Meningkatnya harga kedelai dalam beberapa bulan terakhir telah membuat rakyat panik. Dalam hal ini, rakyat miskin adalah pihak yang paling terpukul, tahu dan tempe yang selama ini menjadi makanan pengganti daging harganya melambung tinggi. Bagaimana tidak, harga kedelai Januari 2007 telah meningkat lebih dari 200 persen dibanding bulan yang sama tahun sebelumnya. Hingga saat ini harga kedelai ada di kisaran Rp. 7.800/Kg, ini harga tertinggi sejak 24 tahun terakhir.
Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, gejolak harga kedelai disebabkan oleh masalah klasik yakni turunnya produksi dalam negeri dan naiknya harga di pasar global. Namun sejauh ini tidak ada pembuat kebijakan yang melihat akar permasalahan mengapa produksi nasional turun dan mengapa harga di tingkat global bisa melambung.
Henry menjelaskan, menurut catatan BPS pada tahun 2006 produksi kedelai nasional mencapai 747.611 ton, pada tahun 2007 turun menjadi 608.263 ton. Di sisi lain, peningkatan impor kedelai naik 6,7 persen setiap tahunnya. Ada banyak penyebab turunnya produksi kedelai nasional diantaranya gagal panen, menciutnya lahan tanaman pagan, dan bencana alam. Namun yang paling vital adalah dikarenakan kebijakan yang keliru.
“Saya masih ingat ketika pada tahun 1999, pemerintah dengan kebijakan pasar bebasnya mulai membuka keran impor kedelai dan menurunkan bea masuk. Saat itu pasar nasional dibanjiri kedelai impor, akibatnya harga kedelai di tingkat petani tertekan, petani banyak yang merugi, kebijakan tersebut membuat petani hengkang dari budidaya kedelai” papar Henry.
Menurut Henry keadaan seperti ini diperparah dengan kebijakan pembangunan pertanian yang keliru. Pemerintah lebih mengutamakan usaha-usaha agrobisnis perkebunan yang berlahan luas seperti kelapa sawit, disisi lain pembangunan tanaman pangan terbengkalai. Sedangkan infrastruktur irigasi tidak adiangun bahkan yang sudah ada pun tidak dipelihara sehingga kuantitas dan kualitasnya menurun. Sementara itu, jumlah lahan pertanian pangan terus menyusut dan tidak dijalankannya pembaruan agraria. “Hingga saat ini janji pemerintah untuk membagi-bagikan lahan kepada petani melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak ada perwujudannya,” tandas Henry.
Atas dasar itu, Henry menyatakan para petani sudah tidak ertarik lagi menanam kedelai karena tidak adanya insentif bagi petani untuk menanam kedelai dan harga kedelai dipasar tidak bisa menutupi ongkos produksi. Menyangkut solusi gejolak harga kedelai saat ini, memang harus segera diadakan operasi pasar untuk menurunkan dan menyetabilkan harga. Namun secara jangka panjang kita harus berswasembada kedelai karena kedelai yang ada di pasar dunia tidak akan mencukupi kebutuhan Indonesia jikalau produksi nasional terus turun. Untuk mencapai swasembada itu ada tiga hal utama yang harus dilakukan pemerintah, pertama, segera melaksanakan pembaruan agraria. Kedua, membangun infrastruktuir di pedesaan seperti irigasi dan jalan-jalan desa bukan hanya jalan tol saja yang dibangun. Ketiga, tegakkan kedaulatan pangan dengan cara berswasembada dan melepaskan ketergantungan terhadap mekanisme pasar bebas.
Sementara itu, Henry menilai kenaikan harga kedelai di pasar dunia yang mencapai US$ 600 per ton, diakibatkan oleh orientasi pembangunan yang salah. Isu biofuel yang digembar-gemborkan selama ini telah menyebabkan harga bahan baku seperti kedelai dan CPO meningkat karena permintaan industri pengolahan biofuel terhadap bahan-bahan pangan meningkat. Sementara itu, di Amerika Serikat sendiri para petani sudah beralih dari tanaman kedelai ke tanaman pemasok biofuel lainnya. Di AS pada tahun 2007 terjadi penurunan luas penanaman kedelai dari 75,5 juta acre menjadi 63,7 acre atau turun 15% yang menyebabkan produksi kedelai turub sebesar 19%. Dan, Indonesia sendiri sangat tergantung pada AS, 70% kebutuhan kedelai nasional dipasok dari AS, Argentina dan Cina.
Mengenai kebijakan pemerintah menurunkan tarif impor kedelai sampai 0% pada hari ini, Henry berkeyakinan hal tersebut tidak akan membantu. “Saat ini harga kedelai naik hingga 200 persen lebih, mana mungkin dengan menurunkan tarif impor dari 10% menjadi 0% bisa efektif menurunkan harga,” tandas Henry.
Kontak:
Henry Saragih: 08163144441
Cecep Risnandar: 08129452478
=============
SERIKAT PETANI INDONESIA (SPI)
Jl. Mampang Prapatan XIV No.5
Jakarta Selatan, 12790
Telp. 021 7991890
Fax. 021 7993426
www.spi.or.id