BOGOR. Data kependudukan yang dilansir oleh BPS (Badan Pusat Statistik) per Agustus 2010 jumlah penduduk Indonesia sekitar 237.556.363 orang, dan diperkirakan 70% dari total jumlah tersebut merupakan kaum tani. Dari jumlah tersebut petani perempuan merupakan bagian penduduk yang terbesar di pedesaan, yaitu sekitar 58%. Hal tersebut menunjukkan bahwa pertanian keluarga di Indonesia sangat dipengaruhi oleh petani perempuan yang berperan besar dalam proses produksi pertanian. Ikatan erat perempuan dalam budaya pertanian keluarga menempatkannya sebagai pengelola benih hingga pengelola panen untuk konsumsi keluarga.
Akan tetapi, arah kebijakan pertanian yang pro pemodal yang terus berlangsung sejak masa orde baru hingga saat ini, semakin mengusir perempuan dari pertaniannya. Kebijakan impor benih dan pangan semakin menghancurkan hak pengelolaan dan kearifan lokal petani perempuan. Perempuan semakin sulit mengembangkan pengetahuan pertanian berwawasan alamnya, perempuan semakin sulit menghasilkan pangan untuk keluarganya. Padahal saat ini, petani sudah cukup terpuruk akibat perubahan iklim yang berakibat kegagalan panen dan instabilitas harga yang disikapi pemerintah dengan kebijakan impor pangan besar-besaran semakin menghancurkan produksi pangan saat ini. Alhasil, peran perempuan dalam pengelolaan benih dan pangan semakin harus bersaing dan digantikan oleh produk-produk impor yang membanjiri pasar lokal dalam negeri.
Berdasarkan hal tersebut, Departemen Petani Perempuan, Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) mengadakan “Kursus Kepemimpinan Perempuan Dalam Perjuangan Petani Untuk Menghapus Tindak Kekerasan terhadap Perempuan” di Bogor, Jawa Barat (23-27 November).
Dalam kata sambutannya, Henry Saragih, Ketua Umum SPI, menitikberatkan peran petani perempuan sebagai ibu kedaulatan pangan bangsa Indonesia. Dia juga menyebutkan bahwa sebagai wadah perjuangan petani, SPI menekankan bahwa kekuatan perjuangan tani harus dilakukan oleh semua pihak, laki-laki maupun perempuan. Hal ini akan tercermin dalam tampilnya petani perempuan dalam memimpin organisasi, berani memperjuangkan haknya sebagai petani, dan tampil aktif untuk menolak berbagai bentuk penghancuran terhadap kehidupannya sebagai petani.
“Harus disadari, peminggiran terhadap perempuan dan penghancuran terhadap kedaulatan perempuan dalam pertanian, terutama kedaulatan perempuan terhadap pelindung pangan merupakan merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan, dan Negara berperan aktif melanggengkannya. Oleh karena itu kedaulatan petani dan hak azasi petani harus ditegakkan. Dan berbagai bentuk tindak kekerasan terhadap petani harus dihapuskan. Semua pihak baik laki-laki maupun perempuan, harus memperjuangkan hak-hak dasarnya sebagai petani, karena perlindungan terhadap hak dasar petani khususnya perempuan perempuan merupakan perlindungan terhadap hak azasinya sebagai manusia,” tutur Henry yang juga Koordinator Umum La Via Campesina.
Watak patriarki feodal yang sekian lama menutup akses perempuan terhadap kepemilikan tanah, serta konfersi lahan pertanian besar-besaran yang terus berlanjut semakin menggusur perempuan dari pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa telah berlangsung pergeseran budaya pada petani perempuan, peran petani perempuan dalam budaya pertanian keluarga telah beralih menjadi kerja ekonomi perempuan. Peran perempuan dalam pertanian keluarga beralih sebagai buruh tani, buruh tani perkebunan. Sebagian lainnya bekerja di sektor industri dan pekerja lainnya di sektor informal, seperti pekerja rumah tangga. Artinya jurang kemiskinan yang dialami perempuan semakin terbuka. Saat ini sekitar 60% dari total perempuan Indonesia terpaksa menjadi tulang punggung ekonomi keluarga.
Minimnya lapangan kerja di dalam negeri justru disiasati pemerintah dengan membuka lapangan kerja rumah tangga ke luar negeri, hingga tahun 2004 saja angka buruh migran dari Indonesia mencapai 71.433 jiwa. Di lain sisi, tidak sedikit anak-anak perempuan dari desa yang tersingkir dari partisipasi produksi perdesaan tersebut dengan iming-iming pekerjaan di kota justru menjadi korban perdagangan manusia.
Wilda Tarigan, Ketua Departemen Petani Perempuan DPP SPI menyebutkan bahwa acara ini bertujuan untu meningkatkan kemampuan kepemimpinan kader petani perempuan SPI sehingga siap memimpin perjuangan tani dan meningkatkan kemampuan pengorganisasian kader petani perempuan SPI sehingga semakin mendorong peran aktif petani perempuan dalam perjuangan tani.
“Selain itu juga bertujuan untuk menambah wawasan pemimpin petani perempuan SPI dan mendorong semakin banyaknya kegiatan perempuan berkaitan dengan kampanye anti tindak kekerasan terhadap perempuan,” tambahnya.
Acara ini sendiri dilakukan bekerjasama dengan La Via Campesina Regional Asia Tenggara, dan diikuti oleh puluhan peserta dari seantero Indonesia.