Hingga hari ini tidak ada keseriusan pemerintah untuk melindungi kaum tani yang sangat rentan dan dekat dengan kemiskinan. Banyak kebijakan alih fungsi lahan yang mengatasnamakan kepentingan publik, padahal itu adalah perampasan lahan oleh para pemodal.
Petani jumlahnya mencapai 50 persen atau sekitar 112 juta jiwa dari seluruh penduduk Indonesia, dan sebanyak 42 persen angkatan kerja Indonesia ada di sektor pertanian. Ironisnya, mayoritas petani di Indonesia justru memiliki lahan sempit, tidak lebih dari 0,5 hektare bahkan sebagian besar tak berlahan atau buruh tani. Padahal lahan pertanian merupakan aset negara yang seharusnya dapat digunakan sebesar-besarnya oleh rakyat sebagai pemilik negara.
Selain jaminan pasar atau harga jual hasil panen yang layak, petani membutuhkan lahan pertanian yang luas sebagai tempat mereka berusaha dan berproduksi. Tetapi hingga saat ini tidak ada keberpihakan pemerintah kepada petani gurem.
Hal itu tercermin dari tidak adanya undang-undang (UU) yang dihasilkan pemerintah yang mampu mengembalikan penguasaan kepemilikan tanah kepada petani. Meskipun pada 24 September 1960 telah dilahirkan sebuah UU No.5 Tahun 1960 tentang pokok-pokok agraria. Ironisnya, hingga saat ini tidak pernah dikeluarkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan UUPA tersebut sebagaimana mestinya.
Sejarah mencatat, pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno telah dilahirkan PP sementara akibat waktu yang singkat, yaitu hanya 5 tahun, dan dikenal sebagai objek landreform yang telah mendistribusikan tanah kepada petani.
Sedangkan Presiden Yudhoyono dengan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) sejak awal pemerintahannya sampai saat ini yang menjanjikan pendistribusian tanah produktif bagi petani seluas 9,2 juta hektare tidak pernah terealisasi.
Jika dalam kurun waktu lima tahun hingga sepuluh ke depan, pemerintah tidak menyadari kelalaian tersebut, maka jumlah petani yang tidak memiliki lahan di Pulau Jawa dipastikan akan meningkat lebih dari 50 persen, dan sebanyak 49 persen petani di Jawa tidak memiliki lahan sama sekali. Sementara itu, angka konversi lahan pertanian ke non pertanian di Jawa telah mencapai 50.000-100.000 hektare per tahun.
Memang ada usaha untuk melindungi lahan pertanian oleh pemerintahan Yudhoyono dengan dikeluarkannya UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UUPLPPB). Namun, Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia menilai UUPLPPB hanya bersifat jangka pendek atau darurat, dan sebenarnya yang terpenting adalah membuat PP yang menjabarkan pelaksanaan UUPA 1960.
Selama ini, pemerintah hanya membuat UU yang tidak merujuk pada UUPA seperti UU Perkebunan dan hal tersebut berlangsung sejak berubahnya politik ekonomi dan agraria nasional yang sebelumnya berbasis usaha tani dimana petani dan koperasi menjadi perkebunan-perkebunan yang dikuasai oleh perusahaan bermodal besar.
Selain itu, Henry menambahkan, “Pada umumnya negara melakukan landreform terlebih dahulu, kemudian muncul UU investasi. Sebenarnya penting menjadi pegangan untuk kepala BPN atau Menteri Pertanian adalah UU No 5 tahun 1960 yaitu tentang Pokok Agraria, dimana jelas disebutkan bahwa setiap warga negara berhak memiliki tanah.”