Tragedi Bima: Letupan Pertanda Semakin Hancurnya Tatanan Berbangsa dan Bernegara

JAKARTA. Belum usai pengusutan kasus kekerasan terhadap masyarakat Mesuji di Propinsi Sumatera Selatan dan Lampung, di penghujung tahun 2011 ini kembali aparat kepolisian dan TNI menunjukan aksi represifnya.

Alih-alih melindungi masyarakat, pada  24 Desember 2011 lalu ratusan personil TNI dan Polri dengan senjata lengkap malah menembaki warga yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Tambang (FRAT) saat melakukan aksi damai di Pelabuhan Pela, Kabupaten Bima, NTB. Aksi warga tersebut dilakukan untuk menolak keberadaan tambang emas PT Sumber Mineral Nusantara (SMN).

Aksi massa yang dilakukan warga Sape, Lambu, dan Langgudu Kabupaten Bima terhadap PT SMN telah dilakukan dua tahun terakhir. Masyarakat memprotes keberadaan tambang emas milik PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN) dengan Luas 24.980 hektar itu di Kecamatan Sape, Lambu dan Langgudu dan  14.318 Ha milik PT. Indo Mineral Cipta Persada yang beroperasi di kecamatan Parado karena akan membahayakan mata pencarian warga yang sebagian besar penduduknya sebagai petani dan nelayan.

Aksi brutal aparatus negara tersebut telah mengakibatkan korban jiwa dan luka-luka yang jumlahnya sampai hari ini belum bisa dipastikan. Tragedi Bima mengingatkan  kita kembali terhadap aksi brutal aparat kepolisian pada 18 September 2005 silam dimana polisi membubarkan paksa rapat umum Serikat Petani Indonesia (SPI)di lahan konflik milik petani yang akan dibangun Bandara Internasional di Tanak Awu, Lombok Tengah. Dalam kejadian tersebut 27 orang petani mengalami luka tembak, 6 orang petani terkena pukulan aparat dan 6 orang ditangkap aparat saat kejadian berlangsung.

Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, selain dua peristiwa kekerasan yang terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam rentan waktu yang lama tersebut , sebenarnya telah terjadi berbagai peristiwa kekerasan yang menimpa petani di NTB dalam mempertahankan tanah airnya dari eksploitasi perusahaan-perusahaan tambang, pariwisata, dan agribisinis.

Lebih lanjut Henry mengungkapkan, peristiwa kekerasan di Kabupaten Bima ini merupakan salah satu dari sekian banyak tragedi pelanggaran hak asasi petani yang dilakukan aparat. Henry mengkritik cara-cara kekerasan yang selalu dilakukan oleh aparat dalam menyelesaikan setiap konflik yang dialami oleh masyarakat. Aparat kepolisian menunjukkan keberpihakan yang membabi buta terhadap perusahaan, bahkan secara kasat mata telah menjadi kaki tangan perusahaan.

“Setiap konflik agraria tetap disertai pelanggaran HAM, terutama terhadap kaum tani. Petani selalu ditempatkan sebagai pihak yang salah dan kalah. Sebaliknya, aparatur negara  justru berada di posisi yang berlawanan dengan rakyat. Mereka menjadi pelindung dan penjaga para pemilik modal. Pemerintah juga tidak melakukan upaya secara adil dan beradab dalam menyelesaikan konflik yang melibatkan petani tersebut,” tegas Henry.

Aksi kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian ini menambah panjang daftar buruk perlakuan aparat terhadap rakyat tahun 2011. “Sepanjang  tahun 2011 menurut catatan SPI terjadi 144 kasus pelanggaran terhadap Hak Asasi Petani (HAP) di berbagai wilayah Indonesia. Pelanggaran HAP tersebut menyebabkan 18 orang korban tewas dan sebanyak 35 didakwa dan dipenjara. Belum lagi ditambah dengan meletupnya Tragedi Bima ini. Tragedi di Bima, sungguh menggambarkan telah terjadi secara sistemik kerusakan tatanan berbangsa dan bernegara: Telah terjadi saling baku hantam antara rakyat dengan rakyat, antara rakyat dengan aparat kepolisian bersama aparat negara lainnya. Kerusakan tatanan berbangsa dan bernegara ini, disebabkan oleh pelaksanaan pembangunan ekonomi yang salah arah dan tidak sesuai dengan konstitusi. Hal itu terbukti dengan dikeluarkannya sejumlah Undang-undang yang mengeksploitasi alam Indonesia, dan dalam kasus Bima adalah dengan adanya UU Mineral dan Batubara no. 4/2009”, tegas Henry Saragih.

Oleh karena itu, arah sistem ekonomi Indonesia haruslah dikembalikan pada konstitusi, dengan mencabut sejumlah undang-undang yang salama ini telah menimbulkan konflik agraria, diantaranya adalah UU Perkebunan no. 18 tahun 2004, UU No. 7/2004,  Sumber Daya Air, dan UU  No. 4/2009 Mineral dan Batubara. Konflik ini bisa diakhiri dengan dilaksanakannya Reforma Agraria, yaitu menata kembali tatanan agraria di Indonesia yang sudah timpang, menjadi satu tatanan yang berkeadilan. Bagi rakyat khususnya kaum tani, tatanan Agraria yang adil itu adalah fondasi tatanan berbangsa dan bernegara.

Terakhir Henry mendesak dengan segera agar pemerintah segera menyelesaikan berbagai konflik agraria yang dialami masyarakat dengan membentuk komite khusus penyelesaian konflik agraria dengan berpegang teguh pada kepada Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 (UUPA 60). Mencabut izin operasi perusahaan-perusahaan tambang yang ada di Bima. Menindak aparat kepolisian yang telah melanggar nilai-nilai kemanusiaan.

Jika kita masih ingin tatanan berbangsa dan bernegara tetap berjalan dengan baik, maka penyelesaian tragedi Bima mendesak untuk dilakukan. Karena Tragedi Bima adalah letupan yang menandai telah terjadi  kerusakan serius dalam tatanan berbangsa dan bernegara secara umum, dimulai dengan telah hancurnya tatanan agraria yang menjadi fondasi tatanan berbangsa dan bernegara.  Letupan-letupan  yang terjadi di Bima, Mesuji dan banyak daerah lainnya jika dibiarkan akan menjadi letusan yang menghancurkan seluruh tatanan  kehidupan sebagai bangsa.

====================================================================

Kontak:

Henry Saragih (Ketua Umum Serikat Petani Indonesia) 0811-655-668

Agus Ruli Ardiansyah (Ketua Departemen Politik, Hukum& Keamanan SPI) 087821272339

ARTIKEL TERKAIT
CEPA Indonesia-Uni Eropa: Mengulang Kesalahan ACFTA?
Selamat Jalan, Fidentius Oscar
Peraturan perundangan harus lindungi hak asasi petani
Parman: “Saya selalu sosialisasikan SPI dimana pun saya be...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU