CEPA Indonesia-Uni Eropa: Mengulang Kesalahan ACFTA?

JAKARTA. Pada tahun 2009, Vision Group yang terdiri dari pemerintah Indonesia bersama Uni Eropa  merekomendasikan adanya  penetapan suatu perjanjian bilateral yang ambisius antara Indonesia dan Uni Eropa. Tiga tahun kemudian, perjanjian tersebut masih tak jelas juntrungannya. Deal ini berpotensi akan mengulang kesalahan bagai kasus perjanjian perdagangan bebas ASEAN-Cina (ACFTA): tanda tangan dulu, merugi kemudian.

Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) Indonesia – Uni Eropa memiliki garis besar yang sama dengan perjanjian perdagangan bebas dimana-mana, yakni akses pasar dan fasilitasi perdagangan. Iming-iming yang ditambahkan adalah tentang investasi dan pengembangan kapasitas. Rekomendasi yang amat khas adalah pemotongan tarif sebesar 95 persen dalam periode sembilan tahun.

Ini jelas rencana yang sangat ambisius. Naga-naganya juga sama dengan sejarah ACFTA: liberalisasi ugal-ugalan, yang setelah dipraktikkan ternyata membuat industri serta usaha kecil dan menengah gulung tikar.

Hal yang menarik  dari dokumen CEPA adalah seksi keempat mengenai kerja sama perdagangan dan investasi. Dalam dokumen itu yang dibahas hanyalah isu teknis: sanitari dan pitosanitari, hambatan teknis perdagangan, hak kekayaan intelektual, fasilitasi perdagangan, kerja sama bea cukai, serta kebijakan persaingan dan jasa. Isu pertanian tidak dibahas secara detail—apalagi mengenai tahapan pengurangan tarif dan produk-prouduk pertanian apa yang akan dilindungi (akan diturunkan juga atau tidak, dan jika diturunkan berapa?). Bagian “pasal karet” macam ini yang berpotensi membuat CEPA lebih agresif dan liberal—bahkan dibandingkan dengan ACFTA sekalipun.

Belajar dari ACFTA yang resmi diberlakukan secara penuh tahun 2010, hampir semua kalangan dan temuan data tak menyangkal bahwa ujung-ujungnya kita menderita defisit perdagangan. Terlebih dari sektor pertanian—rapor merah. Tren sebelas tahun terakhir dalam skema ACFTA adalah defisit pada perdagangan komoditas seperti kacang-kacangan, buah-buahan, kakao, gandum, sereal, daging segar, sayuran, tepung dan tembakau.

Pada tahun 2011, giliran petani kentang yang meradang akibat anjloknya harga di pasaran. Sekitar 72.000 keluarga petani kentang di Dataran Tinggi Dieng mengalami kerugian besar. Kentang yang biasanya dijual Rp 5.500 hingga Rp 6.000 per kg terjun bebas hingga ke Rp 4.000 saja. Pasalnya, kentang asal Cina merajai pasaran—karena dijual hanya seharga Rp 2.500- 3.500 per kg.

Bagi Uni Eropa tentunya Indonesia adalah pasar yang potensial dengan jumlah penduduk lebih dari 235 juta. Sebagai contoh, tingkat konsumsi daging nasional adalah 1,72 kg per kapita per tahun (BPS, 2009). Walau masih jauh di bawah Malaysia (5,1 kg per kapita per tahun) atau bahkan Filipina (4,5 kg per kapita per tahun), dalam sepuluh tahun terakhir konsumsi daging sapi kita telah meningkat rata-rata 4,4 persen. Sementara produksi sapi lokal tak sanggup mengimbangi—cuma tumbuh 0,63 persen per tahun. Artinya, ada gap yang sementara harus ditutup dengan impor.

Dokumen CEPA menyebutkan akan membuka peluang ekspor Indonesia ke Eropa. Dari sisi Uni Eropa, saat ini makanan olahan menjadi bagian yang semakin penting dari pembelanjaan konsumen. Khalayak Uni Eropa menghabiskan 12 persen dari pendapatannya untuk pangan olahan. Permintaan subsektor seperti buah dan sayuran olahan, produk sereal, daging olahan dan produk terkait susu memang meningkat secara drastis.

Tapi harus diingat bahwa tidak mudah juga untuk melakukan ekspor ke Eropa karena adanya hambatan-hambatan keluar-masuk barang, apalagi produk pangan dan pertanian. Uni Eropa mempunyai ketentuan EU Feed & Food Safety Legislation. Ketentuan ini menjadi hambatan  yang sulit bagi produsen Indonesia untuk menyuplai produk pangan dan pertanian (olahan) ke negara-negara Uni Eropa. Belum lagi pada level kebijakan pertanian ada Common Agricultural Policy (CAP)—yang terus memberikan subsidi besar pada sektor pertanian.

Jika dibandingkan dengan hambatan impor, peraturan keselamatan pangan dan dukungan pemerintah untuk sektor pertanian, tentunya ada ketimpangan yang besar. Ketimpangan ini salah satunya sangat jelas: produk pangan dan pertanian Eropa mempunyai daya saing yang lebih dari produk kita. Bandingkan lagi dengan level pelakunya: korporasi pangan dan pertanian serta produsen skala besar yang jelas menang beberapa tingkat dari petani subsisten kita.

Belajar dari berdarah-darahnya ACFTA, CEPA jelas harus dievaluasi mendalam. Apalagi menyangkut pangan dan sektor pertanian. Pangan merupakan salah satu hak dasar manusia—setiap orang punya hak untuk menentukan pangan dan sistem pertanian, peternakan dan perikanan mereka sendiri, dan bukan menyerahkan pangan sebagai obyek kekuatan pasar internasional. Ini adalah definisi kedaulatan pangan (food sovereignty) yang dimajukan oleh gerakan petani internasional La Via Campesina.

Kita (dan pemerintah) sering lupa, bahwa ada aspek-aspek utama yang lepas dari kerja sama ekonomi dan perjanjian perdagangan bebas secara umum. Sejauh ini prioritas tak diberikan pada aspek pasar lokal dan nasional, pemberdayaan keluarga-keluarga petani kecil dan ekonomi pedesaan, nelayan dan peternak serta produksi distribusi dan konsumsi pangan yang berdasarkan pada keberlanjutan lingkungan, sosial dan ekonomi.

Pemerintah gencar dan agresif melakukan liberalisasi, khususnya di sektor pangan dan pertanian. Di sisi lain, ada rencana swasembada beras (2014), daging (2014), garam konsumsi (2012), jagung (2014), kedelai (2014) dan gula (2014). Jika kita mengulang tanda tangan dulu, misuh-misuh kemudian seperti kasus ACFTA, target ini akan jadi bahan tertawaan belaka.

Cepat evaluasi dan membuka diri untuk masukan yang paling radikal (bahkan kemungkinan membatalkan CEPA atau FTA terkait Indonesia-Uni Eropa) adalah satu-satunya jalan.

 * Muhammad Ikhwan dan Rahmat Hidayat adalah Ketua dan Staf Departemen Luar Negeri Serikat Petani Indonesia (SPI)

ARTIKEL TERKAIT
Seruan aksi sepekan, memperingati Hari Perjuangan Petani Internasional dan Hari Hak Asasi Petani Indonesia Seruan aksi sepekan, memperingati Hari Perjuangan Petani Int...
Data surplus beras digunakan untuk kepentingan politik belaka Data surplus beras digunakan untuk kepentingan politik belak...
Gejolak Harga Pangan Pengaruhi Nilai Tukar Petani (NTP): Pe...
Hari Tani 2015, Dorong Akselerasi Redistribusi 9 Juta Hektar...
1 KOMENTAR
  1. sanna nikita berkata:

    Mengenai perjanjian perdagangan bebas antara indonesia dengan negara manapun, saya prihatin memang sebuah kebanggaan bagi kita dengan pelebelan sebagai pasar yang menjanjikan bagi para investor-investor asing, juga pelebelan negara kita sebagai negara berpenduduk yang sangat banyak dan relatif tingkat ‘hedonisme’ yang tinggi. Namun sejatinya kadang pemerintah melupakan eksistensi dari keberadaan para petani dan usaha kecil yang terhitung sangat banyak, sejatinya menurut saya mereka lah nantinya yang akan berkembang dan menjadi tonggak kehidupan bagi bangsa kita, namun perjanjian-perjanjian ‘muslihat’ tersebut kini mengikis mereka dan harapan bagi kehidupan bangsa kita dimasa depan pun ikut mengalami pengikisan.

BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU