WTO Out!

Putaran Doha adalah masalah, bukan solusi terhadap krisis pangan, iklim, energi dan finansial

Jakarta, 21 Juli 2008—DALAM rangka Konferensi Tingkat Menteri Terbatas (mini-ministerial) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), maka kami dari berbagai elemen rakyat mengingatkan kembali akan bahayanya agenda liberalisasi, privatisasi dan deregulasi yang akan dipertaruhkan dalam negosiasi pertanian, akses pasar produk non-pertanian (NAMA), dan jasa di dalam pertemuan yang akan diadakan di Jenewa (21-26 Juli) tersebut.

Putaran Doha akan dicoba untuk dihidupkan kembali setelah mandeg pada 26 Juli 2006 lalu. Kami menyatakan dengan tegas bahwa WTO telah gagal. Apalagi keputusan dalam mini-ministerial sangat tidak demokratis dengan hanya melibatkan 30 negara (Indonesia salah satunya—diketuai Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu), serta mempertukarkan satu negosiasi dengan yang lain dengan trade-off yang tidak masuk akal.

Faktanya, negosiasi WTO akan memperparah krisis global yang terjadi saat ini. Resume negosiasi WTO juga tidak akan mengurangi masalah dasar, yakni kemiskinan yang akut dan ketimpangan proses pembangunan di Indonesia. Menyelesaikan Putaran Doha tidak akan pula serta merta menyelesaikan permasalahan dalam pasar produk pertanian, bahkan akan berkontribusi bagi penghancuran sektor lain, yaitu industri manufaktur. Selanjutnya, negosiasi WTO hanya akan melemahkan akses rakyat terhadap sektor jasa—terutama pelayanan publik.

Putaran Doha hanya akan menambah masalah, bukan menjadi solusi terhadap krisis yang nyata-nyata sedang diderita rakyat Indonesia. Liberalisasi pangan dan pertanian dalam negosiasi pertanian WTO hanya akan membuat harga pangan menjadi semakin tak terduga, ketergantungan impor Indonesia akan terus meningkat, pasar dan produksi domestik semakin tidak menguntungkan karena banjir produk impor murah dari overproduksi negara lain, dan tentunya keuntungan pasar yang diraup, dikendalikan hanya oleh segelintir perusahaan besar. Hal ini ditandai dengan naiknya impor beras 1.5 juta ton beras di tahun 2007. Angka ini naik dari tahun 2006 yang hanya sebesar 840 ribu ton (atau naik 78.5 persen). Dalam komoditi kedelai, kita mengimpor 1.5 juta ton kedelai di tahun 2007. Ini naik dari tahun 2006 yang sebesar 1.2 juta ton (atau naik 25 persen). Hal ini belum termasuk komoditi lain, seperti gandum, gula, buah-buahan, sayuran, daging dan susu yang dependensi impornya tinggi.

Dalam proyeksi terakhir, peningkatan keuntungan global via Putaran Doha untuk tahun 2015 mencapai angka 96 milyar USD, 16 milyar di antaranya masuk ke negara-negara berkembang. Angka ini ternyata hanya mewakili 0.2 persen dari pendapatan nasional negara berkembang, atau kurang dari 1 sen USD per hari per orang di negara berkembang. Sementara itu, biaya yang dikeluarkan sangat jauh dari hasil yang diproyeksikan. Total kerugian dari pemotongan tarif di negara-negara berkembang yang berada dibawah negosiasi NAMA bisa mencapai 63 milyar USD, atau hampir mencapai 4 kali dari jumlah keuntungan yang diproyeksikan. Kerugian ini belum memasukkan kerugian potensial atas hilangnya jutaan pekerjaan di sektor pertanian dan industri akibat kebijakan pengurangan tarif.

Kami memahami usulan Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya (G-33) dalam negosiasi di WTO tentang Special Product and Special Safetyguard Mechanism (SP/SSM) sebagai sebuah upaya untuk mendukung ketahanan pangan (food security), penghidupan yang layak (livelihood security) serta sebagai salah satu upaya pembangunan pedesaan (rural development). Kami mendorong mereka untuk tetap berdiri pada posisinya dan meminta mereka untuk menyatakan bahwa pangan bukanlah sebatas komoditas dan pangan tidak boleh diperdagangkan. Kami menolak kompromi G-33 untuk mencapai kesepakatan atau bertukar (trade off) dengan negosiasi lain di dalam WTO. Kami menegaskan bahwa adalah kewajiban negara untuk mendorong ketahanan pangan menuju kedaulatan pangan, mendorong penghidupan yang layak bagi rakyatnya serta memajukan pembangunan pedesaan. Negara-negara G-33, terutama Indonesia, harus mengesampingkan keuntungan dari pada kepentingan rakyatnya (people before profit).

Krisis pangan, iklim, energi dan finansial yang terjadi saat ini disebabkan mode produksi dan konsumsi yang mengerikan, yang dipromosikan oleh negara-negara maju dan juga lembaga internasional macam WTO, IMF, Bank Dunia bersama perjanjian perdagangan bebas—baik bilateral maupun regional.

Paket putaran Doha adalah kesepakatan yang buruk bagi rakyat. Putaran Doha hanya melayani kepentingan perusahaan-perusahaan transnasional besar di dunia, sebagian besar dari mereka berpusat di negara-negara maju. Paket-paket seperti Putaran Doha dan WTO pada umumnya telah mengalami kegagalan sejak tahun 1999, 2003, 2005, 2006—sejak 13 tahun lalu. Oleh karenanya, sudah saatnya ada pendekatan baru dalam sistem perdagangan multilateral. Pendekatan baru yang harus berfokus pada kebijakan pembangunan ekologi yang berkelanjutan dan berorientasi pada pemenuhan hak-hak dasar rakyat.

Kontak:
Mohammed Ikhwan (+62 819 320 99596, m.ikhwan@gmail.com),
Dani Setiawan (+62 812 967 1744, danisetia@gmail.com)

ARTIKEL TERKAIT
SPI Sumut: Konflik Tanah Sari Rejo Akibat Tidak Dilaksanakan...
Semiloka Forum Petani Nasional Semiloka Forum Petani Nasional
Sukardi Bendang: “Bacalah, dan kita akan cerdas”
20 Tahun SPI: Memperkuat Organisasi Petani Menjadi Kekuatan ...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU