Nilai Tukar Petani (NTP) Peternakan Februari 2016 Semakin Senja, (Potensi) Kartel Kian Mengemuka

Nilai Tukar Petani

JAKARTA. Nilai Tukar Petani (NTP) Peternakan pada Februari 2016 menurut laporan BPS (01/03) turun sebesar 0,32 persen. Penurunan disebabkan oleh turunnya indeks yang diterima oleh seluruh kelompok ternak.

Penurunan tertinggi dialami oleh kelompok unggas khususnya subsektor peternakan ayam ras pedaging dan telur ayam ras hingga mencapai 0,76 persen. Kemudian diikuti oleh kelompok hasil ternak, kelompok ternak kecil dan kelompok ternak besar masing-masing sebesar 0,43 persen, 0,41 persen, dan 0,07 persen.

Indeks yang diterima peternak unggas turun diakibatkan oleh harga ayam di kandang peternak ayam mandiri yang anjlok sampai Rp 8.000 per kg.

Menurut Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia Hartono, harga ayam di kandang peternak sudah kerap jatuh di bawah harga produksi yang berkisar Rp 18.000 per ekor sejak tahun 2013. Saat ini, harga mulai naik ke kisaran Rp 12.000,- hingga Rp 14.000 per ekor, walaupun masih jauh dibawah biaya produksi.[1]

Penurunan juga terjadi di pasar, berdasarkan pantauan Kementerian Perdagangan RI pada 1 Februari 2016 harga daging ayam broiler yakni sebesar Rp 33.340 per kg kemudian turun menjadi Rp 29.790 per kg pada 6 Februari 2016. Begitu pun dengan harga telur ayam ras yang turun Rp 1.370 per kg dari Rp 25.250 per kg pada awal Februari 2016 menjadi Rp 23.880 per kg di akhir Februari 2016.

Penyebab turunnya harga yaitu jumlah ayam usia sehari (day old chicks/DOC) yang melebihi dari kebutuhan. Karena alasan itu, pelaku usaha peternakan unggas dan Ditjen Peternakan Kementerian Pertanian RI pada November 2015 yang lalu sepakat untuk mengurangi populasi 6 juta induk ayam melalui pengafkiran dini—yang merupakan kebijakan tidak manusiawi.

Sementara itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan, pengafkiran dini harus distop karena diduga menjadi arena bermain para kartel. Saat ini KPPU tengah melakukan pemeriksaan atas dugaan kartel unggas pada 12 perusahaan.[2]

Namun Kementerian Pertanian RI berencana terus melanjutkan pengafkiran dini induk ayam (parents stock/PS) yang tersisa, atau sekitar 50% (3 juta) dari target 6 juta ekor. Di sisi lain, peternak mandiri menjadi kekurangan DOC karena perusahaan pun melakukan budidaya ayam.

Menanggapi hal ini Sekretaris Umum Badan Pelaksana Pusat (BPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) Agus Ruli Ardiansyah menyampaikan, kegiatan tersebut secara jelas menodai norma kehidupan.

“Pemerintah seharusnya mempunyai cara lain—selain pengafikiran dini—yang lebih “berkemanusiaan” untuk mengendalikan harga daging ayam broiler dan telur ayam ras,” kata Agus Ruli di Jakarta (09/03).

“Misalnya dengan pengaturan impor Grand Parents Stock (GPS), pengaturan suplai DOC ke peternak rakyat, mengatur segmentasi pasar dan memberikan sanksi berat bagi perusahaan yang terlibat kartel unggas. Sehingga prioritas kebijakan diperuntukan bagi para peternak rakyat,” lanjut Agus Ruli panjang lebar.

Agus Ruli menekankan, solusi demikian diharapkan akan kembali meningkatkan NTP Peternakan secara umum dan indeks yang diterima peternak unggas secara khusus. Karena para peternak akan kembali dihadapkan dengan tantangan baru berupa impor sapi indukan yang akan dimulai pada April 2016.

Menurut Kementerian Pertanian RI, impor sapi indukan bertujuan untuk mencapai target pemasukan sebanyak 50.000 ekor sapi[3]

[1] Kompas, “Peternak Butuh Solusi Segera”, Senin 7 Maret 2016

[2] Bisnis Indonesia, “Afkir Dini DOC Diteruskan”, Selasa 8 Maret 2016

[3] Bisnis Indonesia, “Impor Sapi Indukan Mulai April”, Selasa 8 Maret 2016

ARTIKEL TERKAIT
Pangan 2012: Tersandung Impor Kedelai, Singkong dan Gandum
Kebijakan bagi Kaum Tani
KOMNAS HAM : Pelanggaran Hak Asasi Petani Masih Marak terjad...
Agenda Rakyat: Membangun Regionalisme Yang Berdaulat, Bongka...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU