JAKARTA. Kembali BPS (Badan Pusat Statistik) merilis nilai tukar petani (NTP) selama bulan Agustus 2018. Menurut BPS, NTP nasional Agustus 2018 sebesar 102,56 atau naik 0,89 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Kenaikan NTP dikarenakan Indeks Harga yang Diterima Petani (It) naik sebesar 0,75 persen, sementara Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) turun sebesar 0,14 persen. Kenaikan NTP dikarenakan terjadi deflasi sebesar 0,05 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 134,07. Sementara deflasi perdesaan di Indonesia sebesar 0,32 persen, disebabkan oleh penurunan indeks kelompok bahan makanan yang cukup besar, sementara indeks kelompok penyusun Indeks Konsumsi Rumah Tangga (IKRT) lainnya naik, terkhusus bahan makanan jadi dan pendidikan, yang terkait dengan pembiayaan pendidikan anak di awal-awal tahun ajaran baru 2018.Penurunan harga bahan makanan (mentah) karena melimpahnya hasil panen, termasuk juga adanya beras impor pada bulan Agustus. Namun petani masih mendapatkan pendapatan yang cukup dari penjualan hasil panennya, sehingga NTP masih meningkat terkhusus NTP Tanaman Pangan, Hortikultura dan peternakan, Sementara NTP tanaman perkebunan justru terus mengalami penurunan ( lihat grafik di bawah).
Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), penurunan NTP tanaman perkebunan rakyat pada bulan Agustus akibat oleh turunnya harga kakao dan kelapa sawit. Penurunan pada bulan Agustus tersebut menyebabkan Kemendag menurunkan Bea Keluar (BK) minyak mentah kelapa sawit (crude palm oil) dan kakao sesuai aturan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 89 Tahun 2018 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) atas Produk Pertanian dan Kehutanan yang dikenakan bea Keluar.
“Pergerakan NTP Tanaman Perkebunan di bawah 100 tersebut mengindikasikan semakin menurunnya tingkat kesejahteraan petani perkebunan kita,” kata Henry di Jakarta pagi ini (04/09).
Henry mengemukakan, tren kenaikan NTP di sektor pangan dan peternakan atau lebih jauh kesejahteraan petani dan kedaulatan negara akan berpeluang terganggu juga dengan ancaman eksternal berupa perjanjian pasar bebas yang mendesak pemerintah untuk mengurangi kebijakan atau peraturan proteksi.
“Sebagai contoh desakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump melalui WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) untuk mengubah isi UU Pangan 18/2012, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani 19/2013 dan UU Hortikultura 13/2010, serta UU tentang Perubahan atas UU 18/2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan agar lebih pro pasar dan menghilangkan pasal-pasal yang pro petani kecil untuk kedaulatan pangan,” papar Henry.
“Oleh karena itu pemerintah seharusnya konsisten untuk memperjuangkan Kedaulatan pangan yang tertuang dalam Nawacita kedaulatan pangan 2014-2019 seiring dengan 73 tahun Indonesia merdeka,” tambahnya.
Kontak selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668