oktober 2010 lalu, menyatakan bahwa hal ini merupakan sebuah inisiatif yang patut diacungi jempol dan ditiru oleh semua masyarakat dunia.
”SPI juga telah lama menerapkan sistem ini melalui Pusdiklat Pertanian Berkelanjutan dan sistem Sekolah Lapang yang rutin diadakan setiap tahunnya” ungkap Mae.