MANDAILING NATAL. Ratusan petani anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) yang berasal dari Kecamatan Batahan, Kabupaten Mandailing Natal (Madina) melakukan aksi menuntut penyelesaian sengketa agraria di gedung DPRD Madina (09/14). Mahfud, Ketua Badan Pelaksana Basis (BPB) SPI Batahan III menyatakan bahwa aksi ini untuk meminta pemerintah kabupaten Madina untuk segera menyelesaikan konflik lahan dengan PT Palmaris Raya (PR).
Mahfud menjelaskan bahwa mereka adalah para transmigran yang didatangkan pemerintah pusat pada tahun 1998 sebagai anggota Transmigrasi Pola PIR yang berjumlah 200 KK dari wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Yogyakarta. Namun nyatanya selama 14 tahun, mereka terkungkung dalam cengkraman penderitaan dan kepahitan hidup akibat ulah PT PR, yang sebelumnya bernama Supra Primoris Corporation yang telah mencaplok lahan yang diperuntukkan untuk mereka.
Padahal menurut Mahfud wilayah tersebut adalah sah sesuai dengan Surat Menteri Kehutanan RI No.979/Menhut-VII/1997 tentang Persetujuan Prinsip Pelepasan Areal Hutan untuk Lokasi pemukiman Transmigrasi penempatan tahun Anggaran 1997/1998 dan Peta Rancang Kapling Proyek Permukiman dan Lingkungan Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara, Pengukuran dan pembangunan Lahan LP.LU-1 dan Blok Lu –II Tahun anggaran 1998/1999. Hal ini diperkuat oleh keputusan Bupati Mandailing Natal No: 525.25/493/K/2008 tentang Perubahan Izin Lokasi yang di dalamnya pada ayat 2 dijelaskan bahwa PT PR (pemegang izin lokasi) tidak mengurangi hak atas tanah yang dimiliki orang lain sebelum menyelesaikannya.
“Oleh karena itu kami meminta dan memohon dengan sangat kepada Bupati Mandailing Natal supaya bersikap arif dan bijaksana, dengan tidak mengabaikan dan menelantarkan warga trans dengan membiarkan PT PR berlaku arogan sebagai pencuri dan perampas hak dan kehidupan petani kecil,” ungkapnya.
Setelah melakukan orasi, tiga orang perwakilan massa massa aksi yakni Mahfud, Siregar, dan Amru pun diterima oleh para anggota DPRD Madina. Berdasarkan pertemuan ini diputuskan bahwa DPRD Madina akan mengeluarkan surat rekomendasi untuk membuat tim penyelidikan lapangan konflik, sebelumnya PT. PR distanfaskan hingga berakhir penyelidikan.
Bertahan di DPRD
Meskipun demikian, hasil pertemuan dengan anggota DPRD tersebut belum memuaskan massa petani SPI Batahan, karena masih belum ada kepastian mengenai penyelesaian konflik lahan mereka.
“Kami akan tetap bertahan hingga ada kepastian baik itu dari DPRD maupun Pemkab Madina, sehingga kita sebagai perwakilan bisa membawa hasil untuk disampikan kepada masyarakat lain yang menungu di kampung. Dari dulu baik pihak eksekutif maupun legislatif terus membuat janji-janji, namun hingga kini kasus yang kami alami belum juga ada penyelesaiannya. Karenanya saat ini kami akan terus bertahan hingga hasil kesepakatan yang telah dibuat beberapa waktu lalu benar-benar direalisasikan. Tidak peduli hujan atau panas, kami akan bertahan,” papar Mahfud.
Alhasil, massa aksi pun memutuskan untuk tetap bertahan di DPR dan mendirikan tenda di sekitaran gedung DPRD Madina.Keesokan harinya (10/04) massa pun kembali melanjutkan aksinya. Namun kali ini perwakilan massa aksi tidak dibolehkan masuk sebelum paripurna penyampian LKPJ Bupati Madina selesai.
Mahfud juga menyampaikan bahwa mereka menuntut agar pihak yang berwenag seperti polisi dan Kejaksaan Tinggi Kabupaten Madina segera mengusut perkara perampasan tanah milik petani transmigran.
“Pihak Polisi sebagai penganyom, pelindung, dan pelayan masyarakat supaya bertindak sesuai dengan aturan,dan perundang- undangan, sehingga tidak melindungi PT PR yang jelas inkonstitusional dan melanggar hukum. Kami juga sering mendapatkan intimidasi oleh mereka,” teriak Mahfud dalam orasinya.
Setelah melalui negosiasi alot aksi pun berakhir setelah Bupati Madina, Aspan Sofyan Batubara menandatangani surat rekomendasi utuk menstanpaskan PT. PR.
Sementara itu, ditemui di tempat terpisah, Wagimin, Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Sumatera Utara menegaskan bahwa pembaruan agraria sejati sudah mutlak dilaksanakan agar masyarakat tani terhindar dari konflik-konflik agraria semacam ini.
“Dan jangan lupa untuk mengimplementasikan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 karena itu adalah pijakan yang kokoh bagi rakyat tani dan pedoman dalam mengatur masalah agraria di nusantara ini,” ungkapnya.