Aksi simpatik Gerakan Rakyat Lawan Neokolonialisme-Imperialisme di depan Departemen Perdagangan

Aksi simpatik Gerakan Rakyat Lawan Neokolonialisme-ImperialismeJAKARTA. Bersamaan dengan hari terakhir (2/12) pertemuan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-7 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang dimulai tanggal 30 November 2009 di Jenewa, Gerakan Rakyat Lawan Neokolonialisme dan imperialisme (GERAK LAWAN) melakukan aksi simpatik dengan mengusung tulisan,”STOP WTO” di depan gedung Departemen Perdagangan Republik Indonesia.

Ditengah terik mentari, perwakilan dari Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Lingkar Studi dan Aksi untuk Demokrasi (LS-ADI) menyatakan bahwa sudah saatnya WTO keluar dari pertanian. Aksi ini juga dilakukan sebagai rangkaian aksi simpatik perwakilan petani di Jenewa.

Salah satu anggota GERAK LAWAN, Serikat Petani Indonesia (SPI) ikut menghadiri pertemuan masyarakat dunia menentang WTO yang diadakan secara pararel dengan pertemuan tingkat Menteri Ke-7 WTO di Jenewa, Swiss (29/11), yang diwakili oleh Mohammed Ikhwan, Ketua Departemen Luar Negeri SPI,  dan Cecep Risnandar, Ketua Departemen Komunikasi Nasional. SPI, La Via Campesina dan Gerakan Rakyat Geneva menggelar aksi damai dengan menyalakan lilin persis di depan gedung tempat konferensi tingkat menteri WTO ke-7 berlangsung, Senin (30/11).

Muhammad Arif dari LS-ADI membuka orasi damainya yang menjelaskan bahwa aksi mengusir WTO bertujuan untuk menyampaikan kepada publik bahwa perjanjian di bawah WTO sangat merugikan rakyat. Oleh karena itu, posisi GERAK LAWAN sangat jelas yaitu meminta WTO keluar dari pertanian. “Jangan percayakan nasib rakyat pada pasar bebas. WTO merupakan rejim yang bertanggung jawab dengan krisis pangan, energi dan ekonomi yang saat ini terjadi,” tandasnya.

Pemerintah Indonesia bersama dengan negara-negara berkembang dalam kelompok G33, berusaha mengajukan usulan Produk Khusus dan Mekanisme Perlindungan Khusus (SP/SSM). Sejak 2003, proposal ini menjadi batu sandungan dalam perundingan Putaran Doha. Namun, proposal ini semakin lama semakin lemah dan semakin liberal.

Walaupun dimaksudkan untuk memproteksi petani, terutama yang ada di negara berkembang, proposal ini tentunya masih kurang dari cukup bagi kehidupan petani kecil sehari-hari. Agenda yang dibahas dalam KTM 7 ini bersandar pada Teks Desember 2008, teks ini semakin lemah dan pemerintah Indonesia terlihat sangat mengakomodasi kepentingan negara-negara maju demi dirampungkannya Putaran Doha.

Achmad Ya’kub, Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional SPI, mengatakan “Proses-proses perundingan di WTO tersebut jelas sekali terdeteksi bahwa peran negara-negara kaya seperti Amerika dan Uni Eropa, berkolaborasi dengan TNCs  sangat dominan. Misalnya mengenai aspek subsidi di negara kaya, mereka tunjuk hidung sekretariat WTO agar tidak menyentuh sedikitpun kepentingannya. Disisi lain, SP/SSM yang menjadi andalan negara berkembang semakin lemah, yang dulunya sekitar 16 persen sekarang melorot menjadi 12 persen,” ungkapnya.

“Yang menjadi topik pembahasan adalah mengenai akselerasi pembukaan pasar dan pemotongan dukungan domestik bagi produk pertanian. Bukannya upaya-upaya pencapaian kedaulatan pangan, pengentasan kemiskinan dan pembangunan pedesaan,” tegas Ya’kub.

Achmad Ya’kub menjelaskan  “Dalam perjanjian pertanian (AoA), setiap negara dituntut untuk meliberalkan pasar pertaniannya, terikat secara hukum di WTO. Tak terkecuali Indonesia, para petani yang saat ini hidupnya semakin sulit dipaksa untuk berkompetisi dalam pasar global. Padahal petani merupakan lapisan masyarakat yang rentan secara ekonomi. Lebih dari setengah jumlah petani dan masyarakat pedesaan di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan,” ucap Ya’kub di sela-sela orasinya.

Karena itulah, GERAK LAWAN menuntut agar WTO keluar dari pertanian. GERAK LAWAN sendiri mempromosikan kedaulatan pangan sebagai jalan alternatif untuk keluar dari krisis multi dimensi. Dalam kedaulatan pangan, produksi pertanian tidak boleh didikte pasar global.

Harga produk pertanian harus dapat menutupi biaya produksi dan cukup bagi para petani untuk dapat hidup layak, bukannya ditentukan oleh pasar global seperti yang terjadi saat ini. Produksi harus diprioritaskan untuk pemenuhan pasar lokal dan nasional terlebih dahulu sebelum pemenuhan ekspor. Untuk menjamin tercapainya kedaulatan pangan di Indonesia, maka pelaksanaan pembaruan agraria menjadi kunci.

ARTIKEL TERKAIT
Pembaruan Agraria dan Konflik Perkebunan Sawit
WTO, TNCs dan Pemerintah Neoliberal = Pelanggaran Hak Asasi ...
Food Estate, ancaman bagi pertanian berkelanjutan
Aksi Pemuda Tani SPI Menentang Kekerasan Terhadap Petani
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU