JAKARTA. Badan Musyawarah Tani dan Nelayan Indonesia (BAMUSTANI) yang terdiri atas Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Petani Indonesia (API), Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (Wamti), Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI) dan Serikat Nelayan Indonesia (SNI) menolak UU Cipta Kerja. Hal ini ditegaskan dalam sebuah diskusi publik daring bertajuk “UU Cipta Kerja dan Masa Depan Kedaulatan Pangan di Indonesia,” pada Jum’at (23/10).
Agus Ruli Ardiansyah, memaparkan, UU Cipta Kerja banyak merombak UU yang sudah ada, khususnya UU yang diusulkan oleh para petani.
“Jadi UU Ini lebih memberikan karpet merah pada investor dibanding upaya untuk melindungi petani Indonesia, khususnya dalam kemudahan izin dan penguasaan sumber-sumber agraria di Indonesia,” katanya.
Agus Ruli melanjutkan, UU Cipta Kerja juga bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Yaitu putusan MK tentang UU Perkebunan di pasal 30 tentang pemuliaan varietas tanaman tidak berlaku bagi petani kecil dalam negeri dan komunitas sendiri. Dalam UU cipta Kerja ini justru dikuatkan,” tegasnya.
“Kami juga mencatat terdapat beberapa undang-undang yang diubah dalam UU Cipta Kerja seperti UU No.19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani: larangan impor yang sebelumnya ketat (dengan memperhitungkan konsumsi dan cadangan dalam negeri, termasuk juga situasi pertanian dalam negeri) dihilangkan. Impor menjadi dibebaskan,” sambungnya.
Muhammad Nuruddin, Sekjen API melanjutkan, UU Cipta Kerja mengabaikan konversi lahan pertanian yang saat ini cukup serius. UU Cipta Kerja mengubah pasal 44 ayat (2) UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan berkelanjutan, dimana penambahan frasa ‘Proyek Strategis Nasional’.
“Dibentuknya bank tanah menjadikan tanah sebagai objek ekonomi saja. Kebijakan ini sangat liberal. Dicantumkannya reforma agraria dalam Bank tanah merupakan bentuk de-reforma agraria,” ungkapnya.
Nuruddin meneruskan, tanah hanya dilihat sebagai komoditas ekonomi, bukan fungsi sosial. Hanya ekonomi yang menjadi tumpuan. Konstruksi bank tanah justru akan mempermudah investor untuk mendapatkan tanah demi kepentingan investasi di berbagai sektor.
“Ini memudahkan pelepasan tanah-tanah negara, yang seharusnya digunakan untuk mengatasi ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia,” katanya.
Kustiwa Adinata dari IPPHTI melanjutkan, UU Cipta Kerja melonggarkan ketentuan terkait impor benih dari luar untuk kepentingan komersil.
“Padahal terkait hal ini petani kita sudah memiliki kemampuan baik itu kearifan lokal maupun kapasitas untuk membudidayakan benih. Kita juga sudah memenangkan di MK mengenai hak petani untuk menangkarkan dan melakukan pemuliaan benih untuk komunitasnya sendiri. Namun kemenangan di MK tersebut jadi tidak berlaku dengan ketentuan yang diatur dalam UU Cipta Kerja,” paparnya.
Kustiwa menegaskan, pemerintah seperti tidak sadar bahwa UU yang sudah digulirkan ikut memproteksi dan memuluskan rencana-rencana mandiri benih yang dipromosikan oleh pemerintah. UU Cipta kerja justru menyulitkan hal itu tercapai.
“Padahal petani seharusnya menjadi subyek utama dari pembangunan,” imbuhnya.
Wawan Sugiarto, Ketua WAMTI Indramayu menerangkan, UU Cipta Kerja mengatur terkait bibit transgenik sehingga sekarang lebih leluasa masuk dan mengancam petani pemulia benih.
“Di sektor hilir, petani dengan sarana produksi yang terbatas tidak mendapatkan jaminan perlindungan harga dan akan berpotensi semakin sulit, mengingat impor diperlunak,” katanya.
Budi Laksana, Sekjen SNI memaparkan, UU Cipta Kerja membatalkan ketentuan UU 45/2009 tentang Perikanan dan UU 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.
“Sebelumnya nelayan kecil menjadi prioritas dalam pemberdayaan dan keleluasaan para nelayan kecil untuk mengakses sumber daya perikanan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun UU Cipta Kerja mengubahnya,” kata Budi.
“Dari izin-izin yang ada seperti Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), RUU Cipta Kerja menyederhanakannya menjadi satu izin, yaitu cukup izin berusaha. Kemudian untuk pengurusan perizinannya terpusat di Jakarta. Dengan luasnya wilayah Indonesia dan izin yang sama diberlakukan juga bagi nelayan kecil, maka akan terjadi petarungan yang tidak sehat antara korporasi dengan nelayan kecil,” katanya .
Dalam kesempatan yang sama, Dewi Kartika, Sekjen KPA menyampaikan, sejak awal pembahasannya, UU ini sudah cacat.
“UU Cipta Kerja menabrak Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 Tahun 1960,” tegasnya.
“Dari banyak versi UU ini yang ada, semuanya sama, isinya semakin memiskinkan petani,” lanjutnya.
Gunawan, Penasihat Senior Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) menambahkan, UU Cipta Kerja mendiskriminasi petani dan masyarakat yang bekerja di perdesaan.
“Mari kita semua ormas tani dan nelayan dan masyarakat perdesaan bersatu, bersama kita melakukan uji-formil di MK, maksimal 45 hari setelah nomor UU keluar,” tutupnya.