Pengantar
JAKARTA. Pertanian dan pangan nampaknya menjadi pusat kebijakan pemerintah Indonesia pada tahun 2011 ini. Banyaknya pertemuan dan kebijakan terkait agraria yang dikeluarkan seakan menggambarkan hal ini, namun berbagai realita yang terjadi dan dihadapi petani kecil menunjukkan sebaliknya.Realita adanya kemiskinan, kelaparan, gizi buruk, konflik agraria, kesulitan petani mendapatkan benih dan pupuk bersubsidi di hulu di sektor dan bahkan penderitaan petani terkait serbuan pangan impor akibat perdagangan bebas melalui rezim WTO dan FTA di sektor hilir menunjukkan betapa masih kontradiktifnya pilihan-pilihan kebijakan pertanian pemerintah.
Kebijakan kontradiktif tersebut disebabkan oleh arah pembangunan pertanian yang menitikberatkan pada Korporasi Pangan dan Pertanian, baik yang dilakukan oleh BUMN maupun swasta sebagai motor penggeraknya. Bahkan beberapa Pertemuan Nasional dan Internasionalkan diselenggarakan dan Perundang-undangan dikeluarkan untuk mengamanankan gerak langkah korporasi tersebut. Pengamanan tersebut mencakup pengamanan di sektor hulu-hilir dalam sistem pangan dan pertanian Indonesia. Dengan kata lain pula Pemerintah berniat menggeser Petani sebagai subyek penyedia pangan ke obyek penderita penyedia pangan dan selanjutnya menggantikan Petani dengan Korporasi pangan dan pertanian.
Oleh karena itu petani sudah dan akan terus dihadapkan pada penangkapan, penggusuran, penembakan serta berbagai tindak kekerasan dan kriminalisasi, bahkan ketika mereka memperjuangkan tanahnya untuk memproduksi pangan bagi diri, keluarga, dan seluruh masyarakat Indonesia. Dalam pada itu Petani juga masih berjuang dan berspekulasi dalam bertani dengan perubahan iklim ektrim yang menyebabkan banjir, tanah longsor, kemarau panjang, serta hama dan penyakit tanaman. Niat baik pemerintah untuk mengganti kerugian akibat perubahan iklim tersebut ternyata belum baik di tingkat implementasinya. Sebaliknya yang terjadi adalah munculnya niat untuk memanfaatkan benih hasil rekayasa genetika yang jelas-jelas hanya mampu diproduksi oleh Korporasi bioteknologi.
Lebih lanjut, berbagai mekanisme subsidi yang dikeluarkan baik untuk pupuk, benih, dan permodalan mengalami banyak persoalan. Sebagai contoh nyata banyak anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) di Sukabumi, Cirebon, Ponorogo, dan daerah lainnya mengalami diskriminasi tidak mendapat bantuan, karena dianggap bukan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) versi Kementerian Pertanian. Kerumitan birokrasi tersebut pada akhirnya membuat petani kecil lebih terpuruk. Namun keterpurukan petani kecil justru dijadikan pembenaran bahwa petani kecil tidak mampu menjamin penyediaan pangan dan pemerintah selaku penyelenggara negara merasa berkewajiban untuk memastikan penyediaan pangan, yang sayangnya diupayakan melalui impor pangan dan pengembangan korporatisasi pertanian pangan dalam negeri.
Adanya berbagai kesulitan yang dialami oleh kaum tani sebagai penyedia pangan tersebut menunjukkan bahwa ada yang tidak tepat dalam Rencana Strategis 2010-2014 Kementrian Pertanian dan lebih jauh Rencana Strategis Pemerintahan SBY. Berkenaan dengan itulah, SPI memaparkan catatan akhir di sektor pertanian, pembaruan agraria dan pembangunan pedesaan sepanjang tahun 2011.
Untuk lebih lengkapnya, Catatan Akhir Tahun SPI 2011 dapat diunduh disini