JAKARTA. Pemerintah Indonesia harus berada di pihak rakyat, di pihak petani dan nelayan kecil demi tegaknya kedaulatan pangan. Pasalnya pasca kekalahan Indonesia dari Amerika Serikat dan Selandia Baru (14 November 2017) di sidang WTO, ada banyak perubahan peraturan yang semakin tidak berpihak ke petani dan nelayan lokal. Perubahan itu misalnya terdapat di Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 24 Tahun 2018 yang merevisi Permentan No. 38 Tahun 2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Pasal yang mengatur pembataan atau larangan impor produk hortikultura pada masa panen dihapus. Surat pernyataan tidak memasukkan produk hortikultua segar melebihi waktu enam bulan sejak panen juga dihapus. Senada dengan Kementan, Kementerian Perdagangan (Kemendag) juga memperlonggar regulasi impor terkait produk hortikultura, hewan, dan produk hewan. Dimana, impor hewan dan produk hewan tidak lagi melalui kepabeanan, sampai mempermudah persyaratan importir.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menegaskan, petani dan nelayan kecil adalah yang wajib dilindungi oleh negara.“Jangan takut dengan ancaman dari Amerika Serikat atau Selandia Baru,” katanya di Jakarta pagi ini (16/08).
“Pasalnya dengan diubahnya peraturan dari Kementan dan Kemendag tersebut akan membanjiri pasar lokal dengan produk hortikulturan dari luar negeri dengan harga yang murah, yang akan meminggirkan petani lokal,” tuturnya.
Oleh karena itu menurut Henry, Indonesia harus mengevaluasi keiikutsertaannya dalam WTO (Organisasi Perdagangan Dunia).
“Indonesia harus mengajak negara-negara yang senasib dengan Indonesia yg tergabung dalam negara-negara non block untuk menyiapkan alternatif mekanisme perdagangan dunia di luar WT0,” lanjutnya.
Padahal menurut Henry, Indoesia sudah memiliki undang-undang yang mewajibkan pemerintah untuk menegakkan kedaulatan pangan. UU Perlintan (Perlindungan dan Pemberdayaan Petani) No. 19 Tahun 2013 pasal 15 sudah jelas-jelas menyebutkan, utamakan produksi dalam negeri dan impor komoditas pertanian tidak boleh pada saat musim panen dan harus menyesuaikan kebutuhan konsumsi dalam negeri.
“Kabarnya, demi tunduk pada perjanjian WTO, pasal di UU Perlintan itu juga akan diubah. Ini kan jadi semakin tidak benar,” katanya lagi.
Sebelumnya, Amerika Serikat (AS) menyiapkan sanksi senilai Rp 5 triliun terhadap Indonesia setelah menang gugatan atas batasan impor produk pertanian dan peternakan. Selain AS, Selandia Baru juga berpeluang menerbitkan sanksi serupa senilai Rp 9 triliun. Amerika Serikat telah meminta Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk menjatuhkan sanksi terhadap Indonesia usai memenangkan gugatan atas pembatasan impor produk pertanian dan peternakan asal AS yang diberlakukan pemerintah Indonesia.
Nilai sanksi yang diminta adalah sebesar US$ 350 juta atau sekitar Rp 5,04 triliun. Indonesia sebelumnya menerapkan batasan impor untuk berbagai produk semisal apel, anggur, kentang, bunga, jus, bawang, buah kering, sapi dan ayam. Atas ketetapan tersebut pemerintah AS dan Selandia Baru menggugat Indonesia tahun lalu lewat WTO. Menurut gugatan AS, Indonesia gagal mematuhi peraturan WTO dan meminta sanksi berupa denda uang untuk mengganti kerugian yang harus ditanggung pengusaha AS. Berdasarkan analisa awal dan data yang tersedia untuk sejumlah produk, level kerugiannya diperkirakan mencapai US$ 350 juta untuk tahun 2017.
“Kebijakan proteksi jelas menghambat dan melanggar aturan perdagangan bebas yang sudah disyaratkan oleh WTO yang mana Indonesia sudah menjadi anggotanya sejak tahun 1995. Demikian resiko yang harus dihadapi oleh Indonesia dan negara mana pun yang menerapkan aturan proteksi,” tuturnya.
Henry menambahkan, kedaulatan pangan mustahil tercapai, bila pemerintah Indonesia atau negara mana pun menjadi anggota WTO dan atau terikat dengan rezim perjanjian perdagangan bebas lainnya seperti FTA (Free Trade Agreement), EPA (Economic Partnership Agreement), CEPA (Comprehensive Economic Partnernership Agreement), Masyarakat Ekonomi ASEAN yang mensyaratkan adanya pasar tunggal ASEAN, hingga RCEP (Regional Comprehensip Partnership Agreement).
“Selama 22 tahun WTO berdiri, ia telah gagal memenuhi tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara. SPI sudah mengingatkan kali terakhir saat aksi menolak WTO di depan kantor Kemendag 13 Desember 2017 bersamaan waktunya sidang tingkat menteri WTO di Buenos Aires, Argentina,” tambahnya.
Kontak Selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668
Indonesia jangan sampai jadi bangsa pemamah.