Indonesia merupakan negara yang sebagian besar rakyatnya masih berpenghidupan pada sektor pertanian, namun pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, budaya dan politik petani sebagai motor produksi pertanian terabaikan. Atas dasar itu, sudah sangat mendesak untuk mengakui hak asasi petani dalam produk perundangan di Indonesia. Hal diatas mengemuka dalam diskusi “Perjuangan hak asasi petani sebagai legislasi nasional” yang diselenggarakan oleh Komnas HAM, Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) di Jakarta (23/12).
Menurut Ketua SPI, Agus Ruli, proses perjuangan mewujudkan hak asasi petani sebagai instrumen hukum telah dimulai 7 tahun yang lalu. Berawal dari proses yang panjang dari berbagai pertemuan, dan akhirnya dikuatkan melalui Konferensi Internasional Hak Asasi Petani yang diselenggarakan oleh La Via Campesina, sebuah gerakan petani internasional, pada bulan Juni 2008 di Jakarta. Dalam perjalanannya, gagasan ini mulai menampakkan hasil di level internasional. Organisasi petani dari berbagai negara mencakup Amerika Latin, Asia, Eropa dan Afrika mulai turut memperjuangkan hak asasi petani. Inisiatif perjuangan hak asasi petani dimulai oleh La Via Campesina, untuk menangkal pelanggaran hak-hak dasar petani, juga dimaksudkan sebagai alternatif untuk melawan sistem neoliberal yang menindas petani kecil di seluruh dunia.
Di Indonesia kebijakan-kebijakan yang dilahirkan pemerintah masih sangat sedikit mengakomodir hak asasi petani malah cenderung menimbulkan konflik dan pelanggaran terhadap hak asasi petani. “Perjuangan hak asasi petani agar mendapatkan pengakuan dalam tata perundangan di Indonesia kita bersama. Perjuangan ini harus berjalan bersama antara kerja-kerja di tingkat internasional dan nasional,” ujar Agus Ruli.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komnas HAM, Ridha Saleh, menyatakan perjuangan hak asasi petani dan kedaulatan pangan sangat ditentukan oleh self governance petani itu sendiri. Gagasan untuk mendorong satu deklarasi hak asasi petani ini merupakan inisiatif yang sangat baik di tengah kondisi internasional dan nasional saat ini.
Menurutnya, SPI sudah memperjuangkan hak asasi petani di bukan saja di level grass root tapi juga dalam politik dan kebijakan nasional hingga internasional. Berbagai lobi-lobi sudah dilakukan di level iternasional baik terhadap special rapporteur hingga negara-negara yang memiliki keberpihakan yang cukup kuat terhadap petani.
Ia juga menegaskan bahwa hak asasi petani penting untuk mengembalikan identitas bangsa yang agraris. Karena ironis, bagi bangsa yang sebagian besar penduduknya bergantung pada pertanian petaninya hidup menderita.
Perjuangan agar deklarasi hak asasi petani diakui dalam legislasi di tingkat nasional maupun internasional, harus melibatkan mekanisme yang struktural baik di level nasional maupun internasional juga. “Kita perlu mendorong berbagai pihak untuk terlibat,” ujar Ridha.