Tahun ini, tanggal 24 September kita akan merayakan 50 tahun lahirnya Undang-undang Pokok Agraria No.5/1960, yang diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Penetapan Hari Tani ini untuk terus mengingatkan kita bahwa petani adalah salah satu soko guru bangsa ini yang kerap dilupakan. Semangat dari UUPA No. 5/1960 ini bertujuan membongkar ketidakdilan struktur agraria dan membawa kemakmuran bagi rakyat Indonesia yang sebagian besar bergantung pada sektor pertanian. Semangat yang masih relevan hingga hari ini. Begitu besarnya perlindungan terhadap petani dalam undang-undang ini dengan menegaskan bahwa tanah-tanah pertanian ditujukan dan diutamakan bagi mereka yang menggarapnya.
Sangat disayangkan bahwa kemudian desain pembangunan Indonesia luput melihat salah satu potensi terbesar yang dimilikinya. UUPA di peti es kan, dan kemudian keluarlah sejumlah undang-undang yang menjual kekayaan alam kita dengan berbagai mekanisme perjanjian kontrak karya dipertambangan, kehutanan serta perkebunan. Perusahaan-perusahaan mulai masuk ke dalam perkebunan besar, dan khusus pertanian pangan melalui benih-benih dan input pertanian lainnya.
Upaya mendorong pembangunan pertanian coba didorong dengan cara instan melalui program revolusi hijau. Revolusi hijau dikembangkan berdasarkan tiga pilar penting yakni penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia dan penerapan pestisida untuk menjamin produksi, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan baku berkualitas.
Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi, suatu hal yang tidak dapat dimungkinkan tanpa tiga pilar tersebut. Namun akibatnya berbagai organisme penyubur tanah musnah, kesuburan tanah merosot dan menjadi tandus, terjadi peledakan serangan dan jumlah hama, yang akhirnya mengakibatkan rusaknya keseimbangan ekosistem alam sekitar. Revolusi hijau menyebabkan petani menjadi tergantung terhadap produk-produk kimia sehingga sistem pertanian berkelanjutan semakin terpinggirkan.
Hal serupa juga berkembang di sektor perkebunan, Sistem Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang digagas pemerintah dengan tujuan awal memberdayakan petani lokal juga sangat sering merugikan petani. Kesepakatan pemanfaatan lahan, biaya operasional ataupun harga jual hasil perkebunan seringkali tidak sesuai dengan perjanjian yang dilakukan bersama. Yang terjadi justru terjadi pengambil alihan lahan-lahan petani menjadi milik perusahaan perkebunan besar.
Di tengah situasi yang tidak menguntungkan ini, pada tahun 2008 tercatat masih terdapat 28,3 juta rumah tangga yang menggantungkan hidupnya dari pertanian dimana 15, 6 juta diantaranya merupakan petani kecil dengan kepemilikan lahan sangat sempit. Pertanian masih menjadi sumber lapangan kerja bagi 46 persen penduduk dan menjadi penyumbang yang cukup signifikan bagi perekonomian kita. Petani-petani inilah yang menjadi penghasil utama kebutuhan pangan, merekalah tulang punggung swasembada pangan Indonesia.
Hingga hari ini kebutuhan pangan penduduk Indonesia masih diproduksi dan dihasilkan dari tangan petani-petani yang justru kehidupannya tidak mendapat perhatian yang layak dari pemerintah. Padahal justru para petani inilah yang bekerja keras demi tercapainya swasembada pangan.
Namun yang terjadi justru dukungan yang begitu besar bagi peran korporate dalam segala sektor kehidupan bangsa ini termasuk pada pertanian, baik dalam bentuk kebijakan maupun berbagai kemudahan lainnya. Hal ini bisa kita lihat dari peningkatan pesat perkebunan swasta dibandingkan perkebunan rakyat dan negara. Dalam 5 tahun terakhir peningkatan perkebunan swasta kelapa sawit mencapai 1.326.000 hektar, jumlah yang cukup tinggi mengingat di sisi lain terjadi laju konversi lahan pertanian pangan sebesar 10.000 hektar per tahunnya.
Korporat-korporat multinasional telah menguasai berbagai lini usaha di pertanian, dari penyediaan bibit dan pestisida, peternakan dan lainnya. Mereka lah yang meraup keuntungan besar di tengah krisis harga pangan. Pada perdagangan bibit dan pestisida misalnya keuntungan Monsanto, raksasa industri benih dan pestisida meningkat 120 persen pada periode 2008 dan mendapatkan sebesar 2,926 miliar dolar, dalam perdagangan pupuk, Potas Corp. perusahaan dari Kanada mengalami kenaikan keuntungan sebesar 164 persen dengan memperoleh 4,963 miliar dolar. sebesar 2,926 miliar dolar. Pada industri susu misalnya bisa kita lihat hanya ada lima perusahaan besar yang menguasai seluruh industri susu di Indonesia yaitu PT Nestle, PT Frisian Flag, PT Ultra Jaya, PT Sari Husada, dan PT Indomilk-Indo-lacto. Dan para peternak susu menjadi sangat tergantung pada kelima perusahaan ini, yang memiliki keleluasaan untuk menentukan harga dan kuota susu bagi para peternak.
Gambaran ini menunjukkan besarnya peran korporate dalam sistem ekonomi, yang bekerja hanya demi menguntungkan sejumlah kecil orang. Padahal telah nyata betapa korporate-korporate ini tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan rakyat, khususnya kebutuhan dasar, secara adil dan merata. Belum lagi kita lihat kerusakan lingkungan yang disebabkan eksploitasi besar-besaran kekayaan alam Indonesia demi memenuhi kebutuhan bahan baku industri.
Pemerintah menghentikan memberikan peran yang sangat besar kepada korporat dalam sektor pertanian dan pangan yang merupakan kebutuhan mendasar seluruh penduduk. Pangan merupakan hak asasi manusia yang hendaknya dijamin pemenuhannya oleh negara. Atas dasar itulah rencana pemerintah sebagai hasil National Summit 2009 untuk membuka food estate hendaklah dihentikan.
Pertanian hendaknya dikembalikan pada pertanian rakyat dengan dukungan pemerintah. Pertanian rakyat yang memberikan keadilan bagi para petani yang merupakan subyek utama dalam memenuhi kebutuhan pangan sekaligus berperan dalam melestarikan alam. Petani-petani di seluruh dunia yang tergabung dalam gerakan petani internasional La Via Campesina menawarkan solusi atas atas korporatisasi di sektor pertanian yang sudah meluluh lantakkan kaum tani di seluruh dunia. Solusi ini berupa pertanian berkelanjutan atau pertanian agroekologi.
Agroekologi adalah pertanian yang dilakukan dengan menerapkan konsep dan prinsip ekologi, memperhatikan keanekaragaman hayati, dan ekositem pertanian yang berkeadilan. Pertanian agroekologi mengembangkan ekosistem pertanian dengan tingkat ketergantungan minimal atas input eksternal, sehingga mengoptimalkan interaksi dan sinergi antara komponen biologis yang terdapat di areal pertanian. Hal ini akan menyediakan mekanisme bagi sistem kesuburan tanah, produktivitas dan perlindungan tanaman secara alami.
Sistem ini menjawab kebutuhan teknologi bagi petani kecil. Akibatnya petani kecil dapat melakukan penghematan input dan biaya, mengurangi resiko kegagalan, dan meningkatkan pemenuhan nutrisi, kesehatan tanaman dan lingkungan. Sistem pertanian ini cocok pula dikembangkan untuk lahan marjinal, dengan sistem pertanian rakyat.
Pertanian berkelanjutan atau agroekologi ini juga membuat petani kecil semakin mandiri karena memampukan petani untuk memproduksi pupuk, benih, dan pengendali hama sendiri. Pelaksanaan sistem agroekologi yang baik dapat menjadikan sebuah desa petani menjadi desa organik yang mandiri.
Praktek agroekologi ini sendiri sudah berhasil diterapkan di daerah Bogor, tepatnya di Desa Cibeureum, Kecamatan Dramaga, berjarak sekitar 15 km dari pusat kota Bogor. Desa yang juga merupakan salah satu basis Serikat Petani Indonesia (SPI) ini telah berhasil menerapkan sistem pertanian agroekologi. Seluruh hasil pertanian ditanam dengan menggunakan sistem organik, begitu juga untuk kebutuhan pupuk dan benih, semuanya dibuat dan diolah petani sendiri tanpa ada campur tangan korporat-korporat agribisnis.
Hal ini menunjukkan bahwa petani sesungguhnya memiliki potensi yang sangat besar untuk terus memproduksi hasil pangan dan pertanian bagi kebutuhan bangsa ini. Karena itu menghentikan pelaksanaan food estate di Merauke maupun di tempat lainnya hendaknya menjadi langkah kongkrit pemerintah untuk mengembangkan pertanian rakyat yang telah lama terbengkalai sekaligus menjadi kado manis bagi petani dalam perayaan setengah abad Hari Tani tahun ini.
Elisha Kartini Samon
Staff Departemen Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia (SPI)
Petani. Kecil dengan lahan TaK sebrapa lebar tidak mendapatkan subsidi pupuk sedangkan yang pintar memanfaatkan pupuk subsidi dengan kelompoknya apakah itu adil. pajak bumi terus membayar kenapa yang di genjot pupuk non subsidi? Harga naik 50% non subsidi petani kecil kebagian. Apa