World Social Forum (WSF) secara historis merupakan forum gerakan sosial untuk menyikapi isu-isu yang mengemuka di dunia. Secara pararel, WSF yang merupakan open space kerakyatan juga selalu vis-a-vis dengan World Economic Forum (WEF) yang dilaksanakan di resor ski mewah di kota Davos, Swiss. Dengan ini, semangat WSF sesungguhnya merupakan bentuk perlawanan rakyat global terhadap kebijakan dan praktek neokolonialisme-imperialisme yang dikontrol oleh korporasi-korporasi besar multinasional.
Di seluruh dunia pada hari yang sama, jutaan rakyat, organisasi, jaringan dan gerakan mengadakan aksi untuk menunjukkan bahwa “another world is possible”, dunia yang berbeda, dunia yang berkeadilan sangat mungkin diwujudkan. Dunia tanpa kemiskinan, pengangguran, kebodohan dan ketidaksetaraan. Inilah semangat yang diusung oleh gerakan rakyat dalam melawan kebijakan neoliberalisme yang membunuh, dengan kredo Konsensus Washington: privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi.
Dampak buruk praktek kebijakan neoliberal
Dampak mengerikan yang paling nyata dari praktek kebijakan neoliberal di negeri ini adalah pada bidang pangan dan pertanian. Hampir semua produk pertanian diimpor. Beras, kacang kedelai, gula, susu, buah-buahan sejak lama menjadi komoditas impor yang telah membunuh jutaan petani di dalam negeri. Negeri agraris yang gemah ripah loh jinawi ini tak bisa memenuhi kebutuhan pangan?kebutuhan paling pokok rakyat. Impor tiap tahun terus meningkat, seperti beras (2006 sebesar 840 ribu ton, 2007 sebesar 1,5 juta ton) dan kedelai (2006 sebesar 1.2 juta ton, 2007 sebesar 1.5 juta ton). Akibat kebijakan liberalisasi dan privatisasi pangan ini, kaum tani semakin menderita karena didera murahnya banjir komoditas impor, sehingga pasar dan harga domestik kita pun hancur.
Selanjutnya, ikan kita dicuri oleh kapal-kapal asing yang nilainya diperkirakan antara 3 sampai 4 milyar dollar AS. Pasir kita dicuri dengan nilai yang minimal sekitar 3 milyar dollar AS. Hasil perikanan dan kelautan kita pun dikeruk untuk diekspor ke negara-negara kaya, macam Singapura, Jepang, Korea, Cina, Uni Eropa dan bahkan AS.
Di ranah lingkungan, negara kita yang dikaruniai hutan yang demikian luas dan lebatnya, negara produsen eksportir kayu terbesar di dunia, dihadapkan pada hutan-hutan yang gundul dan dana reboisasi yang praktis nihil karena dikorup. Sudahpun gundul, masih saja terjadi penebangan liar yang diselundupkan ke luar negeri dengan nilai sekitar 2 milyar dollar AS. Sumber daya mineral kita dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab dengan manfaat terbesar jatuh pada kontraktor asing dan kroni Indonesianya secara individual. Rakyat yang adalah pemilik dari bumi, air dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tetap berkubang dalam kemiskinan dan keterbelakangan.
Di ranah industri, yang kita banggakan hanyalah industri manufaktur yang sifatnya industri tukang jahit dan perakitan yang bekerja atas upah kerja dari para majikan asing dengan laba yang berlipat-lipat ganda. Sementara mereka menikmati kekayaan itu, para buruh di Indonesia tetap hidup dalam ketertindasan karena upah murah. Saat ini hampir seluruh dari pertumbuhan ekonomi di negeri ini tunduk atas modal privat dan asing, jumlahnya hingga 74 persen dari total investasi di Indonesia.
Dalam konteks ini, iklim liberalisasi dan privatisasi di Indonesia tentu sudah mencapai batas yang mengkhawatirkan, sehingga tak lagi menjamin hak-hak konstitusi rakyat. Bahkan modal asing dibiarkan menggurita: Hak Guna Usaha (HGU) diperpanjang menjadi 95 tahun untuk mengeruk hasil bumi kita, cabang-cabang produksi yang seharusnya dikuasai negara dan digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat dibuka untuk diprivatisasi seperti pendidikan dan kesehatan. Hal ini termaktub dalam cengkraman neoliberalisme yang paling mutakhir: privatisasi, liberalisasi dan deregulasi yang ada di dalam UU Penanaman Modal (UU No. 25/2007). Ini jelas merupakan capital violence yang berwujud menjadi judicial violence, yang menihilkan Hak Asasi Manusia, hak-hak konstitusi rakyat.
Inilah negara besar bernama Indonesia. Bahkan menjelang satu abad kebangkitan nasional, tetap terpuruk dalam jurang nista penjajahan ekonomi. Lembaga-lembaga keuangan internasional (IMF, Bank Dunia, ADB, JBIC) telah berperan membangkrutkan negeri ini dengan utang yang begitu besar. Hingga saat ini, jumlah utang luar negeri pemerintah mencapai lebih dari Rp 1.500 trilyun. Dengan rata-rata pembayaran utang cicilan pokok dan bungan utang setiap tahunnya berjumlah Rp 150 trilyun. Pembayaran utang tersebut telah mengorbankan alokasi anggaran negara untuk pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, dan pekerjaan.
Resultan dari proses ini juga berakibat pada ketidakadilan gender yang menyebabkan ketidaksetaraan, beban ganda, kekerasan, diskriminasi, stereotyping dan marginalisasi perempuan. Sebuah situasi yang sehari-hari dihadapi oleh perempuan dalam menghadapi perekonomian yang makin menyulitkan keberlanjutan kehidupan perempuan dan keluarganya.
Perjuangan rakyat
Tetapi, rakyat Indonesia memilih untuk bangkit. Membangun optimisme untuk kehidupan yang lebih baik. Membuka peta jalan baru bagi terwujudnya keadilan sosial, sebagai amanat suci konstitusi. Melawan ketidakadilan ekonomi-politik yang disebabkan oleh pemodal dan segelintir orang: korporasi transnasional seperti Chevron, Caltex, Freeport, Newmont, Cargill, Mosanto, Nestle, dan ratusan lainnya?yang tanpa ampun mengangkangi kedaulatan rakyat dan terus menguras kekayaan alam negeri ini.
Hari ini, rakyat tertindas di seluruh dunia menyerukan kata yang sama. Melawan ketidakadilan global dan menyerukan perubahan tata kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan ekologi baru. Melawan dominasi praktek neoliberalisme yang melestarikan penjajahan yang mewariskan kemiskinan, pengangguran, kebodohan, dan ketidaksetaraan.
Sebagai bagian dari gerakan dunia tersebut, kami gerakan rakyat di Indonesia yang terdiri dari ormas petani, buruh, nelayan, miskin kota, perempuan, aktivis HAM, gerakan anti utang dan gerakan lingkungan yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Lawan Neokolonialisme – Neoimperialisme (GERAK LAWAN), mendesak kepada pemerintah Indonesia untuk:
Jakarta, 26 Januari 2008
Gerak Lawan (Gerakan Rakyat Lawan Neokolonialisme-Imperialisme), yang terdiri dari: Serikat Petani Indonesia (SPI), Serikat Buruh Indonesia (SBI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Sarekat Hijau Indonesia (SHI), Koalisi Anti Utang (KAU), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Solidaritas Perempuan (SP), Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Institute for Global Justice (IGJ), Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Komite Mahasiswa Anti Imperialisme (KM-AI), Solidaritas Anak Jalanan Untuk Demokrasi (SALUD)