PURWOKERTO. Karena Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi sikap gotong royong, lumbung pangan masyarakat sudah menjadi tradisi. Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih dalam seminar nasional dan FGD yang dilaksanakan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi bersama Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) di gedung UNSOED di Purwokerto, Kamis (26/11).
Dalam seminar nasional yang bertemakan “Strategi Implementasi Desa Mandiri Berbasus Sumber Daya Alam dan Penerapan Teknologi Tepat Guna” tersebut, Henry menggarisbawahi, krisis pangan bukan hanya terjadi di perdesaan Indonesia saja tapi juga di perdesaan seluruh dunia. Ini terjadi karena produksi pangan tidak dipegang oleh keluarga-keluarga petani.
“Pertanian dibangun bukan memberi makanan manusia, sekarang untuk kepentingan energi. Siklus ini harus diputuskan. Di Denmark contohnya, terdapat industri peternakan babi terbesar di dunia, akan tetapi pakan jagungnya didatangkan dari Amerika Latin. Di Swiss asparagus diimpor dari Meksiko. El nino diakibatkan oleh hutan amazon yang ditebang, kemudian mempengaruhi pemanasan di Samudera Pasifik yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan secara alami,” papar Henry.
Oleh karena itu menurut Henry, selain menerapkan pertanian agroekologi yang ramah lingkungan yang dilaksanakan oleh keluarga petani kecil, perlu juga memberdayakan lumbung pangan tradisional.
“Di ranah Minang ada rangkiang, Leuit di bumi parahyangan, lebak lebung sebagai lumbung ikan di tanah sriwijaya, dan banyak kearifan lokal lainnya di nusantara. Rangkiang dan leuit bisa diaplikasikan secara nasional, sehingga ketika kekeringan akibat el nino dan gagal panen datang, kita petani punya cadangan pangan,” ungkap Henry.
Henry menegaskan, saat ini lumbung pangan masyarakat umumnya sudah tidak berjalan lagi, padahal lumbung pangan masyarakat masih dibutuhkan. Oleh karena itu menurutnya, prinsip-prinsip yang ada di rangkiang (dan lumbung pangan tradisional nusantara lainnya) ini bisa dijalankan dalam kelembagaan ekonomi yang baru yang mengelola lumbung pangan.
“Kelembagaan ekonomi dapat berupa koperasi, badan usaha milik desa dan usaha-usaha bersama,” tutur Henry.
Henry menambahkan, sesuai dengan Undang-Undang (UU) No. 18 tahun 2013 tentang pangan pada pasal 33 ayat 1 tercantum, bahwa masyarakat mempunyai hak dan kesempatan seluas-luasnya dalam upaya mewujudkan cadangan pangan masyarakat.
“Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi pengembangan cadangan pangan masyarakat sesuai dengan kearifan lokal. Itu kata pasal 33 ayat 2 UU Pangan No. 18 tahun 2013, jadi dasar hukumnya sudah ada,” tambah Henry.
Perlu Penggalakan kembali gerakan Lumbung Pangan yang sdh ditinggal oleh kebanyakan pelaku budidaya pangan mandiri/masyarakat