JAKARTA. Tahun ini konferensi perubahan iklim PBB ke-16 (UNFCCC COP16) – yang diadakan pada 29 November hingga 10 Desember 2010 di Cancun memfokuskan negosiasi pada 4 hal yaitu pendanaan, REDD, tekhnologi transfer dan adaptasi. Seperti halnya kegagalan pertemuan COP 15 tahun lalu di Copenhagen, perundingan tahun ini memang dirasa akan mengalami kebuntuan serupa. Negara-negara pihak yang terlibat dalam perundingan ini tidak lagi mengharapkan adanya suatu kesepakatan bersama yang mengikat (legally binding) dalam mengatasi perubahan iklim. Bahkan Sejumlah point perundingan pun ditarik keluar dari kerangka kerja UNFCCC, salah satunya ialah pembahasan mengenai mekanisme REDD+ (Pengurangan Emisi dari Deforestasi, Degradasi Hutan, Konservasi, Manajemen Pengelolaan Hutan dan Peningkatan Stok Karbon Hutan) yang berkembang sangat pesat sejak diputuskan di Bali tahun 2007 lalu.
REDD+ merupakan skema yang menjauhkan tanggung jawab negara maju untuk mengurangi secara drastis emisi karbon mereka dengan melemparkan tanggung jawab pada negara-negara pemilik hutan melalui berbagai mekanisme pendanaan. Terbukti dalam pertemuan Cancun ini, sejumlah negara industri seperti Rusia dan Jepang telah menyatakan tidak akan menurunkan emisi karbonnya karena Amerika Serikat tetap menolak penandatanganan Protokol Kyoto.
Dengan prediksi gagalnya perundingan Cancun, sejumlah inisiatif bermunculan untuk mendiskusikan REDD diluar kerangka kerja UNFCCC. Diantaranya Forest Carbon Partnership Facilities (FCPF), United Nations REDD (UN-REDD), Forest Investment Program (FIP), dan yang terakhir REDD+ Partnership. REDD+ Partnership menjadi ajang negosiasi Negara-negara kaya dengan Negara-negara pemilik hutan untuk perdagangan karbon diluar mekanisme UNFCCC . Perundingan REDD+ Partnership tingkat menteri tahun ini berlangsung 2-8 Oktober 2010 di Nagoya. dimana Negara-negara yang terlibat menganggap kerangka bilateral lebih efektif dan efisien untuk membangun mekanisme pelaksanaan REDD.
Sebagai salah satu Negara pemilik hutan tropis terbesar di dunia, Pemerintah Indonesia sangat gigih untuk mendorong tercapainya kesepakatan mengenai REDD+ dalam pertemuan di Cancun ini. Pemerintah Indonesia pula lah yang menolak adanya safeguard yang mengatur hak masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan serta kompensasi dari tergusurnya lahan pencaharian mereka.
Walaupun negosiasi belum usai dan skema yang mengaturnya belum diputuskan namun sejumlah proyek atas nama proyek percobaan (pilot project) sudah dijalankan di Indonesia dengan dikeluarkannya Permenhut No. 68 tahun 2008 tentang penyelenggaraan demonstration activity pengurangan emisi karbon dan dari deforestasi dan degradasi hutan. Skema ini telah menjual murah 26,6 juta hektar hutan alam Indonesia mulai dari tegakan pohon, hewan, tumbuhan, tanah, sumber mata air, dan ruang interaksi sosial, dan entitas masyarakat hukum adat di wilayah tersebut, hanya seharga Rp. 12,- per meter perseginya seperti Proyek di Ulu Masen, Aceh, Hutan Hujan Harapan di Jambi, dan di Kalimantan Tengah dengan pemerintah Australia.
Pemerintah Indonesia bahkan telah menanda tangani Letter of Intent (LoI) dengan Pemerintah Norwegia pada Mei 2010 sebagai salah satu perjanjian bilateral dalam skema REDD dimana Norwegia akan memberikan dana sebesar 1 miliar US$ bagi Indonesia melalui proyek REDD+. Dana tersebut akan dikucurkan secara bertahap sebesar 30 juta US$ tahun 2011, 70 juta US$ tahun 2012, 100 juta US$ tahun 2013 dan sisanya 800 juta US$ akan diberikan melihat hasil pemantauan pengurangan emisi yang dilakukan Indonesia. Hal ini menujukkan ketidak adilan perjanjian tersebut, Norwegia tidak mau mengurangi emisinya, Indonesia yang dipaksa untuk menjadi daerah serapan emisinya.
Pelaksanaan REDD+ ini akan menyebabkan semakin banyaknya rakyat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan akan tergusur. Di sejumlah propinsi seperti Jambi, Sumatra Selatan, Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Papua saat ini saja diperkirakan sudah jutaan keluarga yang tergusur dari rumah dan pertanian mereka atas dalih perlindungan alam ini. Sementara itu mekanisme REDD juga tidak akan mampu mengatasi krisis iklim ini jika Negara-negara industri terus merusak dan mencemari bumi dengan kecepatan seperti saat ini.
Untuk itulah Serikat Petani Indonesia (SPI) mendesak pemerintah Indonesia untuk mendukung hasil Konferensi Perubahan Iklim Rakyat bagi Ibu Pertiwi yang diinisiatifi oleh pemerintah Bolivia bulan April 2010 dalam perundingan COP 16 ini yaitu:
Menjamin hak rakyat atas tanah dan hutan: inisiatif REDD+ harus dihentikan dan ditolak. Melindungi hutan merupakan kewajiban pemerintah yang harus dilaksanakan tanpa membatasi dan merampas hak dan kontrol petani, masyarakat adat atas tanah dan teritori mereka, bukan digunakan untuk melayani Negara-negara industry dan perusahaan yang terus mencemari dan membangun perkebunan monokultur raksasa. Hak petani dan masyarakat adat atas tanah dan teritori mereka harus diakui secara eksplisit dalam seluruh perjanjian perubahan iklim.
Menolak segala mekanisme perdagangan karbon: Perdagangan karbon telah terbukti gagal dalam menurunkan emisi gas rumah kaca. Penurunan emisi harus dilakukan semua pihak sesuai kewajibannya dan tidak mengijinkan adanya pembayaran untuk hak mencemari.
Menolak segala rekayasa genetika atas nama perubahan iklim: rekayasa genetika pada tanaman yang ditujukan untuk meningkatkan daya tahan terhadap kekeringan, banjir atau peningkatan kadar garam hanya akan menciptakan masalah baru, dan tidak memecahkan persoalah yang ada. Rekayasa genetik atas nama perubahan iklim hanya membuka peluang bagi perusahaan transnasional untuk mengeruk keuntungan.
Mendesak ditegakkannya kedaulatan pangan dengan mendukung dan melindungi pertanian berkelanjutan yang dikembangkan keluarga-keluarga tani, yang mengutamakan pemenuhan pasar lokal dan nasional. Pertanian berkelanjutan dan kedaulatan pangan mampu mengurangi emisi karbon 44 hingga 57 persen, dari pengurangan pupuk kimiawi dan transportasi pangan lintas wilayah. Dan menggunakan momentum program Pembaruan Agraria yang disampaikan pemerintah pada peringatan Hari Tani Nasional lalu untuk membangun pertanian agroekologis berkelanjutan. Ini merupakan solusi yang ditawarkan oleh petani-petani kecil di seluruh dunia.
Lebih lanjut SPI juga mendesak pemerintah Indonesia untuk segera mencabut sejumlah kebijakan terkait implementasi REDD di Indonesia seperti Permenhut No. 68 tahun 2008 tentang penyelenggaraan demonstration activity pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan,Permenhut No. 30 tahun 2009 tentang REDD dan Permenhut No. 36/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan. Menghentikan pilot project yang dilakukan oleh sejumlah negara dan organisasi konservasi atas nama perlindungan alam. Karena kebijakan-kebijakan tersebut hanya menjadi alat legitimasi proses perdagangan karbon lewat proyek-proyek REDD di Indonesia dan tidak bermanfaat untuk mengatasi perubahan iklim.
==================================================================
Contact Person :
Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI): 0811 655 668