Pendahuluan
Dunia saat ini tengah menghadapi berbagai macam krisis. Krisis energi yang ditandai dengan naiknya harga minyak hingga mencapai angka tertinggi sepanjang sejarah. Krisis tersebut diikuti dengan kenaikan harga komoditas pangan dunia. Praktis kedua komoditas penting ini telah menjadi bencana bagi penduduk miskin di berbagai belahan dunia. Tidak cukup sampai di situ, krisis kemudian muncul dari sektor keuangan. Krisis keuangan yang berawal di Amerika Serikat telah berkembang secara global dan ikut menyeret negara-negara miskin terjebak didalamnya.
Situasi yang terjadi pada ekonomi internasional tersebut, dikarenakan mode ekonomi yang dilasanakan selama ini adalah mengandalkan mekanisme pasar yang liberal, dimana setiap sektor perokomian terkoneksi satu sama lainnya. Krisis yang terjadi pada Lehman Brothers adalah sebagai bagian dari krisis keuangan di Amerika Serikat yang berdampak bagi perekonomian secara menyeluruh. Karena sifat dasarnya kapitalisme adalah predator dan terkoneksi secara global, maka krisis yang terjadi di Amerika dengan cepat merembet dan memakan korban ke daratan Eropa, Australia, Asia dan belahan dunia lainnya, termasuk Indonesia.
Sepanjang tahun 2007 hingga 2008 Indonesia menghadapi situasi kenaikan harga bahan-bahan pangan secara pesat. Pada pertengahan 2007 rakyat Indonesia dipusingkan dengan melonjaknya harga minyak goreng yang kini telah mencapai Rp 15.000 per kg atau naik 43 persen dibandingkan harga periode yang sama tahun sebelumnya. Harga kedelai meningkat hampir 200 persen hingga kisaran Rp. 7.800 sampai 8000 per kg yang merupakan harga tertinggi sejak 24 tahun terakhir. Menyusul kenaikan harga bahan pangan lainnya seperti beras, jagung, gula, susu hingga daging.
Hal ini tentu sangat berat dampaknya terhadap kehidupan rakyat Indonesia, khususnya masyarakat miskin. Karena persentase pengeluaran terbesar rumah tangga miskin adalah untuk pangan, yaitu sekitar 50 hingga 70 persen dari total pengeluaran rumah tangga. Hal ini juga diperkuat dengan laporan yang dibuat ECONIT – sebuah lembaga pengkajian ekonomi politik di Jakarta, yang mengatakan bahwa pada kelompok masyarakat miskin 75 persen pengeluaran rumah tangga mereka untuk pangan sementara pada rumah tangga tidak miskin hanya 23 persen pengeluaran rumah tangga yang dialokasikan untuk pangan.
Demikian juga terjadi atas harga minyak di Indonesia. Kenaikan harga BBM menjadi pilihan kebijakan pemerintah . Langkah kenaikan harga BBM (premium, solar dan minyak tanah) di lakukan pemerintah pada mei 2008, tidak peduli dengan keberatan sebagian besar masyarakat. Betapa pentingnya, maka pemerintah mengumumkan melalui sepasukan menteri terkait seperti menteri keuangan, menteri ESDM, menteri perdagangan, menkokesra, mensos, serta beberapa orang lainnya seperti jubir presiden, direktur pertamina dan beberapa ahli dari departemen perekonomian.
Alasan utamanya adalah karena kenaikan harga minyak di Internasional tidak dapat dihindari, oleh karena itu pada level nasional harus ikut dinaikan dan memang harga BBM di Indonesia dianggap oleh pemerintah masih terlalu rendah. Secara resmi kenaikan BBM rata-rata sebesar 28,7%. SPI telah mencatat bahwa pemerintah yang dipimpin oleh SBY-JK telah tiga kali menaikan harga jual BBM, dengan kenaikan hampir 200%. Sementara resep bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp. 100.000 adalah bersifat sementara untuk memperlambat penderitaan rakyat.
Tentang krisis harga BBM
Mengenai kenaikan harga BBM ternyata ada variabel yang tidak dibuka secara jujur oleh pemerintah yakni adanya dokumen utang pemerintah Indonesia kepada Bank Dunia pada program energy and mining development, Loan No. 4712-IND mulai tahun 2003 hingga Desember 2008. Dimana program utang sebesar $ 141 juta USD, bertujuan untuk menghilangkan subsidi bahan bakar kepada rakyat. Tujuan dasarnya adalah menyerahkan semua urusan BBM kepada pasar.
Sebagaimana dapat disimak dalam rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004 – 2009, pemerintah sejak semula sudah merencanakan untuk menekan volume subsidi dari 6,7 persen Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2004, menjadi hanya 0,3 persen PDB pada 2009. Artinya, penghapusan subsidi BBM memang sudah direncanakan sejak lama.
Dalam rangka itu, sudah sejak jauh-jauh hari pula, melalui penerbitan UU No. 22/2001 tentang minyak dan gas bumi, pemerintah berupaya agar harga BBM secara legal diserahkan ke mekanisme pasar. Artinya kebijakan menaikan harga BBM bukan sekedar merespon situasi ekonomi global belaka. Namun tidak lepas dari sistem ekonomi neoliberal yang dipraktekan oleh para “mafia barkeley”. Dimana diseluruh sendi kehidupan masyarakat akan di liberalisasi, diprivatisasi dan dideregulasi untuk memenuhi kebutuhan mekanisme pasar untuk kepentingan pemodal. Hal ini juga terjadi pada kebijakan listrik, air dan pertanian. Khusus migas maka tidak aneh bila pada kenaikan BBM Oktober 2005 kemudian diikuti dengan dibukanya tempat pengisian bahan bakar milik perusahaan besar asing, seperti Shell dan Petronas di Indonesia. Padahal jelas dalam mandat UUD 1945 bahwa sebagai cabang produksi dikuasai negara untuk sebesarnya kemakmuran rakyat
Sekarang ini, seperti halnya turunnya harga bahan pangan pada level internasional, harga energi/minyak metah juga turun pada pasar dunia seiring ambruknya sektor finansial dan pelambatan ekonomi dunia tidak mampu menahan penkerutan tajam ekonomi dunia. Meskipun harga minyak mentah dunia yang sempat mencapai US$ 147 per barel pada tahun 2008, telah turun tajam menjadi berkisar US$ 30- US$ 45 per barel. Serta pemerintah telah mengembalikan harga BBM sebelum kenaikan Mei 2008, namun secara nasional harga kebutuhan pokok dan harga lainnya tidak dengan mudah ikut turun
Tentang krisis harga pangan
Krisis pangan yang terjadi saat ini bukanlah sesuatu yang terjadi tiba-tiba. Krisis ini berakar dari perjalanan panjang liberalisasi dan spekulasi pangan dan pertanian. Berkembangnya liberalisasi perdagangan termasuk di sektor pertanian didukung oleh Teori Keunggulan Komparatif yang dikemukakan oleh Adam Smith dan disempurnakan oleh Ricardo. Dasar pemikiran yang dipakai hingga hari ini ialah pandangan Smith yang mengatakan “ Jika sebuah negara dapat mensuplay kita dengan komoditi yang lebih murah maka lebih baik kita membeli dari mereka daripada memproduksi sendiri.” Akibat dari pengembangan ini ialah berkembangnya suatu sistem penjajahan baru yang dilakukan oleh negara-negara maju lewat perusahaan-perusaahaan besar yang didukung oleh lembaga internasional seperti WTO. Meluasnya dumping produk pangan dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang menyebabkan terjadinya ketergantungan terhadap impor pangan.
Di Indonesia sendiri tiga kredo Konsensus Washington, privatisasi, liberalisasi dan deregulasi semakin mendominasi kebijakan di Indonesia—terutama kebijakan terkait pangan dan pertanian. Paket kebijakan ini didorong oleh berbagai lembaga keuangan internasonal ini disebut sebagai paket kebijakan neoliberal. Menurut Sritua Arif, kebijakan neoliberal memiliki ciri-ciri yang mengusung semangat kredo Konsensus Washington, seperti meminimalkan atau menghilangkan intervensi pemerintah dalam berbagai sektor kehidupan rakyat, karena dianggap sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi.
Kapitalisme neoliberal yang bersendikan imperialisme Amerika dan negara-negara sekutunya, perusahaan-perusahaan transnasional dan dominasi dalam institusi-institusi keuangan internasional dan regional seperti Bank Dunia, Asian Development Bank, dan International Monetary Fund (IMF) serta World Trade Organisation (WTO) telah melahirkan penjajahan yang mendalam melalui kebijakannya. Sistem ini telah melanggengkan eksploitasi negara-negara maju terhadap negara-negara miskin dan berkembang terutama melalui kegiatan industri pertambangan, perkebunan, kehutanan, air, ketenagakerjaan serta pembayaran utang luar negeri. Berikut dijabarkan mengenai mekanisme kebijakan neoliberalisme yang berkembang pada sektor pangan dan pertanian di Indonesia.
Di tingkat nasional, apabila kita analisis kebijakan ekonomi politik pertanian di Indonesia sepanjang pemerintah SBY – JK sampai hari ini masih terus menjalankan prinsip-prinsip neoliberalisme, yaitu menjalan ketiga prinsip tersebut. Hal itu bisa di lihat pada Program Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kelautan (RPPK) yang di canangkan pemerintah pada prinsipnya adalah merupakan generasi terbaru Green Revolution yang di jalankan pada masa orde baru. Kemudian Perogram Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang di janjikan pemerintah tidak dijalankan sama sekali, sebaliknya lebih mengalokasikan tanah-tanah subur di tanah air untuk kepentingan modal besar melalui proyek-proyek perluasan agrofuel atau atas nama konservasi.
Di tingkat Internasional ketiga prinsip itulah kemudian berlansungnya spekulasi perdagangan hasil produksi pertanian. Sebut saja sebagai indikator misalnya pada tahun 2007 sektor finansial (pasar modal dan pasar perbankan) sudah 12 kali lebih besar dibandingkan dengan sektor riil (proxy GDP). Inilah yang kemudian disebut ekonomi balon (buble economic) pada tahun 2008 lalu.
Mengenai harga internasional yang meningkat tajam beberapa waktu lalu, menunjukan peran spekulasi yang tinggi selain pertumbuhan ekonomi dunia yang memerlukan banyak energi. Seperti negara di Asia, China, India dan beberapa negara amerika utara seperti Brasil dan tentu Amerika Serikat dan Eropah.
Titik balik krisis keuangan yang dipicu kredit perumahan berkualitas rendah (sub-prime mortgage) di AS kini menimpa sektor pertanian dan energi. Jika semula krisis keuangan beriringan dengan krisis energi dan krisis pangan yang ditandai meroketnya harga energi dan pangan, kini setelah berlalu hampir setahun harga energi dan pangan, terutama komoditas perkebunan, berguguran.
Ada kenyataan yang sangat berbeda antara krisis ekonomi sepuluh tahun lalu dengan krisis kapitalisme sekarang ini. Sepuluh tahun permintaan dunia dan harga komoditi masih relatif tinggi, sehingga pokok masalahnya adalah anjloknya nilai tukar rupiah. Kondisi seperti itu menguntungkan beberapa perusahaan eksportir dan sedikit petani komoditas diluar pulau jawa. Mereka justru mendapatkan Windfall (untung mendadak) karena pendapatan mereka dalam rupiah meningkat. Tetapi saat ini berbeda, permintaan dunia dan harga komoditi justru turun merosot tajam karena adanya resesi keuangan. Akibatnya walau rupiah telah merosot dari Rp. 9.000 menjadi Rp. 12.000 per dollar AS tetapi tidak banyak membantu penurunan pendapatan pengekspor dan petani komoditas
Tentang krisis kapitalisme
Pemutusan hubungan kerja semakin menyebar ke seluruh dunia disebabkan oleh deindustrialisasi dan turunnya daya serap produksi. Jumlah ekspor yang menurun tidak hanya karena turunnya permintaan tetapi juga aksi setiap negara untuk mengetatkan impor untuk menyelamatkan ekonomi negaranya masing-masing. Aliran pelarian modal semakin besar karena investor asing ingin menyelamatkan kebutuhan likuiditas di negara asalnya. Depresiasi mata uang, krisis nilai tukar, dan tekanan inflasi memperbesar efek krisis yang dirasakan negara-negara berkembang.
Jika pada tahun 80-an dan 90-an krisis terjadi terutama di negara-negara Selatan, krisis tahun 2008 justeru berpusat di Amerika Serikat dan segera menjalar Eropa. Namun dengan format ekonomi-politik saat ini, negara dunia ketiga justeru telah menanggung biaya krisis (cost of crisis) yang sangat berat. Pemulihan krisis di negara pusat kapitalisme, kini menjadi beban yang tidak terhindarkan bagi negara-negara miskin.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada bulan oktober 2008 mengeluarkan rilis bahwa jumlah pengganguran akan meningkat setidaknya hingga akhir tahun 2009 akan mencapai 210 juta orang. Artinya dalam dua tahun sejak 2007 akan tercipta penganguran baru sebanyak 20 juta orang, menyusul yang 190 juta yang sebelumnya sudah menganggur. Kalau mau detail lagi akan ada 834.000 penggangguran baru per bulan atau 27.397 orang per hari.
Krisis ini begitu dasyatnya sehingga perusahaan besar seperti Lehman Brothers yang berdiri sejak tahun 1800-an saja keok alias bangkrut, demikian juga General Motor sebagai raksasa otomotof dari AS yang berniat bangkrut berbasib baik diselamatkan oleh pemerintah AS. Sementara itu pabrikan otomotif asal AS lainnya Chrysler sudah memecat tenaga kerjanya sebanyak 5.000 orang dan Citigroup mem-PHK sebanyak 50.000 pegawainya. Adapun perusahaan securitas Merrill Lynch setelah diakuisisi Bank of America Corp senilai US$50 miliar terancam juga memecat 10.000 pegawainya.
Bagaimana di Indonesia? Menurut tim monitoring dampak krisis Depnakertrans per 28 Nopember 2008 ini saja sudah ada 16. 988 orang yang di PHK dan 23.927 orang yang akan di PHK. Sementara itu terdapat 6.597 orang yang sudah dirumahkan dan 19.091 orang yang akan dirumahkan. Kemudian membengkak per maret 2009 menjadi 37.909 orang yang terkena PHK. Data tersebut menurut versi resmi pemerintah, namun data Apindo daerah menyatakan, sampai Maret sudah ada 240.000 orang yang kena PHK. Repotnya, itu terjadi pada sektor-sektor usaha yang penting dan bersifat padat karya, seperti tekstil dan garmen sebanyak 100.000 orang, sepatu (14.000), mobil dan komponen (40.000), konstruksi (30.000), kelapa sawit (50.000), serta pulp and paper (3.500). belum lagi sduah dipastikan akan ada 100 ribu buruh migran Indonesia akan dipulangkan dari Malaysia akibat bangkrutnya industri manufaktur disana. Sebagian besar buruh migran tersebut berasal dari pedesaan Jawa, Nusa Tenggara dan Sumatra.
Akibat pastinya atas situasi krisis ini adalah daya beli masyarakat akan semakin rendah, dengan daya beli masyrakat rendah artinya perputaran ekonomi akan melambat terutama disektor riil. Dengan demikian rentetan berikutnya adalah makin mendalamnya kesusahan rakyat miskin.
Bila tidak ada tindakan yang nyata dan dikelola dengan bijak oleh negara maka tidak mustahil ke depan berbagai kerusuhan sosial dan politik akan terjadi terkait perebutan sumber-sumber alam seperti air, pertambangan dan pangan/pertanian. Hal ini senada dengan isi laporan Dewan Intelijen Nasional (NIC): ke depan, potensi konflik akan terjadi akibat perebutan sumber kekayaan alam dan buah dari terbentuknya kekuatan multipolar, yakni AS, India, Rusia, China, Eropa, dan Indonesia juga disebut-sebut ada di dalamnya.
Apa yang kemudian dilakukan oleh pemerintah Amerika di bawah pimpinan Barack Obama, adalah memberikan paket stimulus fiskal sebesar US$900 miliar. Hal ini kemudian menjadi tren kebijakan dihampir seluruh dunia saat ini. Yang tentu kemudian membuat komitmen negara-negara yang tergabung dalam G-20 adalah membuat paket stimulus ekonomi sebagai agenda dan kebijakan penangulangan krisis secara global. Prinsip dasarnya adalah bagaimana melakukan reformasi struktural perekonomian dunia yang berlandaskan pasar. Dengan mendorong investasi dan perdagangan bebas, serta meningkatkan peran lembaga keuangan internasional (IMF, WB, ADB dll) guna meningkatkan utang bagi negara yang terkena krisis.
Hal ini makin nyata dengan adanya berbagai komitmen utang baru dari ADB, IDB dan Bank Dunia serta pemerintah jepang dan Australia, dalam berbagai mekanisme dan program.
Di Indonesia DPR telah menyetujui pemberian stimulus fiskal sebasar Rp 73,3 triliun.
Kita simak peruntukkannya yakni terdiri dari stimulus perpajakan Rp 56,3 triliun melalui penurunan tarif PPh, PPN dan BM DTP, PPh pasal 21, PPh pasal 25, serta fasilitas pajak lainnya.Untuk stimulus belanja Rp 17 triliun terdiri dari infrastruktur Rp 12,2 triliun dan Rp 4,8 triliun untuk subsisi langsung dan energi.
Artinya sebagian besar stimulus fiskal (80%-an) adalah tax saving, bukan program belanja langsung pemerintah yang mendorong bergeraknya ekonomi dalam negeri. Tetapi lebih kepada pengurangan potensi penerimaan pemerintah. Porsi tax saving maupun subsidi pajak dan bea masuk yang sangat besar menunjukan keberpihakan pemerintah yang lebih besar kepada kelompok masyarakat kaya daripada rakyat miskin.seharusnya anggaran tersebut didorong untuk digunakan bagi pelaksanaan reforma agraria, serta meningkatkan belanja langsung pemerintah. Bukan sebaliknya justru untuk mempertebal kekayaan pengusaha dan pemotongan tarif barang impor dari luar negeri ketimbang menyerap hasil produksi dalam negeri.
Nyatalah bahwa inti dari paket stimulus fiskal yang dimotori dari Amerika sana hanyalah salah satu strategi menyelamatkan diri dari neoliberalisme dengan memakan korban negara-negara miskin. Fenomena Barack Obama membawa perubahan hanya menguntungkan sebagian kecil perusahaan-perusahaan besar dan negara-negara kaya saja.
Membangun ekonomi nasional sesuai mandat konstitusi
Praktek neoliberal tidak hanya terbukti telah gagal, tetapi juga telah memperlebar jurang kemiskinan karena kemakmuran hanya terpusat pada segelintir orang. Dalam konteks Indonesia, Saatnya beralih pada gagasan alternatif bagi sistem politik-ekonomi global yang konsisten pada nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, nasionalisme, gotong-royong, dan keadilan sosial.
Kegiatan ekonomi yang dilakukan ke depan seharusnya adalah rencana dari terwujudnya keadilan ekonomi bagi rakyat Indonesia. Dan jalan menuju keadilan ekonomi tersebut adalah aturan main tentang hubungan ekonomi yang didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi yang tercantum dalam konstitusi. Konsepsi ini sudah jauh hari diperkenalkan sebagai dasar berdirinya demokrasi ekonomi sebagaimana terangkum dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945: “dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.”
Keinginan untuk meraih kemandirian dan kedaulatan ekonomi seharusnya diartikan sebagai impian untuk melepaskan ekonomi Indonesia dari jeratan dan ketergantungan asing, baik oleh negara asing maupun korporasi transnasional. Sebagaimana kita tahu untuk menuju kemandirian ekonomi tersebut, Indonesia harus mampu mewujudkan kedaulatan di bidang keuangan, pangan, maupun energi.
Krisis finansial global saat ini adalah suatu bukti bahwa sistem ekonomi kapitalisme yang membiarkan pasar mengatur dirinya sendiri hanya dipakai oleh kelompok pemodal untuk terus memperkaya dirinya sendiri melalui kegiatan-kegiatan spekulasi. Sebagai contoh konkrit dalam pertanian adalah meletakkan perusahaan agribisnis terlebih agribisnis transnasional menjadi pemain utama di sektor pertanian serta perkebunan merupakan sebuah kesalahan yang sangat fatal. Terlebih meletakkan sektor riil produk pertanian menjadi ajang spekulasi di bursa saham (stock exchange) membuat petani tidak mempunyai jaminan dan kepastian harga yang memadai. Untuk itu harus segera digelorakan jalan konstitusi untuk menyelamatkan bangsa dari krisis kapitalisme yang terjadi dengan cara dibawah ini;
Pertama, Untuk mengatasi krisis harga pangan maka jalan rakyat berupa kedaulatan pangan menjadi pilihan utama. Kedaulatan pangan membawa sebuah pesan yang sangat jelas bahwa yang hendak dicapai oleh konsep ini ialah ekonomi rakyat/kaum tani yang berdaulat agar kaum tani dapat hidup bermartabat. Mengutamakan produksi lokal yang berdasarkan pada ekonomi rakyat dan orientasi lokal atau nasional sangat penting sebagai landasan pembangunan dibandingkan dengan orientasi internasional. kedaulatan pangan akan tercapai bila syarat dasarnya terpenuhi, yaitu;
Strategi untuk menciptakan stabilitas dan keadilan harga bagi produk pertanian dan perkebunan di Indonesia harus didasari dengan pembaruan agraria mengingat timpangnya penguasaan sumber-sumber agraria dari hulu hingga hilir yang cenderung dikuasai oleh perusahaan-perusahaan agribisnis dan perkebunan swasta baik nasional maupun multinasional. Hal ini juga merupakan langkah memujudkan kedaulatan pangan.
Hentikan perluasan perkebunan non pangan oleh perusahaan dan orientasi eksport, sebaliknya pemerintah harus mendorong pertanian pangan berbasis keluarga dan orientansi pemenuhan kebutuhan lokal dan nasional. Dengan demikian memberikan insentif bagi petani pangan, terutama yang melaksanakan pertanian berkelanjutan; dan dengan itu menghentikan subsidi bagi usaha pertanian yang tidak berkelanjutan (pertanian korporasi dan monokultur). Kemudian segera bangun lumbung-lumbung pangan .
Kedua, terkait krisis energi beberapa langkah konkrit yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah, kebijakan penghematan energi dengan pajak tinggi bagi kalangan yang menggunakan energi yang besar. Mendorong kembali rakyat pedesaan yang kembali menjadi penghasil energi, yang akibat dari sistem neoliberalis menjadi konsumen energi. Pergunakan secara maksimal teknologi energi yang merakyat, murah dan massal seperti tenaga air, angin, matahari, gelombang laut dan biogas. Memastikan terpenuhinya kebutuhan nasional sebelum adanya eksport minyak. Kemudian pemerintah harus segera mereview atas Kontrak Karya Pertambangan terutama perusahaan migas asing yang selama ini tidak menguntungkan kepetingan dalam negeri.
Ketiga, Kegiatan ekonomi yang dilakukan ke depan seharusnya adalah rencana dari terwujudnya keadilan ekonomi bagi rakyat Indonesia. Dan jalan menuju keadilan ekonomi tersebut adalah aturan main tentang hubungan ekonomi yang didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi yang tercantum dalam konstitusi. Konsepsi ini sudah jauh hari diperkenalkan sebagai dasar berdirinya demokrasi ekonomi sebagaimana terangkum dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945: “dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi”. Penguasaan aset-aset strategis oleh negara lewat BUMN sangat penting bagi Indonesia. Karena ketika krisis kembali terjadi yang bisa diandalkan pemerintah untuk menyelamatkan ekonomi nasional hanyalah perusahaan-perusahaan BUMN tersebut. Langkah tersebut sesuai dengan amanat konstitusi mengenai pasal-pasal ekonomi yakni bumi dan air dan kekayaan harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam momentum krisis kapitalisme saat ini, wacana dan praktek tersebut wajib disuarakan luas. Kerja sama yang lebih luas juga diperlukan dalam konteks pemikiran ekonomi-politik alternatif, terutama yang sesuai dengan kondisi bangsa ini. Keseluruhannya adalah dalam rangka koreksi total sistem ekonomi-politik pasca krisis kapitalisme global, menuju dunia yang lebih berkeadilan.
Disamping itu sejumlah strategi jangka pendek perlu untuk terus dibangun. Petani Indonesia tidak bisa terus menerus menjadi buruh penghasil bahan mentah bagi keuntungan para pemilik modal. Petani perlu mengambil kembali posisinya yang sangat penting dengan mengubah ekonomi berbasis modal dan persaingan (capital driven economy) menjadi ekonomi berbasis solidaritas masyarakat (people driven economy). Menghidupkan koperasi-koperasi tani untuk meningkatkan posisi tawar petani, serta membangun industri pengolahan pasca produksi yang dimiliki petani yang juga memiliki peranan penting dalam proses pembangunan pedesaan.
Cimanggis, Depok, Jawa Barat, 13 Maret 2009.
Ditetapkan oleh Rapat Pleno Dewan Pengurus Pusat (DPP)
Serikat Petani Indonesia (SPI)