Berita Foto: Menuntut Keadilan Agraria, Dari Manggarai Menuju Jakarta

 

JAKARTA. Hubertus Ngabur (60 tahun), Elias Bus (51 tahun), Mikel Bambor (65 tahun), dan Yohanis Rabu (72 tahun) adalah para petani anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) asal Desa Ruang, Kampung Herokoe, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang rela meninggalkan sanak keluarganya di kampung untuk pergi ke Jakarta, demi menuntut keadilan kepada pemerintah. Mereka menuntut keadilan atas konflik agraria yang telah mengusir mereka dan masyarakat lainnya dari tanah leluhurnya. Hubertus, Elias dan Mikel adalah tiga orang dari total sembilan orang korban konflik agraria yang terjadi pada, 13 April 2011. Insiden yang terjadi setahun yang lalu ini juga telah menewaskan Mathias Jemila (Tua Gendang-Ketua Adat) dan Petrus Jamali.

Hubertus menyebutkan bahwa dirinya kehilangan dua buah jari tangannya, dua buah jahitan di kepala dan 35 jahitan di punggungnya akibat serangan tidak tertuga dari oknum yang tidak bertanggung jawab.

“Pada saat upacara adat, mereka tiba-tiba datang dan menyerang kami dengan parang dan tombak, akhirnya Bapak Mathias Jemila dan anaknya Petrus Jamali tewas dengan kondisi yang sangat mengenaskan,” ungkapnya di kantor Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI, di Jakarta (15/04).

Martinus Sinani, Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI NTT menegaskan bahwa dua dari tujuh pelaku penyerangan telah dihukum penjara selama 14 tahun, sedangkan sisanya masih menghirup udara kebebasan.

“Tujuan kami ke Jakarta adalah untuk mendesak Kementerian Kehutanan segera menyelesaikan konflik di daerah kami dan juga meminta pihak kepolisian untuk menangkap sisa penyerang yang sampai saat ini belum tersentuh hukum. Kami sendiri sudah berulang kali melakukan aksi di Manggarai dan melakukan audiensi ke berbagai daerah, namun hasilnya masih nihil,” ungkap Martinus.

Konflik  ini sendiri merupakan sengketa lahan seluas 170 Ha dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai yang melarang warga melakukan kegiatan pertanian dan perkebunan di wilayah yang diklaim telah menjadi Register Tanah Kehutan (RTK 114). Padahal menurut warga jauh sebelum Indonesia merdeka, Masyarakat Adat Gendang Herokoe telah memilki dan menguasai lingko tersebut. Hal ini dikuatkan oleh Surat Keputusan Raja Manggarai pada tahun 1940 dan bukti pembayaran pajak dengan surat pajak nomor 7 tahun 1941.

Sementara itu, Agus Ruli Ardiansyah, Ketua Departemen Politik, Hukum, dan Keamanan DPP SPI menegaskan bahwa pemerintah seharusnya segera menyelesaikan konflik-konflik agraria yang terjadi di setiap pelosok Indonesia, karena masalah agraria, masalah tanah adalah masalah hidup dan mati manusia.

“Memang sudah seharusnya pembaruan agraria diterapkan di Indonesia, agar masyarakat (tani) terhindar dari konflik agraria baik yang horizontal maupun vertikal. Oleh karena itu, dengan segala daya upaya, SPI akan tetap memperjuangkan nasib Pak Hubertus, Elias, Mikel, Alm. Mathias Jemila, dan nasib petani-petani lainnya yang sering menjadi korban atas kezholiman pemerintahnya sendiri,” paparnya.

ARTIKEL TERKAIT
Henry Saragih, Ketua Umum SPI (ketiga dari kiri) dalam Sesi IV Dewan HAM PBB Selangkah Lagi Menuju Deklarasi Hak Asasi Petani dan Masyar...
Diskusi DPP SPI bersama Gunawan Wiradi
Kabar Dari Jepang
Tak Ada Feminisme, Tak Ada Kedaulatan Pangan: Majelis Peremp...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU