Konferensi Asia-Afrika (KAA) selain progresif, juga mewakili populasi rakyat yang maju sekaligus kompleks. Jika kita melihat sejarah, perjuangan petani, buruh, dan hak asasi di kawasan ini sangat masif.
Ada potensi kerja sama kedaulatan pangan yang bisa ditindaklanjuti di KAA. Fondasi semangat Asia-Afrika telah didirikan pada KAA dan dibangun dalam beragam inisiatif global dan regional yang mengangkat martabat manusia dan penemuan kesetaraan dalam kerja sama antarbangsa.
Penguyuban demi adu kekuatan dijawab dengan solidaritas serta upaya riil dalam penguatan kedaulatan dari bangsa-bangsa yang baru merdeka. Begitu pun ketika Perang Dingin berakhir. Semangat Asia-Afrika mendapatkan momentum dalam mengartikan kerja sama antarbangsa sebagai penguatan negara dalam mengembangkan masyarakat dunia yang lebih adil dan damai.
Contoh konkret solidaritas ini terwujud di mekanisme hak asasi manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Inisiatif deklarasi hak asasi petani telah maju karena dukungan negara-negara Asia-Afrika. Dua kali resolusi, negara-negara Asia-Afrika bersama dengan Amerika Latin solid mendorong pengakuan dan perlindungan hak-hak petani.
Namun, tak melulu success story, kawasan Asia-Afrika juga masih menyimpan banyak masalah. Salah satunya adalah ketimpangan.
Dari 1990 ke 2010, rata-rata tingkat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) negara-negara berkembang Asia telah mencapai 7 persen atau lebih dari dua kali lipat dari 3,4 persen pertumbuhan di Amerika Latin dan Karibia. Pertumbuhan ini utamanya didorong Tiongkok dan India. Dua negara dengan populasi terbesar di dunia—dengan pertumbuhan PDB per tahun masing-masing 9,9 persen dan 6,4 persen. Pertumbuhan diperkirakan telah mengangkat 700 juta orang dari kemiskinan. Tujuh belas negara berhasil mengurangi lebih dari 15 persen tingkat kemiskinan.
Namun, pertumbuhan ekonomi juga diikuti peningkatan ketimpangan di banyak negara. Koefisien gini pengeluaran per kapita memburuk di 12 negara, termasuk Tiongkok, India, dan Indonesia. Mulai awal 1990-an hingga akhir 2000-an, koefisien gini meningkat dari 32 ke 43 di Tiongkok, dari 33 ke 37 di India, dan dari 29 ke 39 di Indonesia.
Meskipun tingkat ketimpangan di Asia secara umum berada di bawah rata-rata kawasan lain, pertumbuhan koefisien gini Asia berkisar 28-51, dibandingkan dengan 30-66 di Afrika dan 45-60 di Amerika Latin dan Karibia.
Ketimpangan ini terutama diderita petani dan masyarakat yang bekerja di pedesaan. Dari 1 miliar orang yang menderita kemiskinan ekstrem di dunia, 75 persen tinggal dan bekerja di daerah pedesaan. Situasi ini diperparah krisis pangan global pada 2008 dan 2009. Hari ini, 50 persen penduduk dunia yang kelaparan adalah petani kecil yang bergantung keseluruhan atau sebagian pada pertanian untuk mata pencaharian mereka.
Dalam kerangka inilah kedaulatan pangan dan hak asasi petani menjadi penting. Di atas telah disebutkan, negara-negara Asia-Afrika telah mendukung deklarasi hak asasi petani di PBB.
Untuk kedaulatan pangan, paradigma ini adalah yang paling progresif dan bahkan dihasilkan gerakan petani dunia La Via Campesina (1996). Di Indonesia, kedaulatan pangan telah termaktub dalam UU Pangan serta secara eksplisit menjadi misi Nawacita pemerintahan Jokowi. Sementara itu, kedaulatan pangan juga banyak diejawantahkan pemerintahan progresif di beberapa negara Asia dan Afrika. Rakyatnya? Jangan ditanya. Kedaulatan pangan muncul dari gerakan rakyat—ratusan organisasi rakyat yang membentuk La Via Campesina mayoritas berasal dari dua benua yang kental sejarah penjajahannya ini.
Untuk itu, inisiatif fungsional dan konkret kedaulatan pangan jangan lupa didorong Jokowi. Momentum ini tak datang sering-sering. Indonesia sudah memulai upaya redistribusi sumber daya agraria: tanah, air, dan benih. Indonesia akan terus berusaha memenuhi kebutuhan lokal pangannya sendiri secara berkelanjutan. Indonesia sudah punya kebijakan publik untuk melindungi hak asasi petaninya.
Skala ini harus diperbesar di tingkat Asia dan Afrika. Ingat, dua benua ini bisa dikatakan punya tanda merah dalam pemenuhan hak atas pangan rakyatnya. Kedaulatan pangan jelas relevan. Misi Nawacita Jokowi juga relevan, apalagi pemenuhan pangan tak hanya dari darat—juga dari laut di kawasan Asia-Afrika.
Menurut van der Plog, seorang profesor Universitas Wageningen, belum pernah dalam sejarah jumlah petani sebesar saat ini. La Via Campesina menyetor angka petani kecil sebanyak 2,2 miliar jiwa di seluruh dunia. Mayoritas ada di Asia dan Afrika. Agenda kedaulatan pangan harus menjadi poin penting solidaritas dan tindak lanjut dalam forum mulia Asia Afrika nanti.
*Penulis adalah Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, artikel ini juga telah diterbitkan di Harian Sinar Harapan edisi 22 April 2015