*oleh Tri Hariyono
Hingga saat ini Indonesia masih menyimpan berbagai masalah mengenai agraria. Penguasaan, kepemilikan, pemanfaatan lahan, sampai tenik pertanian yang ramah lingkungan untuk generasi mendatang masih belum terselesaikan. Modernisasi pertanian pada era orde baru menempuh dua cara, pertama menghidupkan kembali pertanian monokultur skala luas dan menjadikan petani sebagai buruh perkebunan, sama seperti zaman kolonial. Kedua adalah menggunakan pestisida dan pupuk kimia yang menyebabkan petani tergantung pada bahan-bahan agrokimia.
Kerusakan lahan pertanian di Indonesia dimulai sejak diberlakukannya modernisasi pertanian melalui revolusi hijau. Era revolusi hijau yang mengandalkan pestisida, pupuk kimia, serta pertanian monokultur skala luas berakhir, zaman orde baru mewariskan kondisi lahan pertanian yang tandus, kritis dan tidak produktif. Warisan lainnya adalah hilangnya pengetahuan lokal yang sangat menunjang keberlangsungan produksi pangan di Indonesia.
Besarnya kerusakan bisa kita lihat dari peningkatan penggunaan dan kebutuhan pupuk kimia serta pemakaian pestisida yang semakin masif. Penggunaan bahan kimia secara berlebihan pada pertanian menjadi bukti terganggunya keseimbangan ekosistem pertanian. Penggunaan insektisida secara terus menerus mengakibatkan hama semakin kebal dan menjadi makin berkembang lebih masif hingga menyebabkan kerugian di bidang pertanian lebih serius. Dengan demikian, dalam spektrum lebih luas, terjadi kemorosotan ekosistem ekonomi pertanian yang berdampak kepada degradasi lingkungan, penurunan produksi pangan dan kehancuran produksi pertanian secara umum. Untuk itu, dibutuhkan sistem pertanian yang menjaga kelestarian ekosistem dan tidak mengedepankan ekonomi semata.
Agroekologi sebagai Jalan Keluar
Ada sebuah sistem pertanian yang mensyarakatkan keseimbangan ekosistem. Konsep ini dirumuskan sebagai konsep agroekologi. Beberapa tahun belakangan ini Indonesia mulai mengenal sistem pertanian agroekologi ini, dimana sistem pertanian yang menjaga kelestarian ekosistem dan tentunya tidak mengedepankan ekonomi semata. Istilah “agro-ecology” tercatat digunakan kali pertama pada tahun 1928 oleh Basil M. Bensin, seorang agronom dari Rusia. Istilah ini dia gunakan merujuk pada pemakaian metode ekologi dalam riset pertanian.
Ditinjau dari bahasa, istilah agroekologi merupakan gabungan tiga kata, yaitu agro (pertanian), eko/eco (lingkungan hidup), dan logi/logos (ilmu). Secara sederhana, agroekologi bisa diartikan sebagai ilmu lingkungan pertanian, yaitu penerapan pengetahuan-pengetahuan ekologi ke dalam desain pengelolaan pertanian. Dalam praktiknya, kini agroekologi diterjemahkan sebagai penerapan ekologi ke dalam studi, perancangan, dan pengelolaan sistem pertanian pangan.
Sedangkan dalam pandangan Serikat Petani Indonesia (SPI), konsep agroekologi ini dimaknai sebagai suatu cara bertani yang mengintegrasikan secara komprehensif aspek lingkungan hingga sosial ekonomi masyarakat pertanian. Suatu mekanisme bertani yang dapat memenuhi kriteria (1) keuntungan ekonomi; (2) keuntungan sosial bagi keluarga tani dan masyarakat; dan (3) konservasi lingkungan secara berkelanjutan. Tujuannya adalah untuk memutus ketergantungan petani terhadap input eksternal dan penguasa pasar yang mendominasi sumber daya agraria. Pelaksanaan pertanian agroekologi bersumber dari tradisi pertanian keluarga yang menghargai, menjamin dan melindungi keberlanjutan alam untuk mewujudkan kembali budaya pertanian sebagai kehidupan.
Dengan demikian, dalam prakteknya, agroekologi dapat dilihat sebagai tindakan yang meliputi: (1) Penerapan agroekologi pada desain dan pengelolaan ekosistem pertanian berkelanjutan. (2) Pendekatan menyeluruh pada pertanian dan pengembangan sistem pangan yang berbasis pada pengetahuan tradisional, pertanian alternatif, dan pengalaman sistem pangan lokal. Dan (3) Keterkaitan ekologi, budaya, ekonomi, dan komunitas untuk keberlanjutan produksi pertanian, kesehatan lingkungan, dan kelestarian pangan dan masyarakat.
Agroekologi pada dasarnya bukan sekadar pengetahuan yang berasal dari masa lalu atau pengetahuan tradisional. Agroekologi menerapkan pendekatan menyeluruh terhadap pengembangan sistem pertanian dan produksi pangan yang didasarkan pada pengetahuan tradisional, pengalaman lokal, dan metode bertani yang diperkaya dengan pengetahuan ilmiah modern. Untuk itu, pertanian di Indonesia harus bisa bertransformasi dari corak pertanian tradisional yang bersifat subsisten maupun pertanian konvensional yang sarat penggunaan bahan kimia sistesis menuju corak pertanian agroekologi.
Seharusnya ada gerakan yang mengkampanyekan kembali pertanian agroekologis, baik pemerintah maupun kelompok masyarakat seperti organisasi tani atau lembaga sipil masyarakat. Kemudian mengajak petani mengenali sumber-sumber daya alam yang ada di tingkat lokal, seperti bahan baku pembuatan pupuk yang alami, pembuatan pakan alami, pestisida yang alami dan tidak kalah penting adalah pengembangan benih lokal yang sudah teruji. Kegiatan ini harus didukung oleh pengembangan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan serta pendampingan petani sehingga tidak menjadi kegiatan program semata.
Oleh karena itu, gerakan pertanian agroekologi pada hakekatnya merupakan gerakan sosial yang mampu menyatukan seluruh elemen gerakan: petani, nelayan, masyarakat adat, buruh, perempuan, kaum miskin kota, dan lain-lain. Tentu saja peran pemerintah juga sangat penting dalam gerakan pertanian agroekologi tersebut.
Pengalaman SPI Yogyakarta
Dalam setahun belakangan ini SPI Yogyakarta mencoba mengkampanyekan serta mempraktekkan model pertanian agroekologi dengan melakukan beberapa kegiatan baik berupa pendidikan dan pelatihan kepada para petani anggota SPI yang berada di kabupaten Sleman, Bantul, Kulonprogo, dan Gunungkidul, maupun praktek langsung di lahan petani anggota SPI dengan membuat berbagai macam model percontohan berupa demplot agroekologi. Kesemuanya ini bertujuan untuk mengajak kepada masyarakat petani yang ada di wilayah DIY bersama-sama mempraktekkan model pertanian agroekologi yang ramah lingkungan dan ikut serta menjaga melestarikan ekosistem.
Di Bantul, SPI bersama dengan anggotanya para petani dan peternak, bersama-sama membuat suatu model pakan alternatif yang ramah lingkungan dan menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitar atau lingkungan para anggota SPI, yaitu bersama-sama membuat pakan alternatif dengan model fermentasi.
Gagasan untuk membuat pakan alternatif ini dikarenakan sebagian dari anggota SPI dalam melakukan kegiatan pertanian sering terganggu atau bahkan terlalu disibukkan dengan kegiatan sampingannya yaitu memelihara ternak mereka. Di samping itu juga karena banyaknya bahan pakan yang ada di sekitar lingkungan mereka yang belum atau sama sekali tidak dimanfaatkan. Untuk itu SPI Bantul bersama dengan para anggotanya mencoba mencari solusi bersama dengan melakukan pelatihan pembuatan pakan dengan model fermentasi tersebut. Dan hasilnya sekarang, para petani anggota SPI yang mempunyai usaha sampingan dalam beternak tidak terlalu disibukkan dengan mengurusi atau mencukupi kebutuhan pakan setiap hari karena sudah dibuat pakan fermentasi yang tahan lama bahkan bisa sampai dua bulan. Di samping itu, limbah damen padi yang ada di sawah yang semula oleh petani dibakar sekarang digunakan untuk bahan membuat pakan alternatif dengan model fermentasi tersebut.
Selain mengembangkan pakan alternatif, SPI Bantul bekerjasama dengan akademisi juga mengembangkan padi organik varietas menur yaitu persilangan antara padi pandan wangi dan padi batang lembang, dengan menggunakan motode tanam tapak macan yaitu bertanam dengan membentuk segitiga, dimana setiap sisi berjarak lima centimeter. Sementara jarak antara segitiga satu dengan segitiga tanaman lain 30 centimeter. Metode tapak macan ini terbukti efektif, lebih hemat dalam penggunaan air, dan kompos organik. Dalam satu rumpun padi dengan metode tapak macan rata-rata berisikan 45 anakan. Hal ini sangat berbeda ketika menggunakan model konvensional dimana jumlah anakan dalam satu rumpun padi berkisar 20-25 anakan saja. Dengan demikian, hasilnya pun meningkat semula yang hanya mencapai 6-7 ton dalam setiap hektarnya, dengan metode tapak macan ini meningkat menjadi 11.5 Ton dalam perhektarnya. Beras yang dihasilkan juga akan lebih sehat dikonsumsi karena menggunakan pupuk organik.
Lain halnya dengan anggota SPI yang ada di Kabupaten Sleman dan Gunungkidul, mereka bersama dengan masyarakat dan anggota SPI membuat kegiatan pendidikan dan pelatihan agroekologi dengan melakukan praktek membuat nutrisi tanaman dengan model fermentasi. SPI mencoba menfasilitasi pendidikan dan pelatihan tersebut karena melihat bahwa kondisi pertanian karena warisan dari revolusi hijau – dengan mengharuskan penggunaan pupuk kimia – berdampak pada kondisi tanah yang kian hari menjadi semakin padat dan rusak, kemudian lahan pertanian menjadi rusak, bermunculan hama tanaman yang semakin kompleks. Dengan mempraktekkan model pertanian agroekologi, dengan menggunakan nutrisi hayati sebagai ganti atas penggunaan pupuk kimia, petani-petani SPI ikut berkontribusi dalam penyelamatan lingkungan hidup. Demikian.
*Penulis adalah Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Yogyakarta
Bagaimana cara agar bisa menjadi anggota spi &mendapatkan manfaat serta pembinaan, terimakasih.