JAKARTA. Serikat Petani Indonesia (SPI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Anti Utang (KAU), dan Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI) menyerukan melawan semua skema karbon offsetting hutan, serta menuntut pemecahan masalah konflik agraria di Indonesia. Seruan itu dilontarkan saat aksi di depan Kedutaan Besar Australia, Rabu (18/11).
Aksi ini juga menyerukan untuk mendukung skema pelestarian hutan dan lingkungan berbasis hak atas tanah petani dan kearifan lokal. Karena kehidupan dan nafkah mayoritas rakyat masih sangat tergantung pada keberlanjutan hutan, danau, sungai, lahan gambut, dan rawa. Dalam banyak kasus, masyarakat adat dan penduduk yang tinggal di sekitar hutan sudah menanam pohon lagi dengan jumlah ribuan hektar. Rakyat juga setuju dan sudah lama menjaga keberlangsungan hutan tersebut lewat sistem hutan adat dan komunal.
Aksi diikuti sekitar 30 orang, mereka berjalan beriringan menuju depan kedutaan besar Australia membawa berbagai perlengkapan aksi. Beberapa peserta aksi menggunakan jubah putih masing-masing bertuliskan, Ruining Ecological Dignity of Developing Countries (REDD), yang berarti bahwa skema REDD hanya merupakan skema penghancuran martabat ekologi negara-negara berkembang oleh negara-negara maju dan mereka memakai topeng kepala negara Annex I. Aksi ini merupakaan rangkaian aksi menghitung mundur 20 hari menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) di Kopenhagen, Denmark, 7-18 Desember 2009.
Selain itu, mereka melakukan aksi teaterikal dengan menyebarkan uang logam ke peta Indonesia, dan penyerahan simbolik cek sebesar 12 rupiah dari Kevin Rudd, Perdana Menteri Australia kepada Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia. Teatrikal itu sebagai simbol betapa murahnya harga hutan Indonesia yang ditujukan untuk kepentingan negara maju dengan mengesampingkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
“Indonesia dijadikan sebagai ‘toilet karbon’ emisi Australia. Padahal selama beberapa dekade Indonesia sudah dipengaruhi oleh konflik agraria dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Sebelum hak atas tanah dan hak komunal rakyat dan masyarakat adat diakui, skema REDD hanya akan memperparah konflik tersebut,” ujar Yuyun Harmono dari KAU, dalam kesempatan orasinya.
Yuyun menambahkan, “Proyek percobaan skema REDD termasuk yang berada di Kalimantan Tengah harus dihentikan, jika tidak memenuhi hak-hak mendasar rakyat dan tidak dilakukan menurut kearifan lokal masyarakat adat dan penduduk setempat.”